loading...
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Tentang Kehidupan Sosial
1.
Pengertian Sikap Sosial
Ajaran Islam atau lebih khusus syari’at Islam
mempunyai titik singgung yang sangat kompleks dengan masalah-masalah sosial.
Karena syari’at Islam itu sendiri justru mengatur hubungan antara manusia
(individual maupun kelompok) dengan Allah SWT, antara sesama manusia dan antara
manusia dengan alam.[1]
Hubungan pertama terumuskan dalam bentuk ibadah
(baik individual maupun sosial). Interaksi kedua terumuskan dalam bentuk mu’amalah dan mu’asyarah.[2]
Prinsip mu’amalah dalam Islam tidak
menitikberatkan pada penguasaan mutlak bagi kelompok saja, tetapi Ia juga tidak
menitikberatkan penguasaan bagi individu secara mutlak yang cenderung pada
sikap monopoli tanpa memiliki konsen (kepedulian) terhadap yang lain,
sebagaimana dalam kapitalisme (al-ra’sumaliah
al-mutlaqah).
Akan tetapi Islam menghargai hak penguasaan
individual yang diimbangi dengan kewajiban dan tanggung jawab masing-masing dan
tanggung jawab kelompok. Pembuktian prinsip ini bisa dilihat pada pelbagai hal,
antara lain berlakunya hukum waris, zakat, kebutuhan pokok sehari-hari dan
lain-lain.
Sedangkan prinsip mu’asyarah dalam Islam dapat
dilihat dalam berbagai dimensi kepentingan dan struktur sosial. Dalam
kepentingan kemaslahatan umum, kaum muslimin dituntut oleh ajaran Islam sendiri
agar bekerja sama dengan penuh dengan
pihak-pihak di luar Islam.[3]
Sedangkan antara kaum muslimin sendiri, Islam telah mengatur hubungan
interaksinya dalam kerangka ukhuwah Islamiyah bagi segala bentuk sikap dan
perilaku pergaulan sehari-hari.[4]
Dari sisi struktur sosial yang menyangkut
stratifikasi sosial bisa dilihat, bagaimana ajaran Islam mengatur interaksinya,
misalnya hubungan lingkar balik. Pendek kata, dalam Islam terdapat aturan
terinci mengenai mu’asyarah antara berbagai kelompok sosial dengan berbagai
status masing-masing.
2.
Pengertian Akhlak
Perkataan akhlak
berasal dari bahasa Arab jama'
dari “khuluqun” yang
menurut lughat diartikan: budi pekerti, perangai, tingkah laku atau tabiat.
Adapun secara terminologi yang dikemukakan oleh ulama akhlak
adalah sebagai berikut:
اَلأَخْلاَقُ هُوَ تَقْيِيْمُ اْلأَعْمَالِ اْلإِنْسَانْيَّةِ عَلَى ضَوْءِ تَحْدِيْدِهِ لِقِيْمَةِ كُلٍّ مِنَ الْخَيْرِ وَالشَّرِّ
“Akhlak
ialah Munculnya perbuatan manusia atas dasar cahaya batasan manusia untuk
munculnya suatu perkara yang baik dan buruk”.
Selain definisi diatas ada ulama’
lain yang berpendapat bahwa :
a.
Ilmu akhlak adalah ilmu yang menentukan batas antara
baik dan buruk, antara yang terpuji dan tercela, tentang perkataan atau
perbuatan manusia lahir dan batin.
b. Ilmu akhlak
adalah ilmu pengetahuan yang memberikan pengertian tentang baik dan buruk, ilmu
yang mengajarkan pergaulan manusia dan menyatakan tujuan mereka yang terakhir
dari seluruh usaha dan pekerjaan mereka.[5]
Jadi Ilmu Akhlak merupakan ilmu yang menentukan batas antara
baik dan buruk, terpuji dan tercela, tentang perkataan atau perbuatan manusia
lahir dan batin. Dengan lain perkataan, ilmu akhlak adalah,
a.
Menjelaskan arti baik dan buruk.
b.
Menerangkan apa yang seharusnya
dilakukan.
c.
Menunjukkan jalan untuk melakukan
perbuatan.
d.
Menyatakan tujuan di dalam
perbuatan.[6]
Jadi ilmu akhlak adalah ilmu yang mempersoalkan baik
buruknya amal, dan amal terdiri dari perkataan, perbuatan atau kombinasi
keduanya dari segi lahir dan batin.
Sedangkan menurut Agus Sudjanto pengertian Akhlak sebagai
berikut:
Akhlak ialah
suatu ilmu yang menjelaskan arti baik dan buruk, menerangkan apa yang
seharusnya dilakukan oleh setengah manusia kepada lainnya menyatakan tujuan
yang harus dituju oleh manusia dalam perbuatan mereka dan menunjukkan jalan
untuk melakukan apa yang harus diperbuat.[7]
Akhlak merupakan kelakuan yang timbul dari hasil perpaduan
antara hati nurani, pikiran, perasaan, bawaan, dan kebiasaan yang menyatu,
membentuk suatu kesatuan tindak akhlak yang dihayati dalam kenyataan hidup
keseharian. Dari kelakuan itu lahirlah perasaan moral (moralsence), yang terdapat dalam diri manusia sebagai fitrah,
sehingga ia mampu membedakan mana yang baik dan mana yang jahat, mana yang
bermanfaat dan mana yang berguna, mana yang cantik dan mana yang buruk.[8]
B. Kajian Tentang Prestasi Belajar
Masalah
yang berkenaan dengan belajar ini cukup banyak mendapatkan perhatian dalam
pendidikan, karena pada prinsipnya seluruh kemajuan manusia itu disebabkan
karena adanya proses pembelajaran. Demikian pula bagi guru/ pendidik yang
menghendaki keberhasilanya dalam proses kegiatan mengajar dituntut memahami
mengenai apa, mengapa dan bagaimana proses belajar itu agar memperoleh hasil
yang baik dalam proses belajar mengajar.
1.
Pengertian Prestasi Belajar
Istilah
prestasi belajar terdiri dari dua kata yaitu prestasi dan belajar. adapun arti
prestasi sendiri adalah "hasil yang dicapai, dilakukan, dikerjakan dan
sebagainya. Menurut Mas'ud Khasan Abd. Qodir mengemukakan tentang prestasi
adalah: "Apa yang telah didapat, hasil pekerjaan, hasil yang menyenangkan
hati yang diperoleh dengan jalan keuletan bekerja".[9]
Menurut
Syaiful Bahri Djamarah, bahwa prestasi adalah “hasil dari suatu kegiatan yang
telah dikerjakan, diciptakan baik secara individu maupun kelompok”. Prestasi
merupakan penilaian pendidikan tentang perkembangan dan kemajuan murid yang
berkenaan dengan penguasaan bahan pelajaran yang disajikan kepada mereka serta
nilai-nilai yang terdapat dalam kurikulum.
Sedangkan
pengertian belajar menurut para ahli pendidikan diantaranya mengemukakan bahwa
belajar adalah "Suatu proses kegiatan anak didik dalam menerima,
menanggapi serta menganalisa bahan-bahan yang disaji-kan oleh guru yang
berakhir pada kemampuan anak menguasai bahan pelajaran yang telah
disajikan".[10]
Pengertian
lain mengenai belajar sebagaimana dikemukakan oleh Djusuf Djajadisastra,
"Belajar adalah perubahan yang sedang dialami atau hasil yang telah
diperoleh yang menyebabkan seseorang individu berubah dari keadaan semula
kekeadaan yang baru yang sifatnya kwantitatif maupun kwalitatif lebih tinggi
".[11]
Affifudin SK,
mengemukakan tentang definisi belajar "Belajar adalah suatu proses
pembentukan tingkah laku yang mengarah kepada penguasaan pengetahuan, kecakapan,
ketrampilan, kebiasaan sikap yang semuanya diperoleh disimpan dan
dilaksanakan".[12]
Berdasarkan
uraian tersebut di atas, dapatlah dipahami, bahwa dari banyak definisi mengenai
belajar itu hampir semua ada unsur kesamaan yang terkandung didalamnya, yakni
adanya perubahan dalam diri seseorang. Sedangkan perubahan itu dapat berupa
kecakapan, ketrampilan, sikap, kebiasaan, pengertian, pengetahuan dan lain
sebagainya baik dari segi kuantitas maupun kualitasnya yang lebih tinggi.
Sedangkan
prestasi belajar adalah penilaian hasil usaha kegiatan belajar yang dinyatakan
dalam bentuk simbol, angka, huruf maupun kalimat yang dapat mencerminkan hasil
yang sudah dicapai oleh setiap anak dalam periode tertentu.[13]
Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa prestasi belajar adalah penilaian pendidikan
yang berkenaan dengan penguasaan bahan pelajaran sebagai hasil suatu proses
belajar yang dinyatakan dalam bentuk angka, huruf, simbol, atau kalimat sebagai
bukti keberhasilan belajar siswa.
Prestasi di
sini tidak bisa dihasilkan tanpa seseorang
melakukan suatu kegiatan. Dalam kenyataanya untuk mendapatkan prestasi
tidak semudah yang kita bayangkan, tetapi penuh perjuangan dengan berbagai
tantangan ataupun faktor-faktor yang mempengaruhi, baik dari dalam maupun dari
luar yang harus dihadapi untuk mencapainya.
Agar dalam
proses belajar dapat dilaksanakan dengan baik, memperoleh prestasi belajar yang
baik pula, maka perlu memperhatikan faktor-faktor yang mempengaruhinya sehingga
usaha untuk mencapai hasil optimal dari proses belajar dapat diupayakan dengan
baik.
2.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Prestasi Belajar.
Sebagai
ciri dilakukannya belajar adalah perubahan, baik perubahan dalam pengetahuan,
kecakapan maupun tingkah laku menuju tercapainya tujuan pendidikan yang
dicita-citakan bersama. Dalam proses kegiatan belajar mengajar baik guru maupun
murid menginginkan hasil yang baik atau prestasi yang baik pula.
Adanya
pengaruh dari diri siswa merupakan hal yang wajar dan logis. Sebab hakekat
belajar adalah perubahan tingkah laku individu yang diniati dan disadarinya.
Oleh karena itu siswa harus merasakan adanya suatu kebutuhan untuk belajar dan
berprestasi, dengan berusaha mengerahkan segala daya upaya untuk dapat
mencapainya.
Sebagaimana
disebutkan di atas, bahwa belajar adalah masalah perubahan sikap dan tingkah
laku ke arah yang lebih tinggi yang diusahakan oleh individu, sebagaimana
disebutkan dalam firman Allah Swt. dalam QS. Ar-Ra'd ayat 11 yang berbunyi;
اِنَّ اللهَ لاَ
يُغَيّرُمَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيّرُوْا مَا بِانَْفُسِهِمْ (
الرعد\13: 11)
Terjemahnya: "Sesungguhnya Allah
tidak mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan mereka
sendiri".[14]
(QS.13:11)
Sebagaimana
dijelaskan di atas, perubahan prestasi belajar yang dicapai seorang individu
memang merupakan hasil interaksi antara berbagai faktor, dan pengenalan
terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi belajar penting sekali
artinya dalam rangka membantu murid mencapai prestasi belajar yang
sebaik-baiknya. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi belajar pada
garis besarnya yaitu:
a.
Faktor intern
Yang dimaksud
dengan faktor intern di sini adalah semua faktor yang ada pada diri pribadi
siswa, baik yang berhubungan dengan jasmani maupun rohaninya atau lebih dikenal
dengan sebutan fisik dan psikis.[15]
Aspek psikis antara lain adalah IQ,
pembawaan, keadaan emosi, kemauan, daya fantasi logika. Sedangkan aspek fisik antara lain, keadaan alat indera,
keadaan kesehatan, jasmani, keadaan anggota tubuh.[16]
Demikianlah
faktor intern yang mempengaruhi prestasi belajar dengan berbagai aspeknya. Hal
ini perlu mendapatkan banyak perhatian bagi setiap pendidik maupun orang tua
murid agar faktor yang satu dengan faktor yang lain dapat saling mempengaruhi
proses belajar.
b.
Faktor ekstern
Di samping
faktor intern sebagaimana yang telah dikemukakan di atas, faktor yang lain yang
mempengaruhi prestasi belajar adalah faktor ekstern. Faktor ini berupa keadaan
atau kondisi dan situasi yang terdapat di luar pribadi siswa.[17]
Adapun faktor
ini terdiri dari faktor lingkungan sekolah, dan keadaan lingkungan masyarakat.
Keberhasilan anak dalam kegiatan belajar juga banyak dipengaruhi oleh keadaan
lingkungan sekolah itu sendiri. Begitu juga dengan keadaan lingkungan
masyarakat. lingkungan masyarakat yang berpengetahuan cukup baik, akan berpengaruh
terhadap dirinya dalam proses perkembangan pengetahuannya. Sedangkan corak
pendidikan yang dialami oleh seorang anak dalam masyarakat berpengaruh sekali
dalam segala bidang, baik pembentukan pengertian maupun pembentukan kesusilaan.[18]
Demikianlah faktor ekstern dengan berbagai aspeknya yang ikut berperan dalam
proses belajar, dan berdampak pada tinggi rendahnya prestasi belajar siswa.
Berdasarkan
dari uraian di atas, dapat memberi pengertian pada kita bahwa dalam
melaksanakan pendidikan harus memperhatikan kondisi fisik, kondisi psikis dan
faktor yang dapat mendukung/membuat keberhasilan dalam belajar. Meskipun
faktor-faktor tersebut saling berinteraksi secara langsung ataupun tidak
langsung dalam mencapai prestasi belajar.
C. Pengaruh Pola Kehidupan Sosial terhadap
Prestasi Belajar
Secara konseptual dan teoritis pola kehidupan siswa adalah
suatu bagian dari dasar-dasar suatu bagian kebudayaan. Menurut kalangan
antropolog biasanya “pola” sendiri merupakan suata cultural activity
atau trait complex atau kegiatan-kegiatan yang sudah membudaya.[19] Maka di sini
pola kehidupan siswa itu adalah suatu aktivitas yang membudaya dalam diri
manusia. secara lebih besar akan berkaitan dengan satu samalain dengan
kehidupan lingkungan-lingkungan lainnya sebagai elemen-elemen di dalam
kehidupan yang besar tersebut.
Elemen-elemen kehidupan sosial siswa terdapat sebuah disiplin
sosial, yang secara sosiologis dapat diartikan suatu proses atau keadaan
ketaatan umum atau dapat juga disebut “ketertiban umum”.[20] Ketertiban itu
sendiri merupakan aturan mu’asyarah antar
masyarakat, baik yang ditentukan oleh perundang-undangan maupun yang tidak
tertulis, hasil bentukan suatu kultur atau budaya.
Bagi Islam, bentuk sikap sosial adalah kesadaran menghayati
dan melakukan hak dan kewajiban bagi para pemeluknya, baik dalam sikap,
perilaku, perkataan, perbuatan maupun pemikiran.[21] Dalam hal ini,
di dalam Islam dikenal ada huquq Allah (hak-hak
Allah) dan huquq al-Adami (hak-hak
manusia).[22]
Bila hak dan kewajiban masing-masing manusia bisa dipenuhi, maka akan timbul
sikap-sikap sebagai berikut:
a.
Solidaritas sosial
b.
Toleransi
c.
Mutualitas/kerjasama
d.
Tengah-tengah
e.
Stabilitas [23]
Sikap-sikap itu merupakan sikap sosial yang sangat erat
hubungannya dengan ajaran Islam yag mempunyai cakupan luas, seluas aspek
kehidupan yang berarti bahwa Islam sebenarnya mampu menjadi sumber referensi
nilai bagi bentuk-bentuk kehidupan sosial siswa. Lebih dari itu,
mengimplementasikan sikap-sikap itu dengan motivasi ajaran dan perintah agama,
berarti melakukan ibadah. Sikap sosial dapat juga identik dengan ibadah dalam
Islam (amal).[24]
Dari uraian pada ketiga kerangka di atas, dapatlah diambil
benang merah, bahwa masalah-masalah sosial keagamaan Islam meliputi semua aspek
kehidupan sosial. Sementara itu ajaran Islam telah meletakkan landasan yang
kuat dan fleksibel bagi sikap dan perilaku dalam kehidupan sosial bagi siswa.
Pendidikan ke arah itu sebenarnya masuk dalam pendidikan
Agama Islam seutuhnya yang menyangkut iman (aspek aqidah), Islam (aspek
syari’ah) dan Ihsan (aspek akhlak, etika dan tasawuf) akan berarti melibatkan
semua aspek rohani dan jasmani bagi kehidupan manusia sebagai makhluk
individual maupun sosial.
Sejarah
peradaban dunia telah menunjukkan bahwa masyarakat atau bangsa selalu
menggunakan sistem pendidikan sebagai instrumen untuk menjamin kelangsungan
hidupnya. Karena sistem pendidikan merupakan upaya pembangunan masa depan
bangsa yang menyangkut banyak orang, atau bahkan bangsa dan masyarakat secara
kese-luruhan.[25]
Pendidikan bagi manusia disebabkan oleh tiga hal. Pertama mempelajari semua yang meliputi
cara hidup suatu masyarakat atau kelompok orang, jadi tidak ada dalam
pendidikan sesuatu sebagai warisan. Kedua,
manusia sangat peka terhadap pengalaman. Manusia pada dasarnya mampu
mengembangkan rentang kepercayaan tentang dunia sekitarnya, dan memiliki
ketrampilan untuk memanipulasi-nya (merekayasa). Ketiga, seperti telah disinggung di bab sebelumnya, bahwa bayi yang
baru lahir dan dalam waktu akan selalu membutuhkan orang lain. Ia tidak mampu
mengembangkan diri tanpa adanya pertolongan orang lain, baik secara kebetulan
maupun disengaja.[26]
Pada masyarakat tradisional, seperti yang terlihat dalam
suku-suku terasing di Afrika, Amerika Latin dan Asia, fungsi pendidikan menyatu
dengan fungsi-fungsi lainnya yang kesemuanya diperankan oleh keluarga. Tujuan
utama pendidikan pada masyarakat tradisional ini ialah untuk membina komitmen
generasi baru terhadap kewajiban-kewajiban nanti setelah dewasa.[27]
Pada masyarakat modern, pendidikan dipandang sebagai sub
sistem tersendiri dengan berbagai sub-sistemnya. Tujuannya juga beragam sesuai
dengan aneka spesialisasi yang dihajatkan masyarakat. Secara umum sistem
pendidikan ini dimaksudkan sebagai upaya pengembangan sumber daya manusia dan
merupakan sumber kreatifitas yang diperlukan untuk meneruskan modernisasi.[28] Oleh karena
itu pendidikan sekarang lebih dimaksudkan sebagai usaha yang disengaja dan
terencana dalam mengantarkan manusia untuk menemukan pribadinya sebagai orang
dewasa yang dapat berdiri sendiri dan bertanggung jawab kepada falsafah bangsa,
sehingga dirinya mampu untuk mengembangkan daya cipta, rasa, dan karsanya demi
kemajuan dan pengabdiannya kepada negara.
Akan
tetapi berbeda dengan Musa Asy’ari, menurutnya pendidikan sama halnya dengan
pembelajaran, yakni merupakan upaya penting bagi kehidupan manusia agar hidup
dan berkembang secara layak.[29]
Satu tujuan pendidikan disini adalah mengeluarkan unsur-unsur manusia yang sama
dalam diri kita. Unsur pada dasarnya tidak berbeda meski tempat dan waktunya
berlainan, yakni pemupukan intelek yang baik bagi manusia di masyarakat
manapun.
Umumnya
sekolah memang di identikkan dengan lembaga pendidikan berjenjang, yakni dari
SD/MI sampai perguruan tinggi, atau kalau di lingkup agama semisal Islam akan
identik dengan madrasah dan pondok pesantren. Dalam Ilmu pendidikan sendiri
menyebut sekolah berarti pula menyebut gedung sekolah, mata pelajaran atau mata
kuliah, atau dalam hal yang lebih umum disebut dengan materi pembelajaran.
Pada
zaman dahulu, ketika masyarakat masih primitif, pengajaran diberikan secara
perseorangan. Seorang guru memberi pengajaran kepada seorang murid. Bahan
pengajaran dan pelajaran ditentukan oleh guru. Namun sejalan dengan gerak zaman
pula, makin lama murid makin bertambah, sehingga lama-kelamaan timbul sistem monitor,
yakni murid yang sudah lama mengajar atau menolong murid yang baru. Sehingga
dari sinilah timbul pengajaran ruang kelas.
Jadi sekolah ada ketika kebudayaan semakin kompleks, sehingga
pengetahuan yang dianggap perlu tidak mungkin lagi ditanggung atau ditangani
dalam lingkungan keluarga. Dewasa ini, bagi sebuah bangsa dan negara, minimal
pendidikan berarti sekolah. Sebuah organisasi formal yang terdiri dari para
murid, guru, supervisor, kepala sekolah dan pengawas. Mereka berinteraksi
sebagai pemegang posisi di dalam suatu sistem sosial yang mempunyai tujuan
kelembagaan dan terorganisasi, yaitu untuk mendidik anak didik.
Berdasarkan hal ini, maka tugas persekolahan ialah memberikan
pengetahuan dan ketrampilan kepada anak didik, dan karena itu pula guru
dipekerjakan.[30]
Kendati demikian dalam asumsi yang umum tentang sekolah dimaksudkan bahwa
sekolah merupakan ajang di mana pendidikan mengisyaratkan pengajaran.
Pengajaran meng-isyaratkan pengetahuan, dan pengetahuan adalah kebenaran.
Karena itu sebenarnya secara luas pendidikan Islam mempunyai
lima macam fungsi penting yaitu: 1) Sekolah melakukan transmisi kebudayaan; 2.)
Melakukan pembentukan pribadi murid; 3) Menjamin integrasi sosial masyarakat;
4) Melakukan inovasi sosial; dan 5) Melakukan pra seleksi dan praalokasi tenaga
kerja dan mengajarkan murid berbagai macam peranan sosial.[31]
Dalam hubungan ini pendidikan Islam dengan interaksi sosial
anak, berperan secara sosial, dalam bentuk pertama, memberikan orientasi
akademis yang mengandalkan pengetahuan spekulatif dan membentengi sekolah
dengan masyarakat. Belajar untuk belajar, bukan untuk merancang karir, tidak
untuk hidup sesaat. Bagi pendidikan Islam ini pengetahuan radikal dipisahkan
dari waktu dan kebudayaan, dari kuasa dan kepentingan, menjauhkan diri dari
atribut-atribut pendukungnya.
Kedua, Pendidikan Islam yang
berorientasi pada kerja, hal ini dimaksudkan untuk melayani pasar di mana
memang hal ini sebagai bentuk daya tahan sekolah terhadap transaksi hingar
bingar masyarakat bisnis. Sehingga pendidikan bagi sekolah kerja merupakan
sosialisasi integrasi dan bukan isolasi seperti dalam bentuk yang pertama.
Pendidikan Islam harus mengikuti kebutuhan masyarakat, mendukungnya,
memburunya, menyiapkannya, dan memeliharanya
NB : SOBAT INGIN VERSI LENGKAPNYA, SILAHKAN REQUEST DIKOLOM KOMENTAR. TERIMA KASIH,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,
loading...
No comments:
Post a Comment