loading...
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Anak merupakan
amanah dari Allah Swt, seorang anak dilahirkan dalam keadaan fitrah tanpa noda
dan dosa, laksana sehelai kain putih yang belum mempunyai motif dan warna. Oleh
karena itu, orang tualah yang akan memberikan warna terhadap kain putih
tersebut; hitam, biru hijau bahkan bercampur banyak warna.
Setiap orang tua menginginkan
anak-anaknya cerdas, berwawasan luas dan bertingkah laku baik, berkata sopan
dan kelak suatu hari anak-anak mereka bernasib lebih baik dari mereka baik dari
aspek kedewasaan pikiran maupun kondisi ekonomi. Oleh karena itu, di setiap
benak para orang tua bercita-cita menyekolahkan anak-anak mereka supaya
berpikir lebih baik, bertingkah laku sesuai dengan agama serta yang paling
utama sekolah dapat mengantarkan anak-anak mereka ke pintu gerbang kesuksesan
sesuai dengan profesinya.[1]
Setelah keluarga, lingkungan kedua bagi anak adalah
sekolah. Di sekolah, guru merupakan penanggung jawab pertama terhadap
pendidikan anak sekaligus sebagai suri teladan. Sikap maupun tingkah laku guru
sangat berpengaruh terhadap perkembangan dan pembentukan pribadi anak.
Pada perspektif lain, kondisi ekonomi
masyarakat tentu saja berbeda, tidak semua keluarga memiliki kemampuan ekonomi
yang memadai dan mampu memenuhi segala kebutuhan anggota keluarga. Salah satu
pengaruh yang ditimbulkan oleh kondisi ekonomi seperti ini adalah orang tua
tidak sanggup menyekolahkan anaknya pada jenjang yang lebih tinggi walaupun
mereka mampu membiayainya di tingkat sekolah dasar. Jelas bahwa kondisi ekonomi
keluarga merupakan faktor pendukung yang paling besar kelanjutan pendidikan
anak-anak., sebab pendidikan juga membutuhkan dana besar.
Hampir di setiap tempat banyak
anak-anak yang tidak mampu melanjutkan pendidikan, atau pendidikan putus di
tengah jalan disebabkan karena kondisi ekonomi keluarga yang memprihatinkan. Kondisi
ekonomi seperti ini menjadi penghambat bagi seseorang untuk memenuhi
keinginannya dalam melanjutkan pendidikan. Sementara kondisi ekonomi seperti
ini disebabkan berbagai faktor, di antaranya orang tua tidak mempunyai
pekerjaan tetap, tidak mempunyai keterampilan khusus, keterbatasan kemampuan
dan faktor lainnya.
Putus sekolah bukan merupakan persoalan
baru dalam sejarah pendidikan. Persoalan ini telah berakar dan sulit untuk di
pecahkan, sebab ketika membicarakan solusi maka tidak ada pilihan lain kecuali
memperbaiki kondisi ekonomi keluarga. Ketika membicarakan peningkatan ekonomi
keluarga terkait bagaimana meningkatkan sumber daya manusianya. Sementara semua
solusi yang diinginkan tidak akan lepas dari kondisi ekonomi nasional secara
menyeluruh, sehingga kebijakan pemerintah berperan penting dalam mengatasi
segala permasalahan termasuk perbaikan kondisi masyarakat.[2]
Menurut pengamatan sementara, sebagian
anak-anak di Kecamatan Jangka mengalami putus sekolah terutama anak-anak yang
sedang menempuh pendidikan di tingkat atas. Maka hal yang menjadi rumusan
masalah di sini adalah sebagai berikut:
1. Berapa banyak anak putus sekolah di Kecamatan Jangka?
2. Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan terjadinya
anak putus sekolah di Kecamatan Jangka?
3. Bagaimana sikap orang tua terhadap pendidikan
anaknya?
4. Bagaimana cara pembinaan orang tua terhadap anak
putus sekolah di Kecamatan Jangka?
5. Bagaimanakah cara masyarakat menanggulangi anak
putus sekolah di Kecamatan Jangka?
Berdasarkan latar belakang dan rumusan
masalah tersebut di atas maka timbullah keinginan penulis untuk mengangkat
permasalahan ini dalam sebuah karangan ilmiah (skripsi)dengan menetapkan
sebagai judul adalah: “ANAK PUTUS SEKOLAH DAN CARA PEMBINAANNYA DI KECAMATAN
JANGKA KABUPATEN BIREUEN”.
B. Penjelasan Istilah
Untuk menghindari kekeliruan dan lebih
mengarahkan pembaca dalam memahami judul skripsi ini penulis merasa perlu untuk
menjelaskan beberapa istilah yang terdapat dalam judul tersebut. Adapun
istilah- istilah yang perlu di jelaskan adalah sebagai berikut:
1. Anak
Artinya orang atau binatang yang baru
di teteskan. Anak adalah turunan kedua sesudah orang yang dilahirkan. Dari
pengertian di atas dapat dipahami bahwa anak adalah manusia yang hidup setelah
orang yang melahirkannya, anak itu merupakan rahmat Allah kepada manusia yang
akan meneruskan cita-cita orang tuanya dan sebagai estafet untuk masa yang akan
datang.[3]
Adapun anak yang penulis maksudkan
dalam skripsi ini adalah anak sebagai keturunan kedua dari sepasang suami istri
yang terikat dengan tali pernikahan yang sah yang tidak terlepas dari didikan
orang tua baik didikan agama maupun pendidikan umum sehingga anak bisa bersaing
dan tercapai cita-citanya.
2. Anak Putus
Sekolah
Putus sekolah (dalam bahasa Inggris dikenal
dengan Putus sekolah) adalah proses berhentinya siswa secara terpaksa
dari suatu lembaga pendidikan tempat dia belajar. Anak Putus sekolah yang
dimaksud dalam penulisan skripsi ini adalah terlantarnya anak dari sebuah
lembaga pendidikan formal, yang disebabkan oleh berbagai faktor, salah satunya
kondisi ekonomi keluarga yang tidak memadai.
3. Cara Pembinaannya
Cara: 1). Aturan sistem. 2). Gaya,
laku, ragam. 3). Adat, resam, kebiasaan. Pembinaan merupakan suatu proses
kegiatan yang di lakukan secara berdaya guna memperoleh hasil yang baik.[4]
Adapun pembinaan yang dimaksud dalam
pembahasan ini adalah suatu usaha untuk pembinaan kepribadian yang mandiri dan
sempurna serta dapat bertanggungjawab, atau suatu usaha, pengaruh, perlindungan
dalam bantuan yang di berikan kepada anak yang tertuju kepada kedewasaan anak
itu, atau lebih cepat untuk membantu anak agar cakap dalam melaksanakan tugas
hidup sendiri, pengaruh itu datangnya dari orang dewasa (diciptakan oleh orang
dewasa seperti sekolah, buku pintar hidup sehari-hari, bimbingan dan nasehat
yang memotivasinya agar giat belajar), serta di tujukan kepada orang yang belum
dewasa.
Menurut Yurudik Yahya, pembinaan
adalah “suatu bimbingan atau arahan yang dilakukan secara sadar dari orang
dewasa kepada anak yang perlu dewasa agar menjadi dewasa, mandiri dan memiliki
kepribadian yang utuh dan matang kepribadian yang dimaksud mencapai aspek
cipta, rasa dan karsa.[5]
Istilah pembinaan atau berarti “ pendidikan”
yang merupakan pertolongan yang diberikan dengan sengaja oleh orang dewasa
kepada anak yang belum dewasa. Selanjutnya pembinaan atau kelompok orang lain
agar menjadi dewasa atau mencapai tingkat kehidupan yang lebih tinggi dalam
arti mental.
Dari penjelasan di atas dapat penulis
simpulkan bahwa pembinaan merupakan suatu proses yang di lakukan untuk merubah
tingkah laku individu serta membentuk kepribadiannya, sehingga apa yang di
cita-citakan dapat tercapai sesuai dengan yang diharapkan.
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan yang hendak penulis
capai dalam pembahasan ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui berapa banyak anak putus sekolah
di Kecamatan Jangka.
2. Faktor-faktor apa yang menyebabkan anak putus
sekolah.
3. Bagaimana sikap orang tua terhadap anak putus
sekolah?
4. Bagaimana usaha masyarakat dalam menanggulangi
anak putus sekolah di Kecamatan Jangka.
D. Postulat dan Hipotesis
Bertitik tolak pada latar belakang masalah di atas, maka
penulis perlu mengemukakan beberapa postulat yang kedudukannya sebagai dasar
pemikiran dalam suatu wilayah. Winarno Surachman mengemukakan bahwa: “ Anggapan
dasar (postulat) yang menjadi tumpuan dasar segala pandangan dan kegiatan
terhadap masalah yang dihadapi dalam suatu penelitian. Postulat ini menjadi
titik pangkal, di mana dengan adanya postulat ini tidak lagi menjadi
keragu-raguan penyelidik”.[6]
Adapun postulat (anggapan dasar) dalam
masalah ini adalah sebagai berikut:
1.
Anak-anak
wajib memperoleh pendidikan, terutama pada usia 9 (sembilan) sampai 15 (lima belas) tahun, karena sesuai
dengan peraturan pemerintah.
2.
Tanggung jawab
pendidikan anak berada pada tangan orang tua, guru dan masyarakat.
Berdasarkan anggapan dasar di atas,
maka yang menjadi hipotesis (dugaan sementara) adalah sebagai berikut:
1. Kebanyakan anak putus sekolah di Kecamatan Jangka
disebabkan oleh kurangnya biaya dan kesadaran orang tua dalam menyekolahkan
anaknya.
2. Anak putus sekolah di Kecamatan Jangka berdampak
negatif dalam masyarakat.
3. Cara pembinaan terhadap anak putus sekolah di
Kecamatan Jangka belum optimal.
E. Populasi dan Sampel
Populasi adalah “Keseluruhan objek
penelitian, sedangkan sampel adalah sebagian dari populasi yang dapat mewakili
keseluruhan populasi yang ada”.[7]
Adapun yang menjadi populasi dalam
penelitian ini adalah seluruh masyarakat yang ada di Kecamatan Jangka yang
berjumlah 44 desa dengan jumlah penduduknya 24.208 jiwa, yang terdiri dari 5
(lima) kemukiman dan tingkat putus sekolahnya diambil mulai dari Sekolah Dasar
dan Menegah. Berdasarkan populasi di atas maka yang dijadikan sebagai sampel
dalam penelitian ini adalah 3 desa yang terdapat dalam Kecamatan Jangka yang
mempunyai anak putus sekolah. Sampel yang penulis ambil di sini adalah
masing-masing 2 orang dari 3 desa yaitu kepalah desa dan Tgk. Imum Meunasah. Sampel
ini dianggap dapat mewakili seluruh populasi dan dapat memberikan data yang
penulis perlukan. Tiga desa tersebut menurut pengamatan penulis adalah desa
yang banyak terdapat anak putus sekolah, yaitu:
1. Bugak Punjot, dengan jumlah 2 orang (Kepala Desa
dan Tgk. Imum)
2. Bugak Mesjid, dengan jumlah 2 orang (Kepala Desa
dan Tgk. Imum)
3. Bugak Meunasah dua, dengan jumlah 2 orang (Kepala
Desa dan Tgk. Imum)
F. Metodelogi Penelitian
Setiap penelitian memerlukan metode
dan teknik pengumpulan data yang sesuai dengan masalah yang dihadapi. Metode
penelitian yang dapat dipergunakan dalam penelitian ini adalah metode
deskriptif yaitu “suatu metode yang ingin mengungkapkan, mengembangkan dan
menafsirkan data, peristiwa, kejadian-kejadian dan gejala-gejala
fenomena-fenomena yang terjadi pada saat sekarang”.[8]
Metodologi penelitian ini sangat tepat
digunakan untuk memperoleh data dan informasi yang objektif. Dalam
pelaksanaannya penulis menggunakan dua jenis penelitian, adalah sebagai
berikut:
1. Library Research (studi kepustakaan), digunakan untuk melihat dan mempelajari buku-buku,
literatur-literatur dan bahan referensi lainnya sebagai sumber untuk
menguraikan landasan teoritis dari skripsi ini.
2. Field Research (studi lapangan), digunakan untuk mencari dan mengumpulkan data dari
lapangan. Yang dalam pelaksanaannya digunakan3 (tiga) instrumen penelitian,
yaitu:
a. Observasi
Yaitu cara yang
ditempuh untuk mengamati kondisi lapangan penelitian, yaitu pengamatan langsung
maupun tidak langsung yang ditemui di daerah penelitian.
b. Wawancara
Wawancara yaitu
cara yang ditempuh untuk mewawancarai para informan demi memperoleh data-data
yang diperlukan dalam penelitian ini. Wawancara ditujukan dengan jalan
mengajukan pertanyaan langsung kepada tokoh pimpinan dengan pertanyaan yang
telah di persiapkan.
c. Angket
Angket merupakan
beberapa pertanyaan-pertanyaan sesuai dengan masalah penelitian yang telah di
persiapkan kepada masing-masing responden, yaitu masyarakat tiap desa yaitu 3 desa
yang terdapat dalam Kecamatan Jangka yang mempunyai anak putus sekolah untuk
memberikan jawabannya.
Adapun teknik penulisan skripsi ini
penulis berpedoman pada buku “Pedoman Penulisan Karya Ilmiah Fakultas Tarbiyah
IAIN Ar-Raniry Darussalam Banda Aceh Tahun 2004”. Dan buku-buku lain yang
dianggap penting.
BAB II
PENDIDIKAN BAGI ANAK
A. Pentingnya Pendidikan Bagi Anak
Pentingnya pendidikan telah ditegaskan
dalam agama Islam sejak turunnya ayat pertama yaitu:
اِقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ(1) خَلَقَ اْلإِنْسَانَ مِنْ
عَلَقٍ(2) اِقْرَأْ وَرَبُّكَ الْأَكْرَمُ(3) الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ(4) عَلَّمَ
الْإِنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ(5)...
Artinya: “Bacalah
dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia
dari segumpal darah. Bacalah dan Tuhanmulah yang Maha Pemurah, yang mengajarkan
(manusia)”.
Itulah ayat yang pertama turun pada
Nabi Muhammad Saw ketika berkhalwat di goa Hira, yang menyangkut dengan
perintah membaca. Landasan atau dasar
hukum mengenai belajar banyak sekali ditemukan dalam Al-Qur`an maupun hadits,
seperti firman Allah dalam surat Az-Zumar ayat 9:
قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِيْنَ يَعْلَمُوْنَ إِنَّمِا يَتَذَكَّرُ أُوْلُوا اْلأَلْبَابِ
(الزمر:9)
Artinya:“Katakanlah
(Ya Muhammad), tidaklah sama antara orang berilmu dengan orang yang tidak
berilmu, sesungguhnya orang yang memiliki akan pikiran adalah orang yang dapat
memberi pelajaran.(Al-Zumar: 9).
Ayat di atas menegaskan bahwa orang
yang berilmu tersebut tidak sama dengan orang yang tidak berilmu, karena hanya
orang yang berilmulah yang dapat menerima pelajaran.
Adapun dasar hukum wajib belajar dalam
hadis adalah:
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: طَلَبُ اْلْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلىَ كُلِّ مُسْلِمٍ وَمُسْلِمَةٍ
(رواه البخارى ومسلم)
Artinya: “Dari
Abu Hurairah ra. Rasulullah Saw bersabda: menuntut ilmu itu wajib bagi setiap
kaum muslim dan kaum muslimah (HR.
Bukhari dan Muslim).[1]
Dalam hadits lain Rasulullah Saw bersabda:
عَنْ اِبْنُ عَبَّاس رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ أَرَادَ الدُّنْيَا فَعَلَيْهِ بِالْعِلْمِ وَمَنْ
أَرَادَا اْلأَخِرَةِ فَعَلَيْهِ بِالْعِلْمِ وَمَنْ أَرَادَهُمَامَعًا فَعَلَيْهِ
بِالْعِلْمِ (رواه أحمد)
Artinya: “Dari Ibnu Abbas
berkata: Rasulullah Saw bersabda: siapa yang ingin meraih kehidupan dunia
dengan baik maka harus dengan ilmu, begitu juga siapa yang ingin meraih
kesuksesan di akhirat maha juga harus dengan ilmu, dan siapa saja yang ingin
meraih kedua-duanya, maka harus dengan ilmu (HR. Ahmad).[2]
Hadits
di atas menjelaskan bahwa, ilmu adalah segala-galanya dan wajib dituntut oleh
kaum muslimin dan muslimah serta siapa saja yang ingin mencari kebahagiaan baik
di dunia maupun akhirat. Dua kebahagiaan tersebut baru bisa dicapai adalah
dengan ilmu (pendidikan). Karena kebahagiaan merupakan tujuan setiap manusia,
Seseorang yang menempuh jalan kebahagiaan berarti sedang menuju pada
kesempurnaan. Menurut Ibn Bajjah :
Kebahagiaan adalah
jika seseorang telah mencapai dalam hidupnya martabat ilmu atau hikmah atau
keberanian atau kemuliaan dan ia sendiri sadar sebagai seseorang yang berilmu,
bijaksana, berani atau mulia, lalu ia berbuat sesuatu dengan apa yang
diketahuinya, tanpa ria dan tanpa mengharapkan keuntungan apapun. Maka itu ia
merasa ketenteraman batin dan mengetahui hakikat hidup dan wujud itu.[3]
Berdasarkan kutipan di atas maka kebahagiaan itu ialah
apabila seseorang telah mencapai tujuan hidupnya dan dapat melakukan aktivitas
sehari-hari berdasarkan ilmu sehingga ia menjadi orang yang bijaksana, beramal
mulia dan bermartabat.
Dalam Islam kebutuhan seseorang
terhadap pendidikan bukanlah hanya sekedar mengembangkan aspek individual dan
sosial yang bersifat mementingkan pertumbuhan dan perkembangan secara fisik
saja, akan tetapi juga untuk mengarahkan naluri agama yang telah ada dalam setiap diri anak, karena pada
dasarnya setiap jiwa manusia itu telah disirami dengan nilai-nilai agama Islam.
Naluri agama yang dimiliki oleh manusia untuk melangsungkan kehidupannya di
dunia ini merupakan suatu pedoman yang harus di tanamkan kepada anak sejak
dini, sehingga proses pendidikan adalah untuk mengembangkan potensi agama
tersebut ke arah yang sebenarnya.[4]
Pertumbuhan dan perkembangan jiwa anak
tidak mungkin tumbuh dan berkembang baik tanpa adanya latihan dan bimbingan
yang bersifat mendidik. Pendidikan tersebut menyangkut dengan pertumbuhan dan
perkembangan jasmani maupun rohani anak. Pendidikan secara umum dimulai pada
usia 9 (sembilan) sampai dengan 15 (lima belas) tahun.
Sudirman, N. mengatakan bahwa:
Belajar adalah pendidikan bagi seseorang.
Pendidikan sendiri adalah terjemahan dari bahasa Yunani paedagogie asal
katanya adalah pais yang artinya anak dan again yang
terjemahannya membimbing, dengan demikian paedagogie berarti bimbingan
yang diberikan pada anak. Dalam perkembangan selanjutnya pendidikan berarti
usaha yang dijalankan oleh seseorang atau kelompok untuk mempengaruhi seseorang
atau kelompok lain agar menjadi dewasa atau mencapai tingkat hidup dan
penghidupan yang lebih tinggi dalam arti mental.[5]
Sudah jelas bahwa arti pendidikan itu
adalah proses pendewasaan seseorang yang dilakukan oleh orang dewasa terhadap
anak didiknya melalui proses pendidikan baik formal maupun non formal.
Pendapat lain menerangkan bahwa
pendidikan itu adalah usaha mengubah tingkah laku individu dalam kehidupan
pribadinya atau kehidupan kemasyarakatan serta kehidupan di alam sekitarnya.[6]
Dalam hal ini anak-anak dididik cara
bergaul dengan masyarakat dan lingkungannya. Sehingga anak akan mampu mengemban
tanggung jawab kepemimpinan masa depan yang sukses. Kalau pendidikan anak
diperhatikan dengan benar, maka dapat diharapkan di kemudian hari akan muncul
generasi baru yang berkualitas, sehat fisik dan akalnya, sempurna akhlaknya
serta mampu melaksanakan dan mengemban cita-cita orang tua dan bangsa secara
bertanggung jawab.
Anak ketika pertama dilahirkan ke
permukaan bumi ini dalam keadaan lemah dan bodoh, tidak tahu apa-apa sehingga
memerlukan kepada bantuan orang lain untuk mendidiknya hal ini sebagaimana
firman Allah Swt:
وَاللهُ أَخْرَجَكُمْ مِنْ بُطُوْنِ أُمَّهَتِكُمْ لاَتَعْلَمُوْنَ شَيْئًا...(النحل:
78)
Artinya:
“Dan Allah telah mengeluarkan kamu
dari perut ibumu sedangkan kamu tidak mengetahui apa-apa”, (QS. An-Nahl: 78).
Ayat di atas menyatakan bahwa manusia
dilahirkan ke bumi ini dalam keadaan lemah dan tidak mengetahui apa-apa.
Kelemahan manusia itu harus dikembangkan melalui proses pendidikan secara
kontinu mulai dari masa kanak-kanak sampai dewasa bahkan sampai manusia itu
meninggalkan dunia fana ini. Seperti yang ditegaskan Rasulullah Saw dalam
hadisnya:
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قاَلَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أُطْلُبُوا اْلعِلْمِ مِنَ اْلمَهْدِ اِلَى الْلَحْدِ (رواه
البخارى والمسلم)
Artinya:
“Dari Abu Hurairah ra. berkata:
Rasulullah Saw berkata: Tuntutlah ilmu mulai dari ayunan hingga ke liang lahad”.
(HR. Bukhari dan Muslim).[7]
Hadis di atas memberi pengertian bahwa
pendidikan itu tidak mengenal usia, mulai semenjak dalam ayunan (kanak-kanak)
pendidikan sudah diberikan hingga umur beranjak dewasa. Berakhirnya masa dewasa
bukan berarti berakhir pula pendidikan, karena Islam berprinsip bahwa
pendidikan manusia berakhir setelah berpisahnya roh dari badan. Hal ini di
pahami dari hadis di atas yang menyatakan bahwa pendidikan tersebut dimulai
dari ayunan hingga ke liang lahad.
Bantuan dan pendidikan yang diberikan
oleh orang tua kepada anak-anak adalah untuk mengembangkan potensinya menjadi
manusia dewasa yang dapat mengemban tanggung jawab yang dibebankan kepadanya.
Dari itu bagaimanapun terbelakangnya peradaban suatu masyarakat tersebut pasti
berlangsung suatu proses pendidikan. Tapi maju mundurnya tingkat pendidikan itu
berbeda-beda menurut perkembangan peradaban suatu masyarakat.
Pendidikan itu sudah ada semenjak
manusia itu ada, karena pada hakikatnya pendidikan merupakan usaha manusia
untuk mengembangkan potensi dalam dirinya. Setiap individu akan berbeda tingkat
perkembangan potensinya, sejauh mana ia memahami perbedaan dalam hidupnya, dari
tidak bisa berjalan menjadi bisa berjalan, dari kecil menjadi besar dan dari
sukar menjadi mudah. Sehingga kekuatan potensinya akan mempengaruhi pada
seluruh aspek kehidupannya.
Mhd. Tabrani. ZA mengemukakan bahwa:
Pendidikan berkembang dari yang sederhana
(primitif) yang berlangsung dalam zaman di mana manusia masih berada dalam
ruang lingkup kehidupan yang serba sederhana. Tujuan-tujuannya pun amat
terbatas pada hal-hal yang bersifat survival (pertahanan hidup terhadap ancaman
alam sekitar).[8]
Pendapat di atas menyatakan bahwa,
pendidikan dimulai dari yang sederhana, yaitu pendidikan yang diberikan kepada anak
harus disesuaikan dengan situasi dan kondisinya. Pendidikan ditujukan bukan
hanya pada pembinaan keterampilan, melainkan kepada pengembangan
kemampuan-kemampuan teoretis dan praktis berdasarkan konsep-konsep berpikir
ilmiah. Kemampuan konsepsional demikian berpusat pada pengembangan kecerdasan
manusia itu sendiri. Oleh karena itu faktor daya pikir manusia menjadi
penggerak terhadap daya-daya lainnya untuk menciptakan peradaban dan kebudayaan
yang semakin maju.
Pendidikan adalah suatu hal yang amat
esensial dalam perkembangan anak-anak dalam menuju kedewasaannya. Pendidikan
yang utama pada dasarnya adalah penanaman nilai-nilai akhlak yang terpuji ke
dalam jiwa anak sejak kecil hingga menjadi dewasa, sehingga dalam menghadapi
kehidupannya di tengah masyarakat memiliki kemampuan dan keterampilan serta
berakhlak mulia.[9]
Pendidikan sangat menentukan diri anak
dalam perkembangannya menuju ke arah yang lebih baik. Apalagi di zaman modern
ini yang segala sesuatu dapat berubah dengan serba cepat adalah berkat pesatnya
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK), sehingga dapat menciptakan
bermacam-macam alat yang canggih. Bahkan kecepatan alat itu dapat mengalahkan
kecepatan manusia itu sendiri. Pendidikan merupakan hal yang penting dalam
pertumbuhan individu anak. Pendidikan adalah semacam investmen untuk
menumbuhkan sumber-sumber manusia yang tidak kurang nilainya dari investmen
pada pertumbuhan sumber-sumber material.[10]
Dalam hal ini Hasan Langgulung
mengemukakan bahwa;
Di antara segi-segi pertumbuhan dan persiapan
yang mungkin adalah membuka dan mengembangkan serta memperkenalkan kepada anak
akan hak-hak yang diberikan oleh Tuhan sebagai individu di dalam suatu
masyarakat Islam. Anak juga harus disiapkan dengan sehat untuk menikmati dan
memperkenalkan dengan bijaksana akan hak-hak itu, memikul kewajiban, tanggung
jawab dengan penuh kemampuan, juga untuk mengadakan hubungan sosial yang
berhasil dan kehidupan ekonomi yang produktif.[11]
Dari kutipan di atas dapat dipahami bahwa
anak-anak dalam pertumbuhannya harus dipersiapkan dengan sematang mungkin
dengan pendidikan untuk mengembangkan dirinya sebagai seorang muslim yang tidak
hanya mementingkan hak saja melainkan juga mengetahui tentang kewajibannya
terhadap Tuhan.
Islam mengaku akan pentingnya
pendidikan bagi anak sebagai salah satu tujuan pokok yang dituju oleh individu atau
masyarakat untuk membinanya. Begitu juga sebagai salah satu alat kemajuan dan
ketinggian bagi individu dan masyarakat, yang merupakan langkah pertama untuk
membina keterampilan dan sikap yang diinginkan pada diri anak ke arah yang
lebih baik.[12]
Pendidikan secara langsung merupakan
dasar pembentukan kepribadian, kemajuan ilmu pengetahuan, kemajuan teknologi,
dan kemajuan kehidupan sosial pada umumnya. Ilmu pengetahuan telah menjadi
dasar perkembangan teknologi serta menjadi tulang punggung pembangunan dan
kehidupan modern dalam meningkatkan kesejahteraan hidup umat manusia.
Mengingat pentingnya pendidikan dalam
upaya mencerdaskan kehidupan bangsa dan mempunyai andil besar dalam memberikan
makna yang sangat tinggi kepada pembangunan bagi kesejahteraan umat manusia
dalam mengarungi bahtera kehidupan, maka dirasa sangat dominan pentingnya pendidikan
bagi anak sebagai suatu usaha untuk memberikan bekal kepada anak agar ia pada
suatu ketika dalam hidupnya dapat berdiri dan dapat memikul tanggung jawab atas
segala perbuatannya.
M. Noor Syam mengemukakan bahwa:
Pendidikan adalah suatu usaha manusia untuk membina kepribadian anak sesuai
dengan nilai-nilai di dalam masyarakat dan budaya.[13]
Berdasarkan pendapat di atas, pendidikan
adalah mengantarkan anak yang belum dewasa ke tingkat kedewasaannya. Sesudah
tingkat ini tercapai orang beranggapan bahwa usaha pendidikan yang menjadi
tugas orang tua dan guru akan berakhir. Kemudian anak yang sudah dewasa itu dianggap
mampu atas kekuatan sendiri tanpa bantuan orang lain dalam menghadapi segala
sesuatu dalam hidupnya. Dan atas dasar pendidikan yang telah diperolehnya si
anak berusaha sendiri mencari pemecahan untuk segala kesulitan yang dijumpainya
dalam perjalanan hidupnya.
Pendidikan mempunyai peranan yang
sangat berarti dalam kehidupan anak, karena dengan pendidikan anak dalam
kiprahnya di dunia ini dapat berbuat banyak. Melalui pendidikan pula anak
nantinya berhasil memecahkan segala persoalan yang ia hadapi, maka ia akan
memperoleh pengalaman dan pengetahuan baru yang akan bermanfaat di dalam
perjalanan hidupnya.
Apalagi di zaman globalisasi ini di
mana munculnya berbagai gejala serta masalah yang menuntut berpikir secara
global. Di era globalisasi ini umat manusia dituntut menggantikan pola-pola
berpikir yang bersifat nasional semata-mata kepada pola-pola berpikir yang
bercakupan dunia, bermoral tinggi dan berakhlak mulia.[14]
Dengan demikian pentingnya pendidikan bagi
anak adalah suatu hal yang amat esensial dalam perkembangan menuju
kedewasaannya. Pendidikan yang utama pada dasarnya adalah penanaman nilai-nilai
akhlak yang terpuji ke dalam jiwa anak sejak kecil hingga menjadi dewasa,
sehingga dalam menghadapi kehidupannya di tengah masyarakat memiliki kemampuan
dan keterampilan serta berakhlak mulia.
Pendidikan formal dapat mendidik
kedisiplinan anak dan sangat berpengaruh dalam pendidikan anak itu sendiri
sehingga terjadi keselarasan antara pendidikan di dalam keluarga dengan sekolah
dalam hal menanamkan suatu kebiasaan-kebiasaan dan budi pekerti yang baik.
B. Peranan Orang Tua Terhadap Pendidikan Anak
Orang tua merupakan orang pertama yang
sangat besar peranannya dalam membina pendidikan anak, karena dari pendidikan
itu akan menentukan masa depan anak. Peran dan upaya orang tua tersebut harus
diperhatikan dengan baik sehingga kepribadian anak dapat tumbuh dan berkembang
dengan sempurna.
Dalam hal ini Al-Husaini Abdul Majid
Hasyim, mengemukakan bahwa: Anak merupakan tanaman kehidupan, buah cita-cita,
penyejuk hati manusia, bunga bangsa yang sedang mekar berkembang dan putik
kemanusiaan yang merupakan dasar terbitnya pagi yang cerah, hari esok yang
gemilang guna merebut masa depan yang cemerlang, memelihara kedudukan umat,serta
di pundaknyalah masa depan bangsa.[15]
Pendapat di atas dengan jelas
menyatakan bahwa mempersiapkan dan mendidik anak sebagai elemen yang membentuk
keluarga, masyarakat dan bangsa. Anak merupakan unit inti yang akan membentuk
unsur pertama bagi kerangka umum pembangunan bangsa yang berkembang dan penuh
toleransi.
Dalam Islam dijelaskan bahwa anak
merupakan amanah Allah yang tidak boleh disia-siakan, karena menyia-nyiakan
anak berarti menyia-nyiakan amanah Allah Swt. Yang jelas dibebankan bagi setiap
manusia supaya anak tersebut wajib dijaga, dirawat dan dipelihara dengan baik
sesuai dengan norma-norma dan nilai islami. Dengan demikian orang tua
berkewajiban menjaga anak-anak baik melalui pembinaan keagamaan maupun
pengarahan lainnya.
Zakiah Daradjat mengemukakan bahwa:
“Hubungan orang tua dan anak sangat mempengaruhi jiwa anak. Baik buruknya serta
bertumbuh tidaknya mental anak sangat tergantung sama orang tua”.[16]
Dengan demikian jelaslah bahwa orang
tua sangat berperan dalam perkembangan anak. Peranan orang tua sangat besar
dalam membina, mendidik serta membesarkan si anak hingga menjadi dewasa. Orang
tua merupakan orang pertama anak-anak belajar mendapatkan pendidikan, otomatis
apa yang didapatkan anak pertama sekali semasa kecilnya akan membekas pada jiwa
dan raganya di kemudian
hari.
Kalau melihat peranan orang tua
sebagai pendidik pertama bagi anak, maka tidak bisa dipisahkan dari peran
seorang ibu. Karena ibulah sebagai pendidik yang utama dalam keluarga. Sebab
sejak bayi dalam kandungan sampai bayi lahir menjadi balita dan menjadi
anak-anak hingga ia dewasa, ibulah yang paling dekat dan paling sering bersama
anak.
Dalam hal ini Jamaluddin mengatakan:
Perkembangan bayi tak mungkin dapat berlangsung
secara normal tanpa adanya intervensi dari luar. Walaupun secara alami ia
memiliki potensi dari bawaan. Seandainya dalam pertumbuhan dan perkembangannya
hanya diharapkan menjadi normal sekalipun, maka ia masih memerlukan berbagai
persyaratan tertentu serta pemeliharaan yang berkesinambungan.[17]
Keterangan di atas menunjukkan bahwa
tanpa bimbingan dan pengawasan yang teratur, anak akan kehilangan kemampuan
untuk berkembang secara normal, walaupun ia memiliki potensi untuk tumbuh dan
berkembang dengan potensi-potensi lain. Yang dapat menciptakan kebahagiaan bagi
anak adalah orang tua yang merasa bahagia dan mampu memahami anaknya dari
segala aspek pertumbuhannya, baik jasmani maupun rohani dan sosial dalam semua
tingkat umur. Kemudian ia mampu memperlakukan dan mendidik anaknya dengan cara
yang akan membawa kepada kebahagiaan dan pertumbuhan yang sehat.
Orang tua memegang peranan yang sangat
penting dalam pendidikan dan bimbingan terhadap anak, karena hal itu sangat
menentukan perkembangan anak untuk mencapai keberhasilannya. Hal ini juga
sangat tergantung pada penerapan pendidikan khususnya agama, serta peranan
orang tua sebagai pembuka mata yang pertama bagi anak dalam rumah tangga. Dari
sinilah orang tua berkewajiban memberi
pendidikan dan pengajaran, terutama pendidikan agama kepada
anak-anaknya, guna membentuk sikap dan akhlak mulia, membina kesopanan dan
kepribadian yang tinggi pada mereka. Hal ini sejalan dengan sabda Nabi Saw yang
menyebutkan sebagai berikut:
عَنْ اَبِى هُرَيْرَةِ رَضِىَ
اللهُ عَنْهُ قَالَ : قاَلَ النَّبِى صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: كُلُّ
مَوْلَوْدٍ يُوْلَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبْوَاهُ يَهُوْدِيْنِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ
أَوْيُمَاجُسِنِهِ (رواه البخارى)
Artinya:
“Dari Abu Hurairah r.a berkata: bersabda Nabi Saw. Setiap anak dilahirkan
dalam keadaan fitrah, maka orang tuanyalah yang menjadikan ia Yahudi atau
Nasrani atau Majusi”. (HR. Bukhari)[18]
Dari hadits di atas dapat disimpulkan
bahwa baik buruknya anak sangat tergantung pada sikap dari pada orang tuanya.
Seandainya orang tua akan dengki mendengki dalam praktek sehari-hari maka anak
akan turut mempengaruhi, demikian pula terhadap hal-hal yang lainnya. Anak yang
dilahirkan ke muka bumi ini dalam keadaan fitrah (kemampuan dasar) berupa potensi
religius (nilai-nilai agama). Kemampuan dasar ini pada dasarnya adalah setiap
jiwa manusia itu telah disirami dengan nilai-nilai agama Islam.[19] Naluri agama yang
dimiliki oleh manusia untuk melangsungkan kehidupannya di dunia ini merupakan
suatu pedoman yang harus ditanamkan kepada anak-anak sejak dini, sehingga
proses pendidikan adalah untuk mengembangkan potensi agama tersebut ke arah
yang sebenarnya.
Hadits
di atas juga menekankan bahwa fitrah yang dibawa sejak lahir bagi anak dapat di
pengaruhi oleh lingkungan. Fitrah tidak dapat berkembang tanpa adanya pengaruh
positif dari lingkungannya yang mungkin dapat dimodifikasi atau dapat diubah
secara drastis bila lingkungannya itu tidak memungkinkan untuk menjadikan
fitrah itu lebih baik.
Abdurrahman dalam bukunya “Madkhal
Ila At-Tarbiyah” menjelaskan bahwa pendidikan terdiri dari empat unsur
utama, yaitu:
1) Penjelasan terhadap fitrah (bakat)
2) Penumbuhan potensi dan menyimpan seluruhnya
3) Pengarahan fitrah dan potensi tersebut untuk
kebaikan dan kesehatan yang sesuai dengannya
4) Penataan dalam amaliyah pendidikan.[20]
Dari
pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa, pada diri anak harus ditanamkan
nilai-nilai yang baik, karena anak sejak lahir telah membawa potensi dan bakat,
dan potensi yang ada pada diri anak tersebut harus diarahkan kepada hal-hal
yang baik.
Pendidikan
berawal dari lingkungan keluarga, yaitu kedua orang tua kemudian dilanjutkan
dengan lingkungan masyarakat dan pendidikan formal (sekolah). Ketiga sumber
pendidikan (tri pusat pendidikan) tersebut harus merupakan satu kesatuan yang
saling berhubungan dan saling menunjang.
Di rumah orang tua dapat mengajarkan
dan menanamkan dasar-dasar keagamaan kepada anak-anaknya, termasuk di dalamnya
dasar-dasar bernegara, dan berperilaku baik serta berhubungan sosial lainnya.[21] Orang tua juga sangat
berpengaruh dalam pendidikan agama. Sebagaimana Firman Allah dalam surat
Luqman: 17
يَا بُنَيَّ أَقِمُ الصَّلاَةَ
وَأمْرُبِالْمَعْـرُوْفِ وَانْهَى عَنِ الْمُنْكَرُوا وَلصَّبْرُعَلىَ مَاأَصَابَكَ
اِنَّ ذَلِكَ مِنْ عَزَمِ اْلاُ مُوْرِ(لقمن:17)
Artinya: "Hai anakku dirikan shalat dan
suruhlah manusia mengerjakan yang baik dan cegahlah mereka dari perbuatan yang
mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu, sesungguhnya yang
demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan Allah Swt" (QS Luqman : 17)
Maksud
ayat di atas
adalah usaha penerapan pendidikan agama yang diusahakan oleh kedua orang tua
sebagai langkah awal adalah dengan menyuruh shalat yang dilaksanakan melalui
latihan-latihan secara rutin.
Zakiah
Daradjat mengatakan: “Anak-anak sebelum dapat memahami sesuatu pengertian
kata-kata yang abstrak seperti benar dan
salah, baik dan buruk, kecuali pengalaman sehari-hari dari orang tua dan
saudara-saudaranya”.[22]
Di
sinilah letak peran orang tua terhadap pendidikan anak yaitu dengan memberikan
pemahaman dengan kata-kata, berbuat dan bertindak. Contoh kehidupannya
sehari-hari bercorak dari tindak tanduk orang tuanya. Selanjutnya Ibnu Sina
mengatakan bahwa: “Anak-anak harus dibiasakan dengan hal-hal terpuji semenjak
ia kecil”.[23]
Contohnya adalah seperti menyuruh anak untuk shalat, bersikap santun terhadap
orang tua, bersikap sopan terhadap orang lain dan berbuat baik terhadap sesama.
Pembinaan
ini merupakan tanggung jawab sepenuhnya oleh orang tua, seperti yang
dikemukakan oleh Ibnu Sina di atas. Karena orang tua merupakan orang yang
pertama dikenal anak, maka hal ini adalah mutlak dan wajib dikerjakan, karena
merupakan perintah dari Allah.
NB : INGIN VERSI LENGKPANYA,, SILAHKAN SOBAT REQUEST DIKOLOM KOMENTAR, TERIMA KASIH BANYAK SUDAH BERKUNJUNG,,,,,,,,,,,,,,
loading...
No comments:
Post a Comment