loading...
BAB
I
PENDAHULUAN
A. LATAR
BELAKANG MASALAH
Indonesia adalah salah satu Negara di dunia yang
menerapkan sistem politik demokrasi. Demokrasi di Indonesia ini, mempunyai
sebuah slogan yang cukup singkat, akan tetapi mempunyai makna yang cukup dalam.
Slogan yang dimaksud adalah dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.
Bercermin dari slogan tersebut, dapatlah kita ketahui bahwa demokrasi yang
diterapkan di Indonesia ini adalah demokrasi keterwakilan, yang mana salah satu
contoh pengejawantahan daripada demokrasi ini adalah adanya pesta demokrasi,
yaitu Pemilihan Umum (Pemilu). Salah satu pemilu yang krusial atau penting
dalam katatanegaraan Indonesia adalah pemilu untuk memilih wakil rakyat yang
akan duduk dalam parlemen, yang biasa kita kenal dengan sebutan Pemilihan Umum
Anggota DPR, DPD dan DPRD. Dalam pemilu ini, rakyat dapat mencalonkan dirinya
untuk menjadi peserta pemilu tersebut sesuai dengan ketentuan yang ada.
Kemudian daripada itu, yang berperan dalam hal memilih, juga rakyat. Rakyatlah
yang memilih para wakilnya yang akan duduk dalam parlemen. Setelah terpilih
menjadi anggota parlemen, para konstituen tersebut pada hakikatnya adalah
bekerja untuk rakyat secara menyeluruh. Itulah yang dinamakan dengan dari
rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.
Akan tetapi, dewasa ini tidak sedikit para anggota
parlemen yang “melupakan” rakyatnya ketika mereka telah duduk enak di kursi
“empuk”. Mereka sibuk dengan urusan pribadi mereka masing-masing, mengutamakan
kepentingan golongan, dan berpikir bagaimana caranya mengembalikan modal mereka
ketika kampanye. Fenomena ini sudah tidak aneh lagi bagi bangsa Indonesia. Para
elite politik saat ini, sudah tidak lagi pada bingkai kesatuan, akan tetapi
berada pada bingkai kekuasaan yang melingkarinya. Seperti misalnya, adanya sengketa
hasil pemilu, black campaign ketika
kampanye dan sebagainya, yang penting bisa mendapatkan kekuasaan. Semboyan
Bhinneka Tunggal Ika pun telah luntur dalam dirinya. Ini hanya sebagai refresh, karena yang akan dibahas bukan
mengenai masalah ini.
Selain sebagai Negara demokrasi, Indonesia juga
merupakan Negara hukum, yang mana menempatkan hukum itu pada kedudukan yang
paling tinggi, atau lebih akrab kita kenal dengan sebutan supremacy of law. Sebagai Negara hukum, Indonesia juga mempunyai ciri-ciri
sehingga bisa disebut sebagai Negara hukum. Salah dua diantara ciri-ciri
tersebut adalah, adanya pengakuan dan penegakkan Hak Asasi Manusia (HAM), dan equality before of law atau perlakuan
yang sama dimuka hukum. Dengan adanya perlakuan yang sama dimuka hukum, maka
setiap orang berhak untuk diperlakukan sama, adil dan tidak pandang bulu.
Pada pokok bahasan kali ini, ada kaitannya dengan
masalah Hak Asasi Manusia (HAM), sebagaimana seperti apa yang telah diuraikan
sebelumnya. Pokok bahasan pada makalah ini adalah tentang hak konstitusional
warga Negara dalam bidang politik yang dirugikan dengan terbitnya suatu
undang-undang, yaitu UU No. 12 tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR,
DPD, dan DPRD. Dengan terbitnya undang-undang tersebut, maka hak warga Negara
yang dijamin dalam pasal 28C ayat (2) UUD 1945 telah dilanggar, sedangkan itu
merupakan salah satu bagian daripada HAM.
Hak
Asasi Manusia (HAM) adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan
keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Kuasa dan merupakan
anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilinungi oleh Negara,
hukum, pemerintah dan setiap orang, demi kehormatan serta perlindungan harkat
dan martabat manusia. Dari definisi diatas, telah jelas bahwa salah satu
ketentuan pasal dalam UU tersebut, telah melanggar HAM.[1]
Singkatnya, jika kita merujuk pada pengertian HAM
diatas, serta merujuk pada UUD 1945, dapat dikatakan bahwa ketentuan pasal
dalam UU No. 12 tahun 2003 telah melanggar HAM, khususnya dalam bidang politik.
B. IDENTIFIKASI
MASALAH DAN RUMUSAN MASALAH
Setiap warga Negara mempunyai hak pasif untuk
dipilih dalam pesta demokrasi yang dilaksanakan setiap lima tahun sekali itu,
baik pemilu legislatif maupun pemilu presiden, terkecuali bagi mereka warga
Negara yang tidak cakap hukum, misalnya. Rasanya tidak mungkin orang yang
menderita gangguan jiwa mencalonkan dirinya sebagai peserta pemilu, misalnya
pemilu legislatif. Tetapi, yang banyak terjadi saat ini adalah, menderita
gangguan jiwa setelah mengikuti kompetisi pemilu, karena kalah suara.
Kembali pada pokok bahasan, bagaimanakah
sesungguhnya harmonisasi antara UUD 1945 dan UU No. 12 tahun 2003 tersebut?
Terkait dengan tidak bolehnya warga Negara menggunakan hak pilih pasifnya dalam
pemilu, karena eks tapol.
Oleh karena itu, dalam membahas permasalahan diatas,
ada baiknya kita menyusun suatu rumusan masalah agar lebih tersusun sistematis
ketika membahasnya. Adapun perumusan masalah itu adalah :
1.
Bagaimana
permasalahan tersebut jika dipandang dari segi Hak Asasi Manusia?
2.
Bagaimanakah
putusan Mahkamah Konstitusi dalam memeriksa permohonan judicialreview dari pihak terkait?
C. METODE
PENULISAN
Untuk memperoleh data-data atau informasi yang
diperlukan dalam menyelesaikan tugas makalah ini, penulis menggunakan metode
penelitian hukum normative dengan spesifikasi penulisan deskiptif analitis yang
dilakukan dengan penelitian kepustakaan (library research) dan mengumpulkan
data sekunder di bidang hukum, terutama yang berkaitan dengan pokok pembahasan.
Data sekunder tersebut berupa[2] :
1.
Bahan
Hukum Primer, yaitu bahan hukum yang mempunyai kekuatan mengikat yang terdiri
dari norma dasar atau kaidah dasar, peraturan dasar, peraturan
perundang-undangan, dan sebagainya,
2.
BahanHukum Sekunder, yaitu bahan hukum yang memberi penjelasan mengenai bahan hukum
primer yang dapat membantu menganalisis serta memahami bahan hukum primer
seperti, RUU, hasil penelitian, hasil karya dari kalangan hukum, dan
seterusnya,
3.
Bahan
Hukum Tertier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap
bahan hukum primer dan sekunder, seperti
misalnya kamus, ensiklopedia, indeks kumulatif, dan seterusnya.
D. TUJUAN
PENULISAN
Dalam memberikan tugas makalah ini, tentunya dosen
pengasuh mempunyai suatu tujuan yang dapat bermanfaat, baik sebagai komponen
penilaian maupun bagi diri sendiri. Adapun tujuan yang dimaksud diantaranya
adalah :
1.
Sebagai
salah satu kriteria yang harus dipenuhi agar salah satu komponen penilaian
terpenuhi,
2.
Sebagai
sarana atau media pembelajaran bagi mahasiswa pada umumnya, untuk lebih peka terhadap
gejala social yang terjadi, terutama di bidang hukum, serta juga sebagai media
pembelajaran dalam membuat suatu karya tulis ilmiah yang pada saatnya nanti
dapat di konkritkan dalam pembuatan skripsi atau tugas akhir.
BAB II
PEMBAHASAN
1. Hak
Pilih Pasif Warga Negara dalam Sudut Pandang HAM
Secara umum, seperti yang telah ditulis sebelumnya,
yang dimaksud dengan Hak Asasi Manusia berdasarkan UU No. 39 tahun 1999 tentang
HAM adalah, seperangkat hak yang melekat pada
hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Kuasa dan
merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilinungi
oleh Negara, hukum, pemerintah dan setiap orang, demi kehormatan serta
perlindungan harkat dan martabat manusia. Disini dapat kita lihat bahwa, inti
daripada HAM itu sendiri adalah hak mendasar (fundamental) yang tidak boleh
dikurangi sedikitpun.
Lalu
dimana letak hak pilih pasif (hak dipilih) warga Negara?
Hak
pilih pasif adalah salah satu contoh hak konstitusional warga Negara dalam
bidang politik yang juga merupakan bagian daripada HAM. Jadi, hak pilih pasif
seorang warga Negara, sudah seharusnya untuk dihormati, dijunjung tinggi dan
dilindungi oleh Negara, hukum dan pemerintah. Mengenai perlindungan hak pilih
pasif itu juga, telah diatur dan dilindungi oleh UUD 1945 negara Republik
Indonsia, yaitu pada ketentuan pasal 28C ayat (2)[3],
pasal 28D ayat (1)[4],
pasal 28D ayat (3)[5],
pasal 28I ayat (2)[6].
Disamping
UUD 1945 yang mengatur tentang perlindungan hak pilih pasif tersebut, article 21 Universal Declaration of Human Rights tahun 1948, juga mengatur
tentang hal tersebut. Article 21 berbunyi : everyone
has the right to take part in the government of his country, directly or
through freely chosen representatives. The will of the people shall be the
basis of the authority of government; this will shall be expressed in periodic
and genuine elections which shall be by universal and equal suffrage and shall
be held by secret vote or by equivalent free voting procedures. Dengan
demikian jelas bahwa dalam suatu masyarakat demokratis, yang telah diterima
secara universal oleh bangsa-bangsa beradab, hak atas partisipasi politik
adalah suatu hak asasi manusia, yang dilakukan melalui pemilu yang jujur
sebagai manifestasi dari kehendak rakyat yang menjadi dasar dari otoritas
pemerintah.[7]
Jadi, berdasarkan penjelasan yang telah dipaparkan
diatas, ketentuan pasal suatu peraturan perundang-undangan yang melarang bagi
eks tapol mempergunakan hak pilih pasifnya dalam pemilu, telah melanggar Hak Asasi
Manusia (HAM).
2. Putusan
MK Terkait Permohonan Judicial Review
Dasar atau permasalahan pokok dalam pengajuan judicial review ini adalah dimuatnya
ketentuan pasal 60 huruf g pada UU No. 12 tahun 2003, yang mana dalam pasal
tersebut dinyatakan bahwa adanya larangan menjadi anggota DPR, DPD, dan DPRD
bagi mereka yang “bekas anggota organisasi terlarang PKI, termasuk organisasi
massanya, atau bukan orang yang terlibat langsung atau pun tak langsung dalam
G30S PKI atau organisasi terlarang lainnya”.
Pemerintah dalam keterangannya dalam sidang pleno MK
mengenai permohonan diatas menegaskan baha pada saat penyusunan undang-undang
dimaksud, pemerintah dan DPR RI sangat taat asas terhadap sumber hukum yaitu
dengan memperhatikan masih diberlakukannya Tap. MPRS-RI No. XXV/MPRS/1966
tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia, Pernyataan sebagai Organisasi
Terlarang di seluruh Wilayah Negara RI bagi PKI Indonesia dan Larangan Setiap
Kegiatan untuk menyebarkan atau mengembangkan paham atau ajaran
Komunis/Leninisme.[8]
Selain dari pihak pemerintah yang memberikan
keterangan dalam sidang pleno Mahkamah Konstitusi, pihak pemohon pun juga tiada
hentinya memberikan opini-opini guna meloloskan niatnya tersebut untuk
menghapuskan pasal 60 huruf g UU No. 12 tahun 2003 tersebut. Bahkan sampai
terjadinya dissenting opinion antara
pihak yang terkait dalam sidang pleno tersebut. Jika kita mengingat sejarah
pada dahulu kala, Partai Komunis Indonesia (PKI) memang merupakan suatu partai
yang begitu “kejam” dan memiliki haluan yang bertolak belakang dengan Indonesia
yang mana Indonesia menganut Ketuhanan Yang Maha Esa.
Setelah melalui masa-masa sidang pleno yang cukup
alot, pada akhirnya Putusan Mahkamah Konstitusi menyatakan pasal 60 huruf g UU
No. 12 tahun 2003 tentang pemilihan umum anggota DPR, DPD, dan DPRD (Lembaran
Negara Tahun 2003 Nomor 37, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4277) bertentangan
dengan UUD 1945. Menyatakan pasal 60 huruf g UU No. 12 tahun 2003 tentang
pemilihan umum anggota DPR, DPD, dan DPRD (Lembaran Negara Tahun 2003 Nomor 37,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 4277) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Berdasarkan
pasal 1 angka 1 UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM dan UU No. 26 tahun 2000
tentang Pengadilan HAM, yang sebagaimana tercantum di dalam Pembukaan Hak Asasi
Manusia menurut Tap. MPR No. XVII/MPR/1998, yang dimaksud dengan Hak Asasi
Manusia (HAM) adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan
manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Kuasa dan merupakan anugerah-Nya yang
wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilinungi oleh Negara, hukum, pemerintah
dan setiap orang, demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat
manusia.
Sedangkan
yang dimaksud dengan Tapol itu sendiri adalah, Tahanan Politik yang mana ketika
zaman rezim orde baru menjadi pengurus atau anggota organisasi terlarang Partai
Komunis Indonesia (PKI) atau menjadi anggota organisasi massanya.
Dalam
putusannya, MK menyatakan bahwa pasal 60 huruf g UU No. 12 tahun 2003 tentang
pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak
mempunyai kekuatan hukum tetap.
B. SARAN
Dalam
mengantisipasi agar tidak terjadi lagi ketidak harmonisan antara satu peraturan
perundang-undangan dengan peraturan lainnya, seyogyanya DPR dan Pemerintah,
ketika membentuk suatu undang-undang (UU), tidak seharusnya melulu
mempertimbangkannya hanya dari aspek politisnya saja, akan tetapi juga
mempertimbangkannya dari aspek hukumnya juga.
DAFTAR PUSTAKA
Undang-Undang Dasar
Negara RI tahun 1945
Soedarsono, S. H.. Mahkamah Konstitusi Sebagai Pengawal
Demokrasi. Sekjen dan _______Kepaniteraan MKRI. Jakarta : 2006.
Soekanto,
Soerjono, Sri Mamudji. Penelitian Hukum
Normatif. PT. Raja Grafindo _______Persada. Jakarta : 2003.
loading...
No comments:
Post a Comment