loading...
Pendahuluan
Sejak awal
pembentukan Negara Republik Indonesia ini, para pendiri bangsa (foundingfathers) telah sepakat memancangkan dasar dan falsafah negara adalah
Pancasila dan UUD 1945, di mana sila pertama Pancasila itu adalah Ketuhanan
Yang Mahaesa, dan salah satu pasal dari UUD 1945 itu menjamin kemerdekaan
seluruh penganut agama untuk dapat menjalankan ajaran agamanya. Indonesia dalam
bentuk ini dinyatakan sebagai negara dalam dimensi duniawi, namun tetap
memberikan tempat bagi setiap warganya untuk melaksanakan ajaran agama. [1]
Dengan demikian pluralitas warga dari berbagai aspeknya harus tunduk dan patuh
terhadap Hukum Nasional yang berlaku secara universal bagi seluruh komponen
bangsa di mana pun mereka berada dengan tanpa kecuali.
Secara historis
terlihat adanya upaya simultan kelompok Islam sebagai penduduk mayoritas
Indonesia untuk berkeinginan mewarnai dasar negara dengan nuansa keisalaman.
Hal ini telah dimulai sejak awal kemerdekaan diperoleh dan berkesinambungan
sampai era reformasi sekarang ini, misalnya; a). Perbincangan Piagam Jakarta
pada tanggal 18 Agustus 1945 yang berakhir dengan kesepakatan penghapusan tujuh
kata “… dengan kewajiban menjalankan syari`at Islam bagi pemeluknya”,
dan penghapusan ini diganti dengan klausa “Ketuhanan Yang Mahaesa”, sebagai
prinsip monotheisme yang sama-sama dimiliki seluruh anak bangsa sebagai
penganut agama.[2]
Dengan hal ini, kelompok Islam juga turut merasa memiliki di dalamnya., b).
Perdebatan sengit Majelis Konsituante (1956-1959). Partai-partai Islam yang
dimotori oleh Masyumi, NU, dan PSII berupaya untuk menghidupkan kembali ide
islamisme ini, tetapi karena kelompok ini tidak cukup kuat dibanding dengan
kelompok Nasionalis, mereka hanya memperoleh 43 persen suara (114 kursi dari
257 kursi yang ada) lalu ide ini pun kandas juga.,[3] c) Terakhir, ide menghidupkan kembali Piagam
Jakarta lewat amandemen ke IV pasal 29 UUD 1945 tentang agama yang muncul di
era reformasi ini oleh beberapa partai, juga tetap gagal. [4]
Dengan demikian, sampai saat ini bangsa Indonesia tetap konsisten dengan dasar
negara yang netral agama tersebut.
Nuansa baru
dinamika bangsa saat ini ditandai dengan menguatnya posisi Daerah untuk
mengatur dirinya sendiri, istimewa sekali Nangroe Aceh Darussalam (NAD) karena
telah diberi kesempatan untuk menerapkan syari`at Islam. Era reformasi ternyata
telah secara serta merta menggebrak pintu Otonomi Daerah di seluruh Indonesia,
bahkan otonomi yang seluas-luasnya bagi NAD untuk dapat melaksanakan sayari`at
Islam, hal ini sejalan dengan maksud kelahiran UU No.44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan
Keistimewaan Propinsi Daerah Istimewa
Aceh (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 172, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3839), Kemudian
lebih dipertegas lagi dengan lahirnya UU No.18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Propinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai
Propinsi Nangroe Aceh Darussalam (NAD) (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2001 Nomor 114, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4134). Terakhir, lebih
dioperasionalkan lagi oleh Keputusan Presiden Republik Indonesia (Kepres) 11
Tahun 2003 tanggal 3 Maret 2003 tentang Mahkamah Syari`ah dan Mahkamah Syari`ah
Propinsi di Propinsi Nangroe Aceh Darussalam.[5]
Dengan hal ini dimungkinkan lahirnya hukum pidana Islam di NAD meskipun berbeda
dengan hukum pidana Indonesia yang berlaku secara umum di Nusantara ini.
Nangroe
Aceh Darussalam
1.
Letak Geografis
Nangroe AcehDarussalam (NAD) adalah sebuah propinsi di Indonesia dari 33 propinsi yang ada,
ibu kotanya Banda Aceh (dahulu dikenal dengan nama Kuta Raja). Secara
territorial daerah ini terletak pada posisi sebelah Barat paling ujung
Indonesia, dia berada persis di ujung pulau Sumatera yang secara langsung berbatasan dengan dunia
luar pada Selat Malaka di bagian Utara dan Timur, dan Samudra Indonesia di
bagian Barat, selanjutnya sebelah selatan secara langsung berbatasan dengan
Daerah Sumatera Utara, karenanya, pinggiran (perbatasan) daerah ini lebih
banyak dikelilingi lautan dari pada daratan.[6]
Sampai pada
bulan Juli 2005, posisi geagrafis daerah ini dalam bentuk tabel, adalah sebagai
berikut :
Dapat ditambahkan bahwa
sejak tanggal 26 Desember 2004 (pasca gempa dan sunami dahsyat yang terjadi di
NAD) sampai sekarang tanggal 8 Maret 2006 ( selama 14 bulan) ternyata kuantitas
gempa itu meningkat tajam lagi, yaitu tercatat telah terjadi gempa sebanyak
10.709 kali.[7]
Secara kuantitas hal ini meningkat kira-kira 6 kali lipat jumlah gempa yang
terjadi pada tahun 2003 seperti terlihat
pada penjelasan di atas. Peningkatan ini dimungkan sebagai rentetan dari gempa
bumi yang terjadi pada tanggal 26 Desember 2004 tersebut.
2.
Keadaan Penduduk
Berdasarkan
data Sensus Penduduk Aceh & Nias (SPAN) pasca gempa bumi dan sunami yang
terjadi pada tanggal 26 Desember 2004 yang dilaksanakan oleh Deputi Bidang
Statistik Sosial (BPS) bekerjasama dengan Deputi Bidang SDM dan Kebudayaan BAPPENAS,
serta Lembaga Donor Internasional UNFPA pada tanggal 26 Desember 2005 dapat
disimpulkan bahwa jumlah penduduk NAD secara keseluruhan setelah peristiwa
gempa bumi dan sunami tersebut adalah 4.031.589,- orang, dengan klasifikasi
3.970.853,- orang yang memiliki tempat tinggal atau tersedia tempat tinggalnya,
dan 60.736,- orang yang tidak tersedia tempat tinggalnya.[8]
Inilah data terakhir tentang jumlah penduduk NAD yang dapat dipedomani sampai
saat ini.
3.
Kehidupan Beragama
Kehidupan
beragama di NAD cukup kondusif. Secara umum konsep trilogi kerukunan umat
beragama berjalan dengan baik. Perseteruan masyarakat atas dasar perbedaan
agama hampir tidak pernah terjadi, demikian juga dengan perseteruan atas dasar
internal umat beragama tersebut, hanya saja perseteruan masyarakat beragama,
terutama Islam dengan Pemerintah sedikit mengalami kendala, dalam hal ini
dicontohkan dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), yaitu adanya segelintir
masyarakat yang mengatasnamakan demi terselenggaranya penegakan syari`at Islam
yang kaffah harus memisahkan diri dari NKRI, lalu memicu terjadinya
disharmonisasi hubungannya dengan Pemerintah.
Data tersebut
memperlihatkan bahwa penduduk NAD pada umumnya beragama Islam, yaitu sebesar
98,84 %, sedang non muslim secara keseluruhan adalah penduduk minoritas yang
sangat kecil jumlahnya, yaitu 1, 16 %, dan ini diklasifikasi kepada 4 (empat)
penganut agama, yaitu Kristen Protestan sebanyak 0,89 %, Katolok 0,09 %, Hindu
0,02 %, dan Budha sebanyak 0,16 %.
Meskipun di NAD dijumpai
non muslim sebesar 1,16 % namun tidak dijumpai anggota DPRD yang tidak beragama
Islam. Semua DPRD TK.I Propinsi, demikian juga dengan TK.II Kabupaten Kota
adalah beragama Islam.[9]
Terlepas dari aspek keterwakilan mereka untuk menampung aspirasi yang mereka
emban, mungkin karena sedikitnya jumlah mereka ini maka untuk memenangkan
anggota DPR yang non muslim pada saat pemilu tidak dapat diupayakan.
Hukum
Pidana Islam di Nangroe Aceh Darussalam
Sampai sekarang ini belum ada qanun
khusus yang mengatur tentang hukum pidana Islam di NAD, tetapi hukum pidana
Islam itu masih tersebar pada qanun-qanun yang ada. Setelah diteliti ternyata
baru ada 5 qanun yang memuat hukum pidana Islam tersebut sebagai berikut;
4.
Qanun Nomor 11 Tahun 2002, tentang Pelaksanaan syari`at
Islam bidang aqidah, ibadah, dan syi`ar Islam,
5.
Qanun Nomor 12 Tahun 2003, tentang Minuman khamar dan
sejenisnya,
6.
Qanun Nomor 13
Tahun 2003, tentang Maisir (perjudian),
7.
Qanun Nomor 14 Tahun 2003, tentang Khalwat (Mesum),
8.
Qanun Nomor 7 Tahun 2004, tentang Pengelolaan zakat.
Keseluruhan hukum pidana Islam yang
dimuat pada kelima macam qanun tersebut di atas dapat dikelompokkan kepada dua
macam, yaitu;
a.
Hudud[10]
(Hukum pidana yang sudah jelas bentuk dan ukurannya)
Mengingat hudud ini telah jelas
hukumannya, baik bentuk maupun ukurannya maka maka hakim tidak punya kebebasan
lagi untuk menemukan hukum lain, dalam kesempatan ini hakim hanya memiliki
kesempatan berijtihad untuk menetapkan “apakah tindak pidana itu benar telah
dilakukan, atau pun tidak,” bila ini telah jelas dilakukan maka hakim tinggal
mengambil hukuman yang telah tersedia untuk itu.
Sejalan dengan ketentuan hudud
seperti dikemukakan di atas, ternyata Daerah NAD baru menetapkan satu kasus
hudud saja, yaitu tentang “mengkonsumsi khamar” (minuman keras) dan sejenisnya,
dengan sanksi hukuman cambuk sebanyak 40 kali.[11]
Hal ini bukanlah atas dasar hasil pemikiran Pemerintah NAD dalam menetapkan hukumannya berupa hukum cambuk sebanyak empat
puluh kali, tetapi berupa ketentuan Tuhan yang harus diikuti, karena penentuan
hukuman seperti ini telah tegas
tercantum di dalam nas syari`at. Dengan demikian Pemerintah NAD tinggal
mengambil, menetapkan, dan melaksanakannya saja.
Hal ini sejalan dengan hadis yang
diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, dari Anas bin Malik RA., Bahwa seseorang
yang telah meminum khamar dibawa ke depan Rasul SAW., maka Rasul SAW.
Mencambuknya dengan dua buah cambuk sebanyak empat puluh kali. Hal seperti ini
diikuti oleh Abu Bakar …[12]
Hadis serupa
juga diriwayatkan oleh Muslim, dari Ali tentang kisah Al-Walid ibn `Uqbah,
bahwa Usman ibn `Affan telah menyuruh Ali untuk menerapkan hukum cambuk
terhadap Walid ibn `Uqbah karena dia meminum khamar, untuk hal ini Ali meminta
Abdullah ibn Ja`far untuk melakukan penyambukan, lalu dia melakukannya, maka
pada saat sudah genap empat puluh kali cambukan dia pun berkata, sudah cukup,
dan menambah ucapannya lagi; Rasul melakukan cambukan pada orang meminum khamar
sebanyak empat puluh kali, dan Abu Bakar juga melaksanakan demikian, …[13]
Direncanakan
bahwa kasus kedua menyangkut hudud ini adalah tindak pidana pencurian dengan
sanksi hukuman potong tangan. [14] Sampai sekarang, hal ini belum diterapkan,
karena untuk tindak pidana pencurian ini belum ada aturannya. Diperkirakan
dalam masa dekat (tahun 2006) ini Perda/ Qanun tentang pencurian akan lahir,
sekarang masih bersifat Ranperda, naskah akademiknya telah selesai, namun belum
sampai ke tangan MPU dan Dinas Syari`at, dan jelas belum disidangkan oleh DPRD
NAD. Dengan demikian kasus pencurian ini belum termasuk kasus yang sudah
diterapkan sekarang ini di NAD.[15]
b.
Ta`zir[16]
(Hukuman yang diberi kebebasan bagi hakim untuk menentukannya)
Mengingat
adanya kebebasan hakim untuk menentukan hukuman dalam kasus ta`zir ini maka
kesempatan hakim berijtihad untuk menentukan apa hukuman yang akan ditetapkan
bagi pelakunya, dan bagaimana cara pelaksanaannya sangat besar. Dengan
demikian, kejelian hakim untuk menentukan hukum yang akurat dalam hal ini
sangat diperlukan.
Sejalan dengan
hal ini, DPRD NAD telah mencoba mengkonkritkan hukum ta`zir pada kelima kasus
seperti dikemukakan di atas sehingga pada saat hakim hendak memutuskan perkara,
hakim tersebut telah memiliki aturan yang jelas untuk diberlakukan. Untuk lebih
jelasnya dapat dilihat bahwa hukum ta`zir tersebut telah dijabarkan ke dalam
lima bentuk, sebagai berikut;
1). Hukum Cambuk;
Contoh,
Hukuman cambuk maksimal 12 kali, minimal 6 kali bagi pelaku judi (maisir)
2). Hukum Denda;
Contoh, Hukuman
denda maksimal membayar Rp 35.000.000,- minimal Rp 15.000.000,- bagi orang yang
a). Menyelenggarakan dan atau memberikan fasilitas kepada orang yang akan
melakukan perjudian (maisir)., b). Menjadi pelindung perbuatan perjudian., c).
Memberi izin usaha penyelenggaraan perjudian.
3). Hukum Penjara;
Contoh, Hukuman
kurungan maksimal 6 bulan, minimal 2 bulan bagi yang memberikan fasilitas dan
atau melindungi orang melakukan
perbuatan khalwat (mesum).
4). Hukuman Administratif;
Contoh, Dicabut
izin usahanya bagi perusahaan pengangkutan yang tidak memberi kesempatan dan
fasilitas kepada pengguna jasa untuk shalat fardhu.
5). Hukuman Kumulasi dari hal tersebut di atas;
Contoh,
Menggabung hukuman cambuk dengan hukuman denda
6). Hukuman Berpilih dari hal tersebut di atas;
Contoh, Memilih
hukuman denda dengan meninggalkan hukuman cambuk.
Dualisme
Hukum Pidana di NAD
Terjadinya kekhawatiran dualisme
hukum pidana di NAD adalah antara hukum pidana Indonesia secara umum di satu
sisi, dan hukum pidana NAD yang diatur lewat qanun-qanun sebagai implikasi dari
kesempatan penerapan syari`at Islam di sisi yang lain. NAD sebagai sebuah
propinsi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia memiliki wawasan
kebangsaan dan wawasan bhinneka tunggal ika yang sama dengan Daerah lain di
Nusantara, dia harus berada dalam bingkai falsafah dan konstitusi Negara
Pancasila dan UUD 1945, jelas tidak ada tawar menawar akan hal ini karena
terkait dengan keutuhan NKRI itu sendiri. Dengan tidak mengabaikan akan hal
itu, ternyata realitas telah menampakkan nuansa baru dalam memaknai dan
menjabarkan arti dari NKRI itu sendiri khusus untuk NAD, jika seluruh Daerah di
Indonesia telah diberikan status Otonomi Khusus, maka NAD telah diberikan Otonomi yang
seluas-luasnya untuk menjalankan syari`at Islam. Dengan hal ini terlihat adanya
kesempatan yang besar bagi NAD untuk mempola pembangunan NAD ke arah yang lebih
islami dibanding dengan Daerah lain di Nusantara.
Adanya peran yang besar bagi masyarakat untuk
berpartisipasi membangun NAD menjadi sebuah
propinsi yang berbeda dengan Daerah lain di Nusantara jelas melahirkan
eksklusifisme NAD dalam wadah negara Kesatuan Republik Indonesia.
Eksklusifinsme ini sangat rentan dengan asas equality before the law (mempersamakan
semua orang di bawah hukum), dan sangat subur dengan pemberian hak-hak istimewa
di luar yang berlaku secara umum. Dengan kenyataan seperti ini otomatis akan
melahirkan adanya dualisme hukum yang berwawasan Nasional dan bhinneka Tunggal
Ika di satu sisi, serta hukum yang berwawasan lokal dan ke-Acehan pada sisi
yang lain.
Dengan mengkaji latarbelakang serta sumber kedua hukum
ini tentu pikiran kita akan dapat mengklasifikasi bahwa di sana ada dua macam
hukum yang berbeda, dan tidak saling melingkupi, karenanya dengan menaati salah
satunya kita tidak dapat dinyatakan telah melaksanakan keduanya, dan dengan
melaksanakan keduanya di sana ada kemuskilan karena akan mengamalkan dua hal
yang berbeda oleh seorang subjek hukum pada satu kesempatan. Dengan mempertajam
pandangan ini akan lebih mengkontraskan kehadiran dualisme hukum seperti
dikemukakan di NAD sekarang ini. Untuk hal ini akan diberikan penjelasan lebih
rinci sebagai berikut;
Di satu sisi terpahami adanya dualisme hukum pidana di
NAD, yaitu Hukum Pidana Indonesia sebagai sesuatu yang bersifat umum seperti
yang tertuang di dalam KUHP (Kitab Undang Undang Hukum Pidana) karena NAD
adalah bagian integral dari Negara kesatuan Republik Indonesia. Kemudian, Qonun
(Perda) yang berdasarkan syari`at Islam dan dibuat oleh masyarakat NAD sendiri
sebagai sesuatu ketentuan yang lebih khusus karena NAD telah diberi otonomi
yang seluas-luasnya untuk menerapkan syari`at Islam berdasar UU No.18 Tahun
2001. Penempatan kedua ini sebagai sesuatu yang berhadap-hadapan tentu akan
mempertajam pemaknaan terhadap dualisme hukum pidana di NAD tersebut, bahkan
dapat mengarah kepada kaburnya asas kepastian hukum, dan keadilan hukum. Jelas
bahwa dualisme hukum seperti dipersepsikan ini akan menimbulkan kajian
tersendiri dalam rangka mencari titik temu kebersamaan seluruh komponen bangsa
dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Untuk menepis berbagai
kekhawatiran dampak negatif yang muncul akibat penerapan syari`at Islam bagi
NAD tersebut, terutama adanya dualisme hukum pidana yang dapat berakibat
terhadap rontoknya asas kepastian hukum, dan asas equality before the law,
dan yang lainnya maka disajikan uraian berikut ini.
Sejak awal perbincangan UU No.18 Tahun 2001 tentang
Otonomi Khusus bagi Propinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Propinsi Nangroe Aceh
Darussalam telah disadari betul tentang akan munculnya kajian dualisme hukum di
NAD ini. Untuk tidak terjerembabnya NAD dalam ketidakpastian yang ditimbulkan
akibat dari dualisme hukum seperti dikemukakan maka para pemerakarsa hukum kita
telah mengantisipasinya dengan berbagai hal, sebagai berikut;
1.
Penegasan hal-hal yang masih tetap menjadi kewenangan
Pemerintah Pusat
a.
Bidang pertahanan negara
Dalam
Penjelasan Umum UU No.18 Tahun 2004 dinyatakan; … Kewenangan yang berkaitan
dengan bidang pertahanan negara merupakan kewenangan Pemerintah. Dalam hal
pelaksanaan kebijakan tata ruang pertahanan untuk kepentingan pertahanan Negara
Kesatuan Republik Indonesia di wilayah Propinsi Nangroe Aceh Darussalam yang
tidak bersifat rahasia Pemerintah berkoordinasi dengan Gubernur Propinsi
Nangroe Aceh Darussalam.”[17]
Mengingat
pertahanan negara Republik Indonesia adalah menjadi kewenangan Pemerintah pusat, maka masyarakat NAD tidak
boleh melahirkan qanun yang berkenaan dengan hal ini, apalagi qanun yang
sifatnya berbeda dengan kebijakan pemerintah pusat, pengabaian terhadap hal ini
dipahami sebagai melampaui kewenangan, dan tidak dapat dilaksanakan, bahkan
tidak dapat diberlakukan. Selanjutnya mengenai pengaturan tata ruang pertahanan
di wilayah NAD yang tidak bersifat rahasia maka masyarakat NAD memiliki sedikit
hak untuk berbicara dengan Pemerintah, karenanya masyarakat NAD bisa
merencanakan sesuatu untuk hal ini. Dengan demikian menyangkut bidang
pertahanan ini didominasi oleh Pemerintah Pusat.
b.
Bidang keuangan
Bidang keuangan
NAD diatur secara berimbang. Di samping mengacu kepada UU No.22 Tahun 1999
tentang Pemerintahan Daerah, dan UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan
Keuangan antara pemerintah Pusat dan Daerah, juga diatur di dalam pasal 4 – 7
UU No.18 Tahun 2001. Secara tekhnis, sampai sekarang, penetuan perimbangan
keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah ini belum dipertegas secara tuntas,
meskipun UUPA (Undang Undang Pemerintahan Aceh) telah lahir dan mengamanatkan hal itu, namun masih ada
saja orang yang berkeinginan mempertanyakannya, sehingga hal ini dipahami belum
dapat diselesaikan secara tuntas dalam koridor asas keadilan dan keseimbangan
yang transparan.
2.
Qanun dapat mengenyampingkan peraturan yang berlaku umum
Qanun (Perda)
yang digali dan lahir dari masyarakat NAD sebagai peraturan lokal yang bersifat
khusus untuk masyarakat NAD yang dipahami sebagian besar memiliki perbedaan
dengan ketentuan yang berlaku secara umum di Nusantara mendapat tempat istimewa
untuk diberlakukan bagi umat Islam di NAD. Untuk persoalan masyarakat Aceh yang
telah diatur oleh qanun maka qanunlah yang akan diberlakukan. Hal ini sejalan
dengan Penjelasan Umum Undang Undang No. 18 Tahun 2001 tersebut, dalam salah
satu alineanya dinyatakan; “Qanun Propinsi NAD adalah Peraturan Daerah
Propinsi NAD yang dapat mengenyampingkan peraturan perundang-undangan yang lain
dengan mengikuti asas lex specialis derogaat lex generalis, dan Mahkamah Agung
berwenang melakukan uji materil terhadap Qonun.”[18]
Dengan penjelasan ini maka dipahami bahwa qanun sebagai suatu tatanan
Peraturan Daerah akan dapat mengenyampingkan KUHP yang bersifat umum.
Terkait dengan hal ini, Jimly Asshiddiqie
mengatakan, kita tetap mempedomani prinsip hukum lex superiore derogat lex
infiriore (secara hirarkis peraturan perundang undangan yang tingkatannya
di bawah tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang tingkatannya lebih
tinggi) sepanjang kaitannya dengan bagian-bagian hukum dalam sistem Negara yang
masih tersentralisasi, karena adanya koridor hukum yang tegas yang berlaku
secara Nasional, misalnya bidang pertahanan kemanan, dan aspek tertentu dari
keuangan seperti dikemukakan. Selain dari hal tersebut, maka Daerah ditentukan
sebagai ujung tombak Pembangunan Nasional, dan Daerah diberi keleluasaan untuk
mengatur dirinya sendiri dalam porsi yang lebih besar, termasuk dalam
melahirkan Perda/ Qonun sesuai dengan kekhasan dan keistimewaan daerah
tersebut, karenanya sangat tepat memberlakukan prinsip hukum lex specialis derogat lex generalis
(peraturan khusus dapat mengesampingkan berlakunya suatu peraturan yang
bersifat umum), Daerah dapat saja memberlakukan Perda yang dibuatnya sendiri
sepanjang dalam koridor kewenangan yang diberikan, meskipun dengan
mengesampingkan hukum yang bersifat umum dengan status hirarkisnya yang lebih
tuinggi. Dengan demikian, NAD misalnya boleh saja memberlakukan hukum cambuk
dalam rangka mengamalkan qanun, meskipun mengabaikan hukum penjara dalam rangka
mengenyampingkan KUH Pidana. Hal ini bukan dalam rangka mengadakan perlawanan
hukum tetapi mengamalkan pesan otonomi daerah yang diamanatkan oleh UU No.18
Tahun 2001.[19]
Sekarang ini memang ada suara anak bangsa
yang mencoba memberikan pendapat yang cukup tajam, dan mendasar meskipun
sifatnya kecil, mereka memahami tentang lahirnya Perda-perda yang berisi
syari`at (dalam hal ini dipahami NAD sebagai Daerah yang memperoleh kesempatan
istimewa) telah mengaburkan tujuan pendirian Bangsa ini sebagai bangsa yang
nasionalis. Sejak semula kita telah menghindari exklusivisme agama (terutama
Islam); dalam Dasar negara, dalam Piagam Jakarta, dalam sidang konstituante
yang berakhir dengan Dekrit 5 Juli 1959, dalam sikap ORBA tentang
pengasastunggalam Pancasila bagi seluruh kegiatan sosial dan politik di
Indonesia, bahkan dalam amandemen UUD 1945 pada masa reformasi. Justeru
sekarang ini penerapan syari`at itu telah lahir secara terselubung di berbagai
daerah lewat Perda-perda sebagai dampak dari otonomi Daerah yang diberikan
sekarang ini. Pandangan ini jelas menaruh kecurigaan yang berlebihan tentang
adanya penafsiran yang terlalu jauh terhadap Dasar negara yang nasionalis itu,
sehingga kelompok tertentu dari komponen bangsa ini meraup keistimewaan.
3.
Hukum Islam hanya diberlakukan bagi masyarakat muslim
saja
Dengan
memperhatikan kandungan keseluruhan qanun yang ada di NAD itu maka qanun-qanun
tersebut ada dua macam, yaitu qanun sayari`at, dan qanun non syari`at (yang
berkenaan dengan aspek keduniaan semata). Khusus menyangkut qanun syari`at
hanya diberlakukan bagi umat Islam saja, sedang untuk qanun yang non syari`at
akan berlaku secara umum untuk masyarakat NAD secara keseluruhan. Polarisasi
ini tetap dalam kerangka mempertahankan asas kebebasan menjalankan ajaran agama
dan kepercayaan masing-masing oleh masyarakat NAD.
Memperhatikan uraian
di atas terlihat bahwa pemberlakuan
hukum pidana Isalam yang ada di
NAD itu menganut asas personalitas keislaman. Artinya, qanun-qanun
sayari`at seperti dikemukakan di atas hanya berlaku bagi umat Islam saja,
sedang non muslim secara umum (Protestan, Katolik, Hindu dan Budha, bahkan
penganut aliran Kepercayaan) tidak termasuk di dalamnya, apalagi dipaksa untuk
melaksanakannya, jelas tidak mungkin sama sekali. Dengan demikian, bagi
penduduk non muslim di NAD tidak ada kesulitan untuk tetap tingal di NAD,
karena mereka tetap tunduk kepada KUH Pidana sebagai ketentuan hukum yang
berlaku secara Nasional, di samping tetap menaati qanun yang bersifat non
sayari`at.
Kesimpulan
seperti ini secara jelas dapat dipahami dari:
a).
Pasal 25, ayat (3) Undang Undang No.18 Tahun 2001 mengatakan;
“Kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberlakukan
bagi pemeluk agama Islam.”[20]
b).
Perda No.5 Tahun 2000, pada pasal 2 ayat (2) berbunyi;
“Keberadaan
agama lain di luar agama Islam tetap diakui di daerah ini, dan pemeluknya dapat
menjalankan ajaran agamanya masing-masing.”[21]
Sejalan
dengan ini, Al Yasa` Abubakar mengatakan bahwa penekanan utama pemberlakuan
syari`at Islam di NAD adalah dengan memperhatikan asas personalitas keislaman.
Pemaknaan memberlakukan asas personalitas keislaman di sini adalah, syari`at
Islam itu hanya diberlakukan bagi masyarakat dengan memperhatikan agama pelaku
tindak pidana itu sendiri harus benar-benar beragama Islam, lebih konkrit untuk
hal ini bisa dilihat dari Kartu Tanda Penduduk (KTP) nya, pengamalannya, dan
pengakuannya.[22]
Ketegasan ini membuat pengetahuan tentang apa agama pelaku tindak pidana itu di NAD menjadi sangat penting
dalam hal penentuan penundukan hukum mereka.
Muslim Ibrahim
mengatakan bahwa hukum Islam yang diterapkan di NAD adalah murni berdasarkan
syari`at Islam, karenanya hanya diberlakukan bagi umat Islam saja, sedang non
muslim tidak termasuk di dalamnya, soal urusan agama mereka biarlah mereka yang
mengaturnya sendiri. Dengan demikian qanun sebagai bagian dari hukum Islam yang
berlaku di NAD hanya diberlakukan bagi umat Islam semata.[23]
Sekedar
mengapresaiasi hal ini, terlihat bagi kita bahwa pemberlakuan hukum Islam di
NAD yang ada sekarang ini jelas masih berada dalam koridor trilogi kerukunan umat beragama, yaitu kerukunan
antar umat beragama, kerukunan intern umat beragama, dan kerukunan antar umat
beragama dengan Pemerintah, juga sejalan dengan pedoman dasar dalam beragama
bagi bangsa Indonesaia yang diatur pada pasal 29 UUD 1945 tentang kebebasan
menjalankan ajaran agama dan kepercayaan masing-masing.
Di samping
mengacu kepada asas personalitas keislaman seperti telah dikemukakan, juga
berpedoman kepada UU No.18 Tahun 2001, Qanun No.5 Tahun 2000, dan pernyataan
para pakar, hal ini juga telah dipahami benar oleh non muslim. Misalnya Frietz
R.Tambunan (Pakar Kristen yang kini menjabat Sekretaris Lembaga Penelitian dan
Pengabdian Pada Masayarakat (LP3M), Kepala Pusat Penelitian Humaniora, dan
Kepaka Pusat Pengabdian Pada Masyarakat
Universitas Katolik St. Thomas Medan.) mengatakan; Kepala Dinas Syariat Islam
NAD Al Yasa` Abubakar memang sudah menegaskan bahwa penerapan syari`at Islam
hanya berlaku bagi umat Islam, sehingga mereka yang non muslim tidak perlu
merasa takut berlebihan mendengar syariat Islam. Beliau juga menjamin bahwa
syari`at Islam mengatur dan menjamin hak-hak non muslim di NAD, jika hal ini
memang secara nyata bisa berjalan dengan baik di NAD, pastilah persepsi yang
salah di berbagai pihak tentang pelaksanaan syari`at Islam sebagai sauatu
alternatif sistem tata kenegaraan yang efektif untuk mencapai kesejahteraan
umum, akan terkoreksi.[24]
Sebuah
pertanyaan menarik yang dikemukakan oleh Al Yasa` Abubakar berkaitan dengan
penentuan penetapan hukum yang dihubungkan dengan kajian asas personalitas
keislaman dan territorial tersebut, dikatakan; Seandainya ada masyarakat non
muslim NAD yang secara suka rela tunduk dan patuh terhadap qanun di satu sisi,
namun dengan tetap berpegang kepada keyakinan agamanya pada sisi yang lain, hal
seperti ini pernah terjadi pada masa kolonialis Belanda berkuasa di Indonesia,
di mana bangsa Indonesia diberi kebebasan untuk menundukkan diri kepada hukum
Barat (misalnya BW) yang mereka berlakukan. Al Yasa` Abubakar dalam tulisannya
memiliki kecenderungan bahwa; 1). Jika hal itu merupakan bagian dari ajaran
agama mereka, maka mereka tidak layak untuk tunduk dan patuh terhadap qanun,
tetapi cukup dengan apa yang sudah diatur di dalam agama mereka itu saja., 2).
Jika hal itu tidak diatur di dalam agama mereka, dan apa yang ada di dalam
qanun itu adalah sesuatu hal yang tidak bertentangan dengan ajaran agama
mereka, karenanya bila dengan mengamalkan hal itu bukan dalam rangka melanggar
agamanya, maka jadilah hal ini sebagai masalah yang seyogianya mendapat kajian
dan diskusi terlebih dahulu untuk dapat dinyatakan boleh atau tidak.[25]
Khusus untuk kemungkinan yang kedua ini belum terjawab dengan tuntas.
Dalam
bentuk realitas, peristiwa seperti dikemukakan di atas telah terjadi di NAD dan
telah disikapi dengan tegas, dengan kesimpulan bahwa bagi mereka yang nota bene
non muslim itu tidak dapat diberlakukan hukum Islam seperti apa yang ada di
dalam qanun. Kasus ini terjadi terhadap 6 (enam) orang supir truk yang
melakukan tindak pidana judi di Banda Aceh, 2 (dua) orang dari mereka muslim, sedang
4 (empat) orang lainnya non muslim. Setelah mereka tertangkap oleh pihak
kepolisian, 4 (empat) orang dari mereka yang non muslim itu memohon kepada
aparat penegak hukum supaya mereka disidangkan di Mahkamah Syari`ah dengan
memberlakukan hukum Islam, permohonan mereka ini direspon oleh pihak kepolisian
dan kejaksaan dengan cara mengarahkan penyelesaian perkara mereka ke Mahkamah
Syari`ah, namun begitu sidang pertama dibuka untuk perkara mereka hakim majelis
Mahkamah Syari`ah Banda Aceh mengatakan bahwa penyelesaian perkara 2 (dua)
orang yang muslim dari mereka benar menjadi wewenang Mahkamah Syari`ah Banda
Aceh, dan sidang penyelesaian perkara mereka dapat dilanjutkan, sedang untuk 4
(empat) orang non muslim lainnya dinyatakan tidak menjadi wewenang Mahkamah
Syari`ah Banda Aceh, tetapi Pengadilan Negeri Banda Aceh, karenanya mereka
berempat harus diperiksa dan diputus oleh Pengadilan Negeri Banda Aceh, dengan
demikian perkara mereka harus dilimpahkan ke sana. [26]
Ini memperlihatkan kepada kita bahwa meskipun mereka yang Islam dan non muslim
secara bersama-sama melakukan satu tindak pidana yang diatur oleh qanun (hukum
Islam), namun untuk mereka yang non muslim tetap tidak dapat diberlakukan hukum
Islam, seperti halnya bagi muslim pelaku tindak pidana lainnya, demikian juga
halnya, mereka yang berkeinginan untuk memperoleh keadilan lewat qanun
(syari`at Islam), jika mereka ternyata non muslim maka sama sekali tidak dapat
dikabulkan. Ketegasan ini sekaligus dipahami bagian dari penerapan asas
persoanalitas keislaman, dan territorial tersebut.
Demikian
tegasnya aturan hukum secara normatif ini ditampilkan secara tertulis, dan
dipraktekkan, namun berbeda dengan keinginan masyarakat secara umum. Secara
teoritis, dan praktis dinyatakan bahwa hukum Islam hanya diberlakukan bagi umat
Islam saja, sedang masyarakat pada umumnya menginginkan lain, yaitu
memberlakukan hukum Islam itu bukan hanya untuk umat Islam tetapi termasuk bagi
masyarakat Aceh secara umum, baik muslim maupun non muslim. Keinginan ini tentu
mengenyampingkan asas keislaman, dan
mengedepankan asas territorial semata.
Realitas
ini dapat dilihat dari jawaban responden sebagai berikut;
PEMBERLAKUAN HUKUM ISLAM HANYA BAGI UMAT ISLAM
YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA DI NAD SAJA
Pertanyaan |
Sangat
Setuju
|
Setuju
|
Biasa
Saja
|
Tidak
Setuju
|
Sangat
Tidak
Setuju
|
Jlh.
|
Bagaimana pendapat saudara jika hukum Islam hanya
berlaku bagi muslim yang melakukan tindak pidana di Aceh saja.
|
11
|
25
|
20
|
80
|
24
|
160
|
Persentase |
6,9
|
15,6
|
12,5
|
50
|
15
|
100
|
Ternyata pada
umumnya masyarakat Aceh tidak menyetujui pemberlakuan hukum Islam dibatasi
hanya bagi masyarakat muslim Aceh, dan masyarakat muslim selain Aceh yang
melakukan tindak pidana di Aceh saja. Terbukti dari penolakan masyarakat
sebesar 65 % yang tidak menyetujui hal itu, dengan perincian penolakan secara
keras sebesar 15 %, dan penolakan biasa sebesar 50 %. Sebaliknya, hanya
sebagian kecil saja masyarakat yang melakukan persetujuan, yaitu sebesar 22,5
%, yang terdiri dari sangat setuju 6,9 %, dan setuju biasa 15,6 %. Selebihnya,
yaitu 12,5 % bersikap apatis.
Untuk
pemberlakuan hukum Islam bagi non muslim terlihat pada tabel berikut;
PEMBERLAKUAN HUKUM ISLAM
TERMASUK BAGI NON MUSLIM
Pertanyaan |
Sangat
Setuju
|
Setuju
|
Biasa
Saja
|
Tidak
Setuju
|
Sangat
Tidak
Setuju
|
Jlh.
|
Hukum Islam tidak berlaku bagi non muslim
|
18
|
47
|
24
|
51
|
20
|
160
|
Persentase |
11,2
|
29,4
|
15
|
31,9
|
12,5
|
100
|
Data ini
memperlihatkan bahwa penolakan masyarakat lebih besar dari pada yang
mendukungnya, jika hukum Islam tidak diberlakukan bagi non muslim. Terdiri dari
44,4 % masyarakat yang menolak tidak memberlakukan hukum Islam bagi non muslim,
dengan perincian menolak secara keras sebanyak 12,5 %, dan dan menolak biasa
sebanyak 31,9 %. Sebaliknya, yang menerima tidak berlakunya qanun (hukum Islam)
bagi non muslim sebesar 40,6 %, dengan perincian sangat setuju sebesar 11,2 %,
dan setuju biasa sebesar 29,4 %. Selebihnya, sebesar 15 % bersikap apatis
(biasa-biasa saja).
4.
Pemberlakuan asas territorial
Suatu kajian yang mendasar dalam menetapkan peristiwa
hukum adalah menyangkut di mana hal itu dilakukan. Pertanyaan ini berkaitan
dengan lokasi atau tempat peristiwa hukum terjadi, hal ini sangat penting
sejalan dengan adanya perbedaan hukum masing-masing tempat. Indonesia sebagai
sauatu NKRI saja paling tidak sudah terpola kepada tiga macam, yaitu; 1). NAD
sebagai daerah yang telah diberi keleluasaan yang besar untuk menerapkan
syari`at Islam, 2). Daerah-daerah di Nusantara sebagai pemegang hak otonom
memiliki kebebasan untuk menentukan nasib sendiri dalam aspek-aspek khusus
ayang telah diberi kebebasan untuk itu, 3). Hukum yang berlaku yang berlaku
umum untuk seluruh daerah Indonesaia. Adanya perbedaan hukum yang berlaku
berangkat dari pendekatan di mana peristiwa hukum ini dilakukan disebut dengan
asas territorial.
Di samping memperhatikan objek pelaku tindak pidana itu
di satu sisi juga diperhatikan tempat di mana tindak pidana itu dilakukan, maka
penentuan daerah NAD sebagai teritori yang dipedomani untuk dapat dinyatakan
berlakunya qanun adalah merupakan kemutlakan. Artinya, hanya tindak pidana yang
dilakukan di NAD sajalah yang menjadi perbincangan qanun-qanun itu, asalkan
tempatnya di NAD meskipun orangnya bukan masyarakat NAD tidak menjadi persoalan
lagi, yang penting mereka sedang berada di NAD. Dengan mencermati hal ini
terlihat bahwa asas territorial ini diberlakukan di NAD.
Dengan
pemberlakuan asas personalitas keislaman, dan asas territorial seperti
dikemukakan di atas maka ada empat macam pedoman, sebagai berikut;
a). Untuk
masyarakat muslim NAD yang melakukan tindak pidana di NAD secara otomatis hukum
Islam (qanun) diberlakukan bagi mereka.
b). Untuk
masayarakat muslim lainnya (masyarakat muslim bukan Aceh) yang melakukan tindak
pidana di NAD tetap diberlakukan hukum Islam.
c). Untuk
masyarakat NAD non muslim yang melakukan
tindak pidana di NAD atau pun di luar NAD tidak diberlakukan hukum Isalam sama
sekali.
d). Untuk
masyarakat muslim NAD yang melakukan tindak pidana di luar NAD juga tidak
diberlakukan hukum Islam.
5.
Putusan Kasasi[27]
dan Peninjauan kembali[28]
tidak dalam rangka menentang pemberlakuan hukum Islam
Meskipun
Mahkamah Agung memiliki hak menguji dan membatalkan keputusan Pengadilan di
bawahnya, dan Mahkamah Agung hanya memiliki acuan yang nasionalis, tetapi dia
harus mendukung penerapan syari`at Islam di NAD. Mahkamah Agung akan dipahami
keliru bila lewat kasasi dan Peninjauan kembali, dia berani membatalkan
penerapan hukum Islam di NAD dengan mencari alternatif hukum lain. Logika yang
dikembangkan adalah, sikap mengukuhkan putusan Mahkamah Syari`ah, dan Mahkamah
Syari`ah Pripinsi di NAD adalah yang paling bijak, berarti Mahkamah Agung telah
mempedomani pesan yang diemban oleh UU No.44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan
Keistimewaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh, dan UU No.18 Tahun 2001 tentang
Otonomi Khusus Bagi Propinsi Daerah Istimewa Aceh Sebagai Propinsi NAD. Dengan
demikian Mahkamah Agung harus memutus dalam sidang Kasasi atau Peninjauan
Kembali untuk perkara Hukum Pidana Islam dengan berpedoman kepada qanun yang
sudah dibuat oleh DPRD NAD.
Pemahaman
seperti di atas dikemukakan sejalan dengan Penjelasan Umum UU No.18 Tahun 2001
yang berbunyi;
“Hal mendasar
dari Undang Undang ini adalah pemberian kesempatan yang lebih luas untuk
mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri termasuk sumber-sumber ekonomi,
menggali dan memberdayakan sumber daya alam dan sumber daya manusia, menumbuh
kembangkan prakarsa, kreativitas dan demokrasi, meningkatkan peran serta
masyarakat, menggali dan mengimplementasikan tata bermasyarakat yang sesuai
dengan nilai luhur kehidupan masyarakat Aceh, memfungsikan secara optimal Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Propinsi NAD dalam memajukan penyelenggaraan
pemerintahan di Propinsi NAD dan mengaplikasikan syariat Islam dalam
kehidupan bermasyarakat.”[29]
Lebih tegas
lagi hal ini dijumpai dari Penjelasan Umum Undang Undang tersebut pada alinea
berikutnya. Di sana dinyatakan; “Qanun Propinsi NAD adalah Peraturan Daerah
Propinsi NAD yang dapat mengenyampingkan peraturan perundang-undangan yang lain
dengan mengikuti asas lex specialis derogaat lex generalis, dan Mahkamah
Agung berwenang melakukan uji materil terhadap Qonun.”[30]
Ini mengisyaratkan bahwa Mahkamah Agung harus tidak mempergunakan hukum yang
bersifat umum itu sebagai pedoman dalam memutus pada sidang kasasi untuk
perkara yang bersumber dari daerah NAD, tetapi dia mesti berpedoman kepada
qanun, dalam rangka menopang berlakunya hukum Islam yang khusus berlakunya di
NAD. Lewat otonomi Daerah yang digelar di era reformasi ini maka Mahkamah Agung
harus menopang setiap produk hukum Daerah dalam rangka memperkokoh makna dari
otonomi Daerah tersebut.
Bila Mahkamah
Agung, misalnya berkeinginan untuk membatalkan hukum Islam yang diberlakukan di
NAD itu maka akan sama artinya dengan membatalkan Otonomi Daerah yang
Seluas-luasnya bagi NAD itu. Hilangnya kemandirian dan keleluasaan masyarakat
NAD untuk memberlakukan syari`at Islam, jelas merupakan sikap pengebirian
terhadap perjuangan panjang masyarakat Aceh yang sudah berhasil diraih di era
reformasi ini. Bila hal ini yang terjadi berarti Indonesia mundur kembali
kepada era sebelum reformasi.
Hal ini sejalan dengan keinginan masyarakat
NAD, seperti terlihat dalam tabel berikut ini;
SIKAP MASYARAKAT JIKA MAHKAMAH AGUNG
MENUKAR KEPUTUSAN MAHKAMAH SYARI`AH DAN
MAHKAMAH SYARI`AH PROPINSINSI
Pertanyaan |
Sangat
Setuju
|
Setuju
|
Biasa
Saja
|
Tidak
Setuju
|
Sangat
Tidak
Setuju
|
Jlh.
|
Bagaimana pendapat saudara jika Mahkamah Agung dalam
putusan kasasi menukar hukum Islam yang ditetapkan oleh Mahkamah Syari`ah,
dan Mahkamah Syari`ah Propinsi
|
5
|
17
|
18
|
60
|
60
|
160
|
Persentase |
3,1
|
10,6
|
11,3
|
37.5
|
37.5
|
100
|
Data ini memperlihatkan
bahwa pada umumnya masyarakat NAD tidak setuju jika Mahkamah Agung menukar
keputusan Mahkamah Syari`ah dan Mahkamah Syari`ah Propinsi. Hal ini terbukti
bahwa 75 % masyarakat tidak menginginkan Mahkamah Agung intervensi terhadap
penerapan syari`at Islam yang sudah diputus oleh Mahkamah Syari`ah dan Mahkamah
Syari`ah Propinsi tersebut, yang terdiri dari 37,5 % tidak menginginkan dengan
menolak sangat keras, dan 37,5 % lagi menolak dengan biasa. Hanya sebagian
kecil masyarakat NAD, yaitu 13,7 % yang masih setuju diintervensi oleh Mahkamah
Agung, yang terdiri dari sangat setuju 3,1 %, dan setuju biasa sebesar 10,6 %.
Selebihnya bersikap apatis, yaitu 11,3 %.
Berdasarkan pengamatan
yang dilakukan terdapat kepuasan penerapan hukum Islam yang sangat tinggi NAD.
Hal ini dapat disimpulkan dari semua perkara yang ditangani di Mahkamah
Syari`ah (57 perkara seperti terlihat pada tabel sebelumnya, bahkan sudah ada
sekitar 100 perkara pada saat penelitian ini dilakukan), namun tak seorang pun
yang berkeinginan untuk melakukan upaya hukum banding, meskipun hakim sudah
menawarkannya. Bahkan, persidangan sering dilakukan hanya sekali sidang saja,
karena terdakwa cenderung bersikap mudah, dan ingin perkaranya cepat diputus.
Lebih dari itu lagi, tidak jarang dari mereka itu menginginkan setelah adanya
keputusan hakim supaya eksekusi segera dilaksanakan meskipun dengan mengabaikan
masa banding dua minggu menunggu keputusan itu berkekuatan hukum, karena
terpidana tidak sabar menunggunya. Mengingat banding saja pun sampai saat ini
masih 0 %,[31]
maka diperkirakan adanya kasasi ke Mahkamah Agung, bahkan Peninjauan Kembali,
itu masih jauh kemungkinannya, apalagi keinginan Mahkamah Agung untuk
membatalkan keputusan Mahkamah Syari`ah dan Mahkamah Syari`ah Propinsi tersebut
dipahami masih sangat jauh.
Dengan mempedomani kelima
poin tersebut di atas maka dapat
dipahami bahwa pemberlakuan hukum Islam di NAD yang sedang berjalan sekarang
ini tidak berakibat terhadap munculnya dualisme hukum pidana di NAD. Penentuan
orang sebagai objek hukum yang harus tunduk dan patuh terhadap hukum tersebut
semua berada dalam aturan yang jelas. Dengan demikian munculnya kekhawatiran
berbagai pihak terhadap terabaikannya asas kepastian hukum, asas keadilan
hukum, dan asas persamaan hak dan kedudukan setiap orang di bawah hukum akan
terjawab.
Kesimpulan
Berlakunya
syari`at Isalam di NAD tidak berimplikasi kepada munculnya dualisme hukum
pidana di NAD. Di satu sisi, hukum pidana di NAD telah jelas, yaitu sepanjang
telah diatur oleh qanun maka berlakulah qanun tersebut, dan untuk hal yang
belum diatur oleh qanun maka tetap berlaku KUH Pidana sebagai kitab ketentuan
hukum yang berlaku secara umum di Nusantara, dan ini harus didukung oleh
Mahkamah Agung sebagai pihak yudikatif tertinggi, Di sisi lain menyangkut orang
sebagai objek hukum yang mesti tunduk dan patuh terhadapnya juga telah
jelas, aturan tentang siapa orang yang
harus tunduk kepada qanun dan yang harus tunduk kepada KUH Pidana telah
dipahami lewat asas personalitas keislaman dan asas territorial. Dengan
ketegasan ini, maka adanya kemungkinan munculnya dualisme hukum pidana yang
dapat mengakibatkan ketidakpastian hukum seperti yang dikhawatirkan segelintir
orang tidak akan terjadi.
DAFTAR BACAAN
Abdul Aziz Amir, Al-Ta`zir fi al-Syari`at al-Islamiyah,
(Kairo : Dar al-Fikri al-`Arabi, 1976 M.)
Abdul Aziz Thaba, Islam dan Negara dalam Politik ORBA, (Jakarta :
Gema Insani Press, 1996)
Abdul Qadir Audah, Al-Tasyri` al-Jinai al-Islami,
Juz. 1, (Kairo : Maktabah Daru al-Turas, t.t.)
Al Yasa` Abubakar, Syari`at Islam di Propinsi nangroe Aceh Darussalam
Paradigma Kebijakan dan Kegiatan, (Banda Aceh : Dinas Syariat Islam
Propinsi NAD, 2005)
Bahtiar Efendi, Islam dan Negara: Transrformasi
Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia, (Jakarta : Paramadina,
1998)
Bappenas, BPS, dan UNFPA (serta CIDA, AusAID, dan Nzaid) Hasil
sensus penduduk pasca sunami tanggal 26 Desember 2005 SPAN (Sensus Penduduk
Aceh dan Nias) yang dilakukan pada 15 Agustus – 15 September 2005
Deliar Noer, Partai Islam di Pentas Nasional 1945-1965,
(Jakarta : Grafiti Press, 1987)
Dinas Syariat Islam Propinsi NAD, Himpunan Undang
Undang, Keputusan Presiden, Keputusan Daerah/ Qanun, Instruksi Gubernur, Edaran
Gubernur Berkaitan Dengan Pelaksanaan Syariat Islam, (Banda Aceh : Dinas
Syariat Islam, 2005)
Endang Saepuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juli 1945
dan Sejarah Konsensus Nasional Antara Nasionalis Islamis dan Nasionalis Sekuler
tentang Dasar Negara RI 1945-1959, (Jakarta : Rajawali, 1986)
Frietz R. Tambunan Pr. dalam, Dinas Syari`at Islam
Propinsi Nangroe Aceh Darussalam, Syari`at di Wilayah Syari`at Pernik-Pernik
Islam di Nangroe Aceh Darussalam, Fairus M. Nur Ibr. (Ed.), (Banda
Aceh : Yayasan Ulul Arham, 2002)
Harian Waspada, Edisi Hari Kamis, 9
Maret 2003
Jimly Asshiddiqie, judul; Hukum Islam di Antara Agenda
Reformasi Hukum Nasional, dalam Departemen Agama RI., Mimbar Hukum
Aktualisasi Hukum Islam, (Jakarta : Al Hikmah & Ditbinbapera Islam
Depag RI., 2001)
Mahkamah Syar`iyah Propinsi NAD, Perkara Jinayat yang
diterima dan diputus pada Mahkamah Syar`iyah Propinsi NAD, dan Mahkamah
Syar`iyah se Propinsi NAD sampai bulan Oktober 2005.
Muhammad ibn Ismail al-Kahlani, Subul al-Salam,
Juz.IV, (Bandung : Dahlan, t.t.), 28.
Perencanaan Pembangunan Daerah Propinsi NAD, Aceh in
Figures Aceh Dalam Angka 2004, (BPS & BAPPEDA NAD, Banda Aceh, 2004)
Pustaka Pelajar, Kumpulan Undang Undang Peradilan
Terbaru, Cet. Ke-I, (Jogyakarta : Pustaka pelajar, 2005)
PW NU Jawa Tengah, AULA, No. 4, (Surabaya :
Majalah Nahdlatul Ulama, Tahun XXIV April 2002)
Roihan A.Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama,
(Jakarta : CV. Rajawali, 1991)
loading...
No comments:
Post a Comment