loading...
A.
Latar
Belakang
Pendidikan sesungguhnya adalah transformasi budaya,
sehingga persoalan budaya dan karakter bangsa yang kurang baik akan menjadi
sorotan tajam masyarakat terhadap pelaksanaan
pendidikan di setiap satuan pendidikan. Sorotan itu mengenai berbagai aspek
kehidupan, tertuang dalam berbagai tulisan di media cetak, wawancara, dialog,
dan gelar wicara di media elektronik. Selain di media masa, para pemuka
masyarakat, para ahli, dan para pengamat pendidikan, dan pengamat sosial
berbicara mengenai persoalan budaya dan karakter bangsa di berbagai forum
seminar, baik pada tingkat lokal, nasional, maupun internasional. Persoalan
yang muncul di masyarakat seperti korupsi, kekerasan, kejahatan seksual,
perusakan, perkelahian massa, kehidupan ekonomi yang konsumtif, kehidupn
politik yang tidak produktif, dan sebagainya menjadi topik pembahasan hangat di
media massa, seminar, dan di berbagai kesempatan. Berbagai alternatif
penyelesaian diajukan seperti peraturan, undang-undang, peningkatan upaya
pelaksanaan dan penerapan hukum yang lebih kuat.
Alternatif lain yang banyak dikemukakan untuk
mengatasi, paling tidak mengurangi, masalah budaya dan karakter bangsa yang
dibicarakan itu adalah pendidikan. Pendidikan dianggap sebagai alternatif yang
bersifat preventif karena pendidikan membangun generasi baru bangsa yang
lebih baik. Sebagai alternatif yang bersifat preventif, pendidikan diharapkan dapat
mengembangkan kualitas generasi muda bangsa dalam berbagai aspek yang dapat
memperkecil dan mengurangi penyebab berbagai masalah budaya dan karakter bangsa,
mengapa tidak karena pendidikan
sesungguhnya adalah transformasi budaya. Memang diakui bahwa hasil dari
pendidikan akan terlihat dampaknya dalam waktu yang tidak segera, tetapi
memiliki daya tahan dan dampak yang kuat di masyarakat dalam waktu yang relatif
lama sehingga membangun pendidikan sesungguhnya investasi jangka panjang.
Kurikulum adalah jantungnya pendidikan (curriculum is the heart of education).
Oleh karena itu, sudah seharusnya kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP),
saat ini, memberikan perhatian yang lebih besar pada pendidikan budaya dan
karakter bangsa dibandingkan kurikulum masa sebelumnya, perjalanan kurikulum di
Indonesia dari tahun 1947 sampai dengan tahun 2004 (sebelum KTSP) adalah:
(1) pada tahun 1947
•
Perubahan kisi-kisi pendidikan dari orientasi pendidikan Belanda ke
kepentingan nasional
•
Asas Pendidikan ditetapkan: Panca Sila
•
Baru dilaksanakan di sekolah-sekolah tahun 1950
•
Memuat dua hal pokok: 1. Daftar mata pelajaran; 2. garis-garis pengajaran
•
Mengurangi pendidikan pikiran, mengutamakan pendidikan watak, kesadaran
bernegara dan bermasyarakat, mteri pelajaran dihubungkan dengan kejadian
sehari-hari, perhatian thd kesenian dan pendidikan jasmani.
(2) Tahun 1952 :
•
Lebih
merinci setiap mata pelajaran
•
Silabus
lebih jelas, satu guru mengajar satu mapel
(3) Tahun 1954 (kurikulum gaya lama):
•
Tujuan Pembelajaran tidak dinyatakan secara jelas
(4) Tahun 1962 (kurikulum gaya baru
•
Mempercepat pembangunan nasional
•
Membangun hubungan dengan bangsa-bangsa
lain
•
Menjalankan kebijakan luar negeri negara
(5) Tahun 1964
•
Fokus pada pengembangan daya, cipta, rasa, karsa, dan moral
(pancawardhana)
•
Mata pelajaran dikelompokkan menjadi 5 kelompok bidang studi: 1. moral;
2. kecerdasan; 3. emosional/artistik; 4. keprigelan (ketrampilan); 5. jasmaniah
•
Pendidikan dasar lebih menekankan pada pengetahuan dan kegiatan
fungsional praktis
(6) Tahun 1968
•
Tujuan: membentuk manusia Panca Sila seutuhnya.
•
Menekankan pendekatan organisasi materi pelajaran: kelompok pembinaan
Panca Sila, Pengetahuan Dasar, dan Kecakapan Khusus
•
Jumlah mata pelajaran : 9.
•
Muatan materi bersifat teoritis, tdk mengaitkan dengan permasalahan
faktual di lapangan
•
Titik berat: materi apa saja yg tepat diberikan kepada siswa di tiap
jenjang pendidikan
(7) Tahun 1975
•
Menekankan pada tujuan, agar pendidikan lebih efisien dan efektif
•
Dipengaruhi oleh konsep di bidang manajemen, yaitu MBO (Management by
Objective)
•
Metode, materi, dan tujuan pengajaran dirinci dalam Prosedur Pengembangan
Sistem Instruksional (PPSI)
•
Lahir istilah Satpel (Satuan pelajaran), yaitu rencana pelajaran setiap
satuan bahasan
•
Setiap satpel dirinci lagi: Tujuan Instruksional Umum, Tujuan
Instruksional Khusus, Materi Pelajaran, Alat pelajaran, Kegiatan
Belajar-Mengajar, dan Evaluasi
•
Banyak dikritik karena guru banyak dibuat sibuk menulis rincian dari
setiap kegiatan pembelajaran
(8) Tahun 1984
•
Mengusung process skill approach (pendekatan ketrampilan proses), dg
tetap menganggap penting faktor tujuan
•
Sering juga disebut ‘Kurikulum 1975 yg disempurnakan’
•
Siswa diposisikan sebagai subyek belajar (mengamati, mengelompokkan,
mendiskusikan, hingga melaporkan).
•
Model pembelajaran ini disebut CBSA (Cara Belajar Siswa Aktif), atau SAL
(Student Active Learning).
•
Tokoh penting dibalik lahirnya Kur. 1984 adalah Prof. Conny R. Semiawan (Kepala
Puskur1980-1986), juga Rektor IKIP Jakarta (1984-1992).
•
Konsep CBSA yg bagus secara teori dan bagus hasilnya ketika di
sekolah-sekolah yg dujicobakan, mengalami banyak deviasi dan reduksi saat
dilaksanakan secara nasional.
•
Yang menonjol hanyalah kegaduhan waktu diskusi, dan di sana-sini ada
tempelan gambar-gambar , guru tak lagi mengajar model ceramah.
•
Banyak bermunculan penolakan thd CBSA
(9) Tahun 1994 Suplemen tqhun 1999
•
Merupakan upaya memadukan kurikulum-kurikulum sebelumnya (Kur. 1975 &
Kur. 1984), yaitu pendekatan tujuan dan proses.
•
Banyak mendapatkan kritik karena beban belajar siswa terlalu berat, dari
muatan nasional sampai muatan lokal.
•
Berbagai kepentingan kelompok-kelompok masyarakat mendesakkan agar
isu-isu tertentu masuk dalam kurikulum.
•
Menjelma menjadi kurikulum super padat
•
Diterbitkan Suplemen Kurikulum 1999, berisi pengaturan pada materi yg di
Kur. 1994 diserahkan pengurutannya kepada para guru
(10) Tahun 2004
•
Juga dikenal dengan KBK (kurikulum Berbasis Kompetensi).
•
Setiap pelajaran diurai berdasar kompetensi apa yg mesti dicapai.
•
Muncul kerancuan bila dikaitkan dengan alat ukur kompetensi siswa, yaitu
ujian!, baik yg berupa ujian nasional maupun ujian akhir sekolah dengan soal
pilihan ganda.
•
Mestinya lebih banyak pada praktek dan soal uraian terbuka untuk mengukur
tingkat kompetensi siswa.
•
Banyak guru juga belum memahami esensi dari KBK
•
Sampai akhirnya diganti, Kurikulum 2004 masih dalam taraf uji coba
(11)KTSP
•
Ditinjau dari segi isi dan proses pencapaian taget kompetensi pelajaran
oleh siswa dan teknis penilaiannya tidaklah (banyak) berbeda dengan Kurikulum
2004.
•
Perbedaan dengan Kurikulum 2004 yg paling tampak ialah bahwa guru lebih
diberikan kebebasan utk merencanakan pembelajaran sesuai dg kondisi siswa serta
kondisi sekolah berada.
•
Pemerintah- dalam
hal ini Depdiknas, hanya menetapkan kerangka dasar, Standar Kompetensi Lulusan,
Standar Kompetensi & Kompetensi Dasar tiap mata pelajaran.
•
Selebihnya, (indikator, materi, maupun penilaiannya) diserahkan kepada
para guru & satuan pendidikan di bawah koordinasi dan supervisi pemerintah kab./kota.
Uraian di atas menunjukkan bahwa penyusunan KTSP
sebagai landasan pengelolaan pembelajaran pada satuan pendidikan yang dapat
merespon pendidikan sebagai transformasi budaya yang pada akhirnya menghasilkan
luaran pendidikan yang beriptek dan berimtaq dapat tewujud dengan cataan sumber
daya manusia pengelolah satuan pendidikan memiliki kualitas yang memadai.
Pengawas
sekolah yang merupakan Jabatan
fungsional Pengawas Sekolah adalah jabatan fungsional yang mempunyai ruang
lingkup tugas, tanggung jawab dan wewenang untuk melaksanakan kegiatan
pengawasan akademik dan manajerial pada satuan pendidikan (Permenpan dan RB no.
21 Th 2010). Oleh sebab itu maka pengawas sekolah memegang peran yang stragis
untuk membantu satuan pendidikan dalam pengelolaan untuk mewujudkan luaran
satuan pendidikan yang berkarakter. Olehyang itu bagaimana implementasi
pendidikan karatek bangsa kedalam KTSP
B. Pengertian Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa
Undang-Undang Republik Indonesia nomor 20
tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional (UU
Sisdiknas) merumuskan fungsi dan tujuan pendidikan nasional yang harus
digunakan dalam mengembangkan upaya pendidikan di Indonesia. Pasal 3 UU
Sisdiknas menyebutkan, “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan dan
membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta
didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi
warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”. Tujuan pendidikan
nasional itu merupakan rumusan mengenai kualitas manusia Indonesia yang harus
dikembangkan oleh setiap satuan pendidikan. Oleh karena itu, rumusan tujuan
pendidikan nasional menjadi dasar dalam pengembangan pendidikan budaya dan
karakter bangsa.
Untuk mendapatkan wawasan mengenai arti pendidikan
budaya dan karakter bangsa perlu dikemukakan pengertian istilah budaya,
karakter bangsa, dan pendidikan. Pengertian yang dikemukakan di sini
dikemukakan secara teknis dan digunakan dalam mengembangkan pedoman ini.
Guru-guru Antropologi, Pendidikan Kewarganegaraan, dan mata pelajaran lain,
yang istilah-istilah itu menjadi pokok bahasan dalam mata pelajaran terkait,
tetap memiliki kebebasan sepenuhnya membahas dan berargumentasi mengenai
istilah-istilah tersebut secara akademik.
Budaya diartikan sebagai keseluruhan sistem berpikir,
nilai, moral, norma, dan keyakinan (belief)
manusia yang dihasilkan masyarakat. Sistem berpikir, nilai, moral, norma, dan
keyakinan itu adalah hasil dari interaksi manusia dengan sesamanya dan
lingkungan alamnya. Sistem berpikir, nilai, moral, norma dan keyakinan itu
digunakan dalam kehidupan manusia dan menghasilkan sistem sosial, sistem
ekonomi, sistem kepercayaan, sistem pengetahuan, teknologi, seni, dan
sebagainya. Manusia sebagai makhluk sosial menjadi penghasil sistem berpikir,
nilai, moral, norma, dan keyakinan; akan tetapi juga dalam interaksi dengan
sesama manusia dan alam kehidupan, manusia diatur oleh sistem berpikir, nilai,
moral, norma, dan keyakinan yang telah dihasilkannya. Ketika kehidupan manusia
terus berkembang, maka yang berkembang sesungguhnya adalah sistem sosial,
sistem ekonomi, sistem kepercayaan, ilmu, teknologi, serta seni. Pendidikan
merupakan upaya terencana dalam mengembangkan potensi peserta didik, sehingga
mereka memiliki sistem berpikir, nilai, moral, dan keyakinan yang diwariskan
masyarakatnya dan mengembangkan warisan tersebut ke arah yang sesuai untuk
kehidupan masa kini dan masa mendatang.
Karakter adalah watak, tabiat, akhlak, atau
kepribadian seseorang yang terbentuk dari hasil internalisasi berbagai
kebajikan (virtues) yang diyakini dan
digunakan sebagai landasan untuk cara pandang, berpikir, bersikap, dan
bertindak. Kebajikan terdiri atas sejumlah nilai, moral, dan norma, seperti
jujur, berani bertindak, dapat dipercaya, dan hormat kepada orang lain.
Interaksi seseorang dengan orang lain menumbuhkan karakter masyarakat dan
karakter bangsa. Oleh karena itu, pengembangan karakter bangsa hanya dapat
dilakukan melalui pengembangan karakter individu seseorang. Akan tetapi, karena
manusia hidup dalam ligkungan sosial dan budaya tertentu, maka pengembangan
karakter individu seseorang hanya dapat dilakukan dalam lingkungan sosial dan
budaya yang berangkutan. Artinya, pengembangan budaya dan karakter bangsa hanya
dapat dilakukan dalam suatu proses pendidikan yang tidak melepaskan peserta
didik dari lingkungan sosial,budaya masyarakat, dan budaya bangsa. Lingkungan
sosial dan budaya bangsa adalah Pancasila; jadi pendidikan budaya dan karakter
bangsa haruslah berdasarkan nilai-nilai Pancasila. Dengan kata lain, mendidik
budaya dan karakter bangsa adalah mengembangkan nilai-nilai Pancasila pada diri
peserta didik melalui pendidikan hati, otak, dan fisik.
Pendidikan adalah suatu usaha yang sadar dan
sistematis dalam mengembangkan potensi peserta didik. Pendidikan adalah juga
suatu usaha masyarakat dan bangsa dalam mempersiapkan generasi mudanya bagi
keberlangsungan kehidupan masyarakat dan bangsa yang lebih baik di masa depan.
Keberlangsungan itu ditandai oleh pewarisan budaya dan karakter yang telah
dimiliki masyarakat dan bangsa. Oleh karena itu, pendidikan adalah proses
pewarisan budaya dan karakter bangsa bagi generasi muda dan juga proses
pengembangan budaya dan karakter bangsa untuk peningkatan kualitas kehidupan
masyarakat dan bangsa di masa mendatang. Dalam proses pendidikan budaya dan
karakter bangsa, secara aktif peserta didik mengembangkan potensi dirinya,
melakukan proses internalisasi, dan penghayatan nilai-nilai menjadi kepribadian
mereka dalam bergaul di masyarakat, mengembangkan kehidupan masyarakat yang
lebih sejahtera, serta mengembangkan kehidupan bangsa yang bermartabat.
Atas dasar pemikiran itu, pengembangan pendidikan
budaya dan karakter sangat strategis bagi keberlangsungan dan keunggulan bangsa
di masa mendatang. Pengembangan itu harus dilakukan melalui perencanaan yang
baik, pendekatan yang sesuai, dan metode belajar serta pembelajaran yang
efektif. Sesuai dengan sifat suatu nilai, pendidikan budaya dan karakter bangsa
adalah usaha bersama sekolah; oleh karenanya harus dilakukan secara bersama
oleh semua guru dan pemimpin sekolah, melalui semua mata pelajaran, dan menjadi
bagian yang tak terpisahkan dari budaya sekolah.
C.
Landasan
Pedagogis Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa
Pendidikan adalah suatu upaya
sadar untuk mengembangkan potensi peserta didik secara optimal. Usaha sadar itu
tidak boleh dilepaskan dari lingkungan peserta didik berada, terutama dari
lingkungan budayanya, karena peserta didik hidup tak terpishkan dalam lingkungannya dan bertindak sesuai dengan kaidah-kaidah budayanya.
Pendidikan yang tidak dilandasi oleh prinsip itu akan menyebabkan peserta didik
tercerabut dari akar budayanya. Ketika hal ini terjadi, maka mereka tidak akan
mengenal budayanya dengan baik sehingga ia menjadi orang “asing” dalam
lingkungan budayanya. Selain menjadi orang asing, yang lebih mengkhawatirkan
adalah dia menjadi orang yang tidak menyukai budayanya.
Budaya, yang menyebabkan peserta
didik tumbuh dan berkembang, dimulai dari budaya di lingkungan terdekat
(kampung, RT, RW, desa) berkembang ke lingkungan yang lebih luas yaitu budaya
nasional bangsa dan budaya universal yang dianut oleh ummat manusia. Apabila
peserta didik menjadi asing dari budaya terdekat maka dia tidak mengenal dengan
baik budaya bangsa dan dia tidak mengenal dirinya sebagai anggota budaya
bangsa. Dalam situasi demikian, dia sangat rentan terhadap pengaruh budaya luar
dan bahkan cenderung untuk menerima budaya luar tanpa proses pertimbangan (valueing).
Kecenderungan itu terjadi karena dia tidak memiliki norma dan nilai budaya
nasionalnya yang dapat digunakan sebagai dasar untuk melakukan pertimbangan (valueing).
Semakin kuat seseorang memiliki
dasar pertimbangan, semakin kuat pula kecenderungan untuk tumbuh dan
berkembang menjadi warga negara yang baik.
Pada titik kulminasinya, norma dan nilai budaya secara kolektif pada tingkat makro akan menjadi norma dan nilai budaya bangsa. Dengan demikian, peserta
didik akan menjadi warga negara Indonesia yang
memiliki wawasan, cara berpikir, cara bertindak, dan cara menyelesaikan masalah
sesuai dengan norma dan nilai ciri ke-Indonesiaannya. Hal ini sesuai dengan
fungsi utama pendidikan yang diamanatkan dalam UU Sisdiknas, “mengembangkan
kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa”. Oleh karena itu, aturan dasar yang mengatur
pendidikan nasional (UUD 1945 dan UU Sisdiknas) sudah memberikan landasan
yang kokoh untuk mengembangkan keseluruhan potensi diri seseorang sebagai
anggota masyarakat dan bangsa.
Pendidikan adalah suatu
proses enkulturasi, berfungsi mewariskan nilai-nilai
dan prestasi masa lalu ke generasi mendatang. Nilai-nilai dan prestasi itu
merupakan kebanggaan bangsa dan menjadikan bangsa itu dikenal oleh
bangsa-bangsa lain. Selain mewariskan, pendidikan juga memiliki fungsi untuk
mengembangkan nilai-nilai budaya dan prestasi masa lalu itu menjadi nilai-nilai
budaya bangsa yang sesuai dengan kehidupan masa kini dan masa yang akan datang,
serta mengembangkan prestasi baru yang menjadi karakter baru bangsa. Oleh
karena itu, pendidikan budaya dan karakter bangsa merupakan inti dari suatu proses pendidikan.
Proses pengembangan nilai-nilai
yang menjadi landasan dari karakter itu menghendaki suatu proses yang berkelanjutan yang
terintegrasi disetiap mata pelajaran yang ada di satuan
pendidikan sehingga harus ditegaskan implentasinya dalam kurikulum tingkat satuan pendidikan yang selanjutnya dituangkan dalam silabus dan
rencana palaksanaan pembelajaran disetiap mata pelajaran. Pendidikan budaya dan karakter bangsa dilakukan melalui pendidikan
nilai-nilai atau kebajikan yang menjadi nilai dasar budaya dan karakter bangsa.
Kebajikan yang menjadi atribut suatu karakter pada dasarnya adalah nilai. Oleh
karena itu pendidikan budaya dan karakter bangsa pada dasarnya adalah
pengembangan nilai-nilai yang berasal dari pandangan hidup atau ideologi bangsa Indonesia, agama, budaya, dan nilai-nilai yang terumuskan dalam
tujuan pendidikan nasional.
D.
Fungsi Pendidikan Budaya dan
Karakter Bangsa
Fungsi pendidikan budaya dan karakter
bangsa adalah:
1. pengembangan: pengembangan potensi peserta didik untuk menjadi pribadi
berperilaku baik; ini bagi peserta didik yang telah memiliki sikap dan perilaku
yang mencerminkan budaya dan karakter bangsa;
2. perbaikan: memperkuat kiprah pendidikan nasional untuk bertanggung jawab dalam
pengembangan potensi peserta didik yang lebih bermartabat; dan
3. penyaring: untuk menyaring budaya
bangsa sendiri dan budaya bangsa lain yang tidak sesuai dengan nilai-nilai
budaya dan karakter bangsa yang bermartabat.
E.
Tujuan
Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa
Tujuan pendidikan budaya dan karakter bangsa adalah:
1.
mengembangkan
potensi kalbu/nurani/afektif peserta didik sebagai manusia dan warganegara yang
memiliki nilai-nilai budaya dan karakter bangsa;
2.
mengembangkan
kebiasaan dan perilaku peserta didik yang terpuji dan sejalan dengan
nilai-nilai universal dan tradisi budaya bangsa yang religius;
3.
menanamkan
jiwa kepemimpinan dan tanggung jawab peserta didik sebagai generasi penerus
bangsa;
4.
mengembangkan
kemampuan peserta didik menjadi manusia yang mandiri, kreatif, berwawasan
kebangsaan; dan
5.
mengembangkan
lingkungan kehidupan sekolah sebagai lingkungan belajar yang aman, jujur, penuh
kreativitas dan persahabatan, serta dengan rasa kebangsaan yang tinggi dan
penuh kekuatan (dignity).
F. Nilai-nilai dalam Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa
Nilai-nilai yang dikembangkan dalam pendidikan budaya
dan karakter bangsa diidentifikasi dari
sumber-sumber berikut ini.
1.
Agama: masyarakat
Indonesia adalah masyarakat beragama. Oleh karena itu, kehidupan individu,
masyarakat, dan bangsa selalu didasari pada ajaran agama dan kepercayaannya.
Secara politis, kehidupan kenegaraan pun didasari pada nilai-nilai yang berasal
dari agama. Atas dasar pertimbangan itu, maka nilai-nilai pendidikan budaya dan
karakter bangsa harus didasarkan pada nilai-nilai dan kaidah yang berasal dari
agama.
2.
Pancasila: negara
kesatuan Republik Indonesia ditegakkan atas prinsip-prinsip kehidupan
kebangsaan dan kenegaraan yang disebut Pancasila. Pancasila terdapat pada
Pembukaan UUD 1945 dan dijabarkan lebih lanjut dalam pasal-pasal yang terdapat
dalam UUD 1945. Artinya, nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila menjadi
nilai-nilai yang mengatur kehidupan politik, hukum, ekonomi, kemasyarakatan,
budaya, dan seni. Pendidikan budaya dan karakter bangsa bertujuan mempersiapkan
peserta didik menjadi warga negara yang lebih baik, yaitu warga negara yang
memiliki kemampuan, kemauan, dan menerapkan nilai-nilai Pancasila dalam
kehidupannya sebagai warga negara.
3.
Budaya: sebagai
suatu kebenaran bahwa tidak ada manusia yang hidup bermasyarakat yang tidak
didasari oleh nilai-nilai budaya yang diakui masyarakat itu. Nilai-nilai budaya
itu dijadikan dasar dalam pemberian makna terhadap suatu konsep dan arti dalam
komunikasi antaranggota masyarakat itu. Posisi budaya yang demikian penting
dalam kehidupan masyarakat mengharuskan budaya menjadi sumber nilai dalam
pendidikan budaya dan karakter bangsa.
4.
Tujuan Pendidikan
Nasional: sebagai rumusan kualitas yang harus dimiliki setiap warga negara
Indonesia, dikembangkan oleh berbagai satuan pendidikan di berbagai jenjang dan
jalur. Tujuan pendidikan nasional memuat berbagai nilai kemanusiaan yang harus
dimiliki warga negara Indonesia. Oleh karena itu, tujuan pendidikan nasional
adalah sumber yang paling operasional dalam pengembangan pendidikan budaya dan
karakter bangsa.
Berdasarkan keempat sumber nilai itu, teridentifikasi
sejumlah nilai untuk pendidikan budaya dan karakter bangsa sebagai berikut ini.
Tabel 1. Nilai dan Deskripsi Nilai Pendidikan Budaya
dan Karakter Bangsa
NILAI
|
DESKRIPSI
|
1. Religius
|
Sikap dan
perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran agama yang dianutnya,
toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama lain, dan hidup rukun dengan
pemeluk agama lain.
|
2. Jujur
|
Perilaku yang didasarkan pada
upaya menjadikan dirinya sebagai orang yang selalu dapat dipercaya dalam
perkataan, tindakan, dan pekerjaan.
|
3. Toleransi
|
Sikap dan tindakan yang
menghargai perbedaan agama, suku, etnis, pendapat, sikap, dan tindakan orang
lain yang berbeda dari dirinya.
|
4. Disiplin
|
Tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada berbagai ketentuan dan peraturan.
|
5. Kerja Keras
|
Perilaku yang menunjukkan upaya
sungguh-sungguh dalam mengatasi berbagai hambatan belajar dan tugas, serta
menyelesaikan tugas dengan sebaik-baiknya.
|
6. Kreatif
|
Berpikir dan melakukan sesuatu
untuk menghasilkan cara atau hasil baru dari sesuatu yang telah
dimiliki.
|
7. Mandiri
|
Sikap dan perilaku yang tidak
mudah tergantung pada orang lain dalam menyelesaikan tugas-tugas.
|
8. Demokratis
|
Cara berfikir, bersikap, dan bertindak yang menilai sama hak dan kewajiban dirinya dan orang lain.
|
9. Rasa Ingin Tahu
|
Sikap dan
tindakan yang selalu berupaya untuk mengetahui lebih mendalam dan meluas dari
sesuatu yang dipelajarinya, dilihat, dan didengar.
|
10. Semangat Kebangsaan
|
Cara berpikir, bertindak, dan berwawasan yang
menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan
kelompoknya.
|
11. Cinta Tanah Air
|
Cara
berfikir, bersikap, dan
berbuat yang menunjukkan kesetiaan, kepedulian, dan penghargaan yang tinggi
terhadap bahasa, lingkungan fisik, sosial,
budaya, ekonomi, dan politik bangsa.
|
12. Menghargai Prestasi
|
Sikap dan
tindakan yang mendorong dirinya untuk menghasilkan sesuatu yang berguna bagi
masyarakat, dan mengakui, serta menghormati keberhasilan orang lain.
|
13.
Bersahabat/
Komuniktif
|
Tindakan yang memperlihatkan
rasa senang berbicara, bergaul, dan bekerja sama dengan orang lain.
|
14. Cinta Damai
|
Sikap, perkataan, dan tindakan yang menyebabkan
orang lain merasa
senang dan aman atas kehadiran dirinya.
|
15. Gemar Membaca
|
Kebiasaan
menyediakan waktu untuk membaca berbagai bacaan yang memberikan kebajikan
bagi dirinya.
|
16. Peduli Lingkungan
|
Sikap dan tindakan yang selalu
berupaya mencegah kerusakan pada lingkungan alam di sekitarnya, dan
mengembangkan upaya-upaya untuk memperbaiki kerusakan alam yang sudah
terjadi.
|
17. Peduli Sosial
|
Sikap dan tindakan yang selalu
ingin memberi bantuan pada orang lain dan masyarakat yang membutuhkan.
|
18. Tanggung-jawab
|
Sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya,
yang seharusnya dia lakukan, terhadap diri sendiri, masyarakat,
lingkungan (alam, sosial dan budaya), negara dan Tuhan Yang Maha Esa.
|
G. Prinsip dan
Pendekatan Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa
Pada prinsipnya, pengembangan budaya dan karakter bangsa tidak dimasukkan sebagai pokok
bahasan tetapi terintegrasi ke dalam mata pelajaran-mata pelajaran, pengembangan diri, dan budaya sekolah. Oleh karena itu, guru dan
sekolah perlu mengintegrasikan nilai-nilai yang dikembangkan dalam pendidikan
budaya dan karakter bangsa ke dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP),
Silabus dan Rencana Program Pembelajaran (RPP) yang sudah ada.
Prinsip pembelajaran yang digunakan dalam pengembangan
pendidikan budaya dan karakter bangsa mengusahakan agar peserta didik mengenal
dan menerima nilai-nilai budaya dan karakter bangsa sebagai milik mereka dan
bertanggung jawab atas keputusan yang diambilnya melalui tahapan mengenal
pilihan, menilai pilihan, menentukan pendirian, dan selanjutnya menjadikan
suatu nilai sesuai dengan keyakinan diri. Dengan prinsip
ini, peserta didik belajar melalui proses berpikir, bersikap, dan
berbuat. Ketiga proses ini dimaksudkan untuk
mengembangkan kemampuan peserta didik dalam melakukan kegiatan sosial dan
mendorong peserta didik untuk melihat diri sendiri sebagai makhluk sosial.
Berikut prinsip-prinsip yang
digunakan dalam pengembangan pendidikan budaya dan karakter bangsa.
1. Berkelanjutan; mengandung makna bahwa proses pengembangan nilai-nilai budaya dan karakter
bangsa merupakan sebuah proses panjang, dimulai dari awal peserta didik masuk sampai
selesai dari suatu satuan pendidikan. Sejatinya, proses tersebut dimulai dari
kelas 1 SD atau tahun pertama dan berlangsung paling tidak sampai kelas 9 atau
kelas akhir SMP. Pendidikan budaya dan karakter bangsa di SMA adalah kelanjutan
dari proses yang telah terjadi selama 9 tahun.
2. Melalui semua mata pelajaran, pengembangan diri, dan budaya sekolah; mensyaratkan bahwa proses pengembangan nilai-nilai budaya dan karakter
bangsa dilakukan melalui setiap mata pelajaran, dan dalam setiap kegiatan
kurikuler dan ekstrakurikuler. Gambar 1 berikut ini memperlihatkan pengembangan
nilai-nilai melalui jalur-jalur itu :
Pengembangan nilai budaya dan
karakter bangsa melalui berbagai mata pelajaran yang telah ditetapkan dalam
Standar Isi (SI), digambarkan
sebagai berikut ini.
3. Nilai tidak diajarkan tapi
dikembangkan; mengandung makna bahwa materi nilai budaya dan
karakter bangsa bukanlah bahan ajar biasa; artinya, nilai-nilai itu tidak
dijadikan pokok bahasan yang dikemukakan seperti halnya ketika mengajarkan
suatu konsep, teori, prosedur, ataupun fakta seperti dalam mata pelajaran
agama, bahasa Indonesia, PKn, IPA, IPS, matematika, pendidikan jasmani
dan kesehatan, seni, dan ketrampilan.
Materi pelajaran biasa digunakan sebagai bahan atau
media untuk mengembangkan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa. Oleh karena
itu, guru tidak perlu mengubah pokok bahasan yang sudah ada, tetapi menggunakan
materi pokok bahasan itu untuk mengembangkan nilai-nilai budaya dan karakter
bangsa. Juga, guru tidak harus mengembangkan proses belajar khusus untuk
mengembangkan nilai. Suatu hal yang selalu harus diingat bahwa satu aktivitas
belajar dapat digunakan untuk mengembangkan kemampuan dalam ranah kognitif,
afektif, dan psikomotor.
Konsekuensi dari prinsip ini, nilai-nilai budaya dan
karakter bangsa tidak ditanyakan dalam ulangan ataupun ujian. Walaupun
demikian, peserta didik perlu mengetahui pengertian dari suatu nilai yang
sedang mereka tumbuhkan pada diri mereka. Mereka tidak boleh berada dalam
posisi tidak tahu dan tidak paham makna nilai itu.
4. Proses pendidikan dilakukan peserta didik secara
aktif dan menyenangkan; prinsip ini menyatakan bahwa proses pendidikan nilai
budaya dan karakter bangsa dilakukan oleh peserta didik bukan oleh guru. Guru menerapkan prinsip ”tut wuri handayani” dalam setiap perilaku yang
ditunjukkan peserta didik. Prinsip ini juga menyatakan bahwa proses pendidikan
dilakukan dalam suasana belajar yang menimbulkan rasa senang dan tidak
indoktrinatif.
Diawali dengan perkenalan terhadap pengertian nilai
yang dikembangkan maka guru menuntun peserta didik agar secara aktif. Hal ini
dilakukan tanpa guru mengatakan kepada peserta didik bahwa mereka harus
aktif, tapi guru merencanakan kegiatan belajar yang menyebabkan peserta didik
aktif merumuskan pertanyaan, mencari sumber informasi, dan mengumpulkan
informasi dari sumber, mengolah informasi yang sudah dimiliki, merekonstruksi
data, fakta, atau nilai, menyajikan hasil rekonstruksi atau proses pengembangan
nilai, menumbuhkan nilai-nilai budaya dan karakter pada diri mereka melalui
berbagai kegiatan belajar yang terjadi di kelas, sekolah, dan tugas-tugas di
luar sekolah.
H. Perencanaan
Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa
Perencanaan dan pelaksanaan pendidikan budaya dan karakter bangsa dilakukan oleh kepala sekolah,
guru, tenaga kependidikan (konselor) secara bersama-sama sebagai suatu
komunitas pendidik dan diterapkan ke dalam kurikulum melalui hal-hal berikut ini.
1.
Program Pengembangan Diri
Dalam program pengembngan diri, perencanaan dan pelaksanaan pendidikan budaya dan karakter bangsa dilakukan
melalui pengintegrasian ke dalam kegiatan sehari-hari sekolah yaitu melalui hal-hal berikut.
Kegiatan rutin merupakan kegiatan
yang dilakukan peserta didik secara terus menerus dan konsisten setiap saat. Contoh kegiatan ini adalah upacara pada hari besar kenegaraan,
pemeriksaan kebersihan badan (kuku, telinga, rambut, dan lain-lain) setiap hari
Senin, beribadah bersama atau shalat bersama setiap dhuhur (bagi yang
beragama Islam), berdoa waktu mulai dan selesai
pelajaran, mengucap salam bila bertemu guru, tenaga kependidikan, atau teman.
b. Kegiatan
spontan
Kegiatan spontan yaitu kegiatan
yang dilakukan secara spontan pada saat itu juga. Kegiatan ini dilakukan
biasanya pada saat guru dan tenaga kependidikan yang lain mengetahui adanya
perbuatan yang kurang baik dari peserta didik yang harus dikoreksi pada saat
itu juga. Apabila guru mengetahui adanya perilaku dan sikap yang kurang baik
maka pada saat itu juga guru harus melakukan koreksi sehingga peserta didik
tidak akan melakukan tindakan yang tidak baik itu. Contoh kegiatan itu:
membuang sampah tidak pada tempatnya, berteriak-teriak sehingga mengganggu
pihak lain, berkelahi, memalak, berlaku tidak sopan, mencuri, berpakaian tidak senonoh.
Kegiatan spontan berlaku untuk
perilaku dan sikap peserta didik yang tidak baik dan yang baik sehingga perlu
dipuji, misalnya: memperoleh nilai tinggi, menolong orang lain, memperoleh
prestasi dalam olah raga atau kesenian, berani menentang atau mengkoreksi
perilaku teman yang tidak terpuji.
c.
Keteladanan
Keteladanan adalah perilaku dan sikap guru dan tenaga kependidikan yang lain dalam memberikan contoh terhadap tindakan-tindakan yang baik sehingga diharapkan menjadi panutan bagi peserta
didik untuk mencontohnya. Jika guru dan tenaga kependidikan yang lain
menghendaki agar peserta didik berperilaku dan bersikap sesuai dengan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa maka guru dan tenaga kependidikan yang lain
adalah orang yang pertama dan utama memberikan contoh berperilaku dan bersikap
sesuai dengan nilai-nilai itu. Misalnya, berpakaian rapi, datang
tepat pada waktunya, bekerja keras, bertutur kata sopan, kasih sayang,
perhatian terhadap peserta didik, jujur, menjaga kebersihan.
d. Pengkondisian
Untuk mendukung keterlaksanaan
pendidikan budaya dan karakter bangsa maka sekolah harus dikondisikan sebagai
pendukung kegiatan itu. Sekolah harus mencerminkan kehidupan
nilai-nilai budaya dan karakter bangsa yang
diinginkan. Misalnya, toilet yang selalu bersih, bak sampah ada
di berbagai
tempat dan selalu dibersihkan, sekolah terlihat rapi dan alat
belajar ditempatkan teratur.
2. Pengintegrasian
dalam mata pelajaran
Pengembangan nilai-nilai
pendidikan budaya dan karakater bangsa diintegrasikan dalam setiap pokok bahasan dari setiap mata pelajaran. Nilai-nilai tersebut dicantumkan dalam silabus dan RPP. Pengembangan nilai-nilai itu dalam silabus ditempuh melalui cara-cara
berikut ini:
a. mengkaji
Standar Komptensi (SK) dan Kompetensi Dasar (KD) pada Standar Isi (SI) untuk
menentukan apakah nilai-nilai budaya dan karakter bangsa yang tercantum itu
sudah tercakup di dalamnya;
b. menggunakan
tabel 1 yang memperlihatkan keterkaitan antara SK dan KD dengan nilai dan indikator
untuk menentukan nilai yang akan dikembangkan;
c. mencantumkankan
nilai-nilai budaya dan karakter bangsa dalam tabel 1 itu ke dalam silabus;
d. mencantumkan
nilai-nilai yang sudah tertera dalam silabus ke dalam RPP;
e. mengembangkan
proses pembelajaran peserta didik secara aktif yang memungkinkan peserta didik
memiliki kesempatan melakukan internalisasi nilai dan menunjukkannya dalam
perilaku yang sesuai; dan
memberikan bantuan kepada peserta
didik, baik yang mengalami kesulitan untuk menginternalisasi nilai maupun untuk
menunjukkannya dalam perilaku.
3. BudayaSekolah
Budaya sekolah cakupannya sangat
luas, umumnya mencakup ritual, harapan, hubungan, demografi, kegiatan kurikuler,
kegiatan ekstrakurikuler, proses mengambil keputusan, kebijakan maupun
interaksi sosial antarkomponen di sekolah. Budaya sekolah adalah suasana
kehidupan sekolah tempat peserta didik berinteraksi dengan sesamanya, guru
dengan guru, konselor dengan sesamanya, pegawai administrasi dengan sesamanya,
dan antaranggota kelompok masyarakat sekolah. Interaksi internal kelompok
dan antarkelompok terikat oleh berbagai aturan, norma, moral serta etika
bersama yang berlaku di suatu sekolah. Kepemimpinan, keteladanan, keramahan,
toleransi, kerja keras, disiplin, kepedulian sosial, kepedulian lingkungan,
rasa kebangsaan, dan tanggung jawab merupakan nilai-nilai yang
dikembangkan dalam budaya sekolah.
Pengembangan nilai-nilai dalam pendidikan budaya dan
karakter bangsa dalam budaya sekolah mencakup kegiatan-kegiatan yang dilakukan
kepala sekolah, guru, konselor, tenaga administrasi ketika berkomunikasi dengan
peserta didik dan menggunakan fasilitas sekolah.
I. Pengembangan
Proses Pembelajaran
Pembelajaran pendidikan
budaya dan karakter bangsa menggunakan pendekatan proses belajar peserta didik
secara aktif dan berpusat pada anak;
dilakukan melalui berbagai kegiatan di kelas, sekolah, dan masyarakat.
1. Kelas, melalui proses belajar setiap mata
pelajaran atau kegiatan yang dirancang sedemikian rupa. Setiap kegiatan belajar
mengembangkan kemampuan dalam ranah kognitif, afektif, dan psikomotor. Oleh
karena itu, tidak selalu diperlukan kegiatan belajar khusus untuk mengembangkan
nilai-nilai pada pendidikan budaya dan karakter bangsa. Meskipun demikian,
untuk pengembangan nilai-nilai tertentu seperti kerja keras, jujur, toleransi,
disiplin, mandiri, semangat kebangsaan, cinta tanah air, dan gemar membaca
dapat melalui kegiatan belajar yang biasa dilakukan guru. Untuk pegembangan
beberapa nilai lain seperti peduli sosial, peduli lingkungan, rasa ingin tahu,
dan kreatif memerlukan upaya pengkondisian sehingga peserta didik memiliki
kesempatan untuk memunculkan perilaku yang menunjukkan nilai-nilai itu.
2. Sekolah, melalui berbagai kegiatan sekolah
yang diikuti seluruh peserta didik, guru, kepala sekolah, dan tenaga
administrasi di sekolah itu, direncanakan sejak awal tahun pelajaran, dimasukkan ke Kalender Akademik dan yang dilakukan
sehari-hari sebagai bagian dari budaya sekolah. Contoh kegiatan yang dapat
dimasukkan ke dalam program sekolah adalah lomba vocal group antarkelas tentang lagu-lagu bertema cinta tanah air,
pagelaran seni, lomba pidato bertema budaya dan karakter bangsa, pagelaran
bertema budaya dan karakter bangsa, lomba olah raga antarkelas, lomba kesenian
antarkelas, pameran hasil karya peserta didik bertema budaya dan karakter
bangsa, pameran foto hasil karya peserta didik bertema budaya dan karakter
bangsa, lomba membuat tulisan, lomba mengarang lagu, melakukan wawancara kepada
tokoh yang berkaitan dengan budaya dan karakter bangsa, mengundang berbagai
narasumber untuk berdiskusi, gelar wicara, atau berceramah yang berhubungan
dengan budaya dan karakter bangsa.
3. Luar sekolah, melalui kegiatan ekstrakurikuler
dan kegiatan lain yang diikuti oleh seluruh atau sebagian peserta didik,
dirancang sekolah sejak awal tahun pelajaran, dan dimasukkan ke dalam Kalender
Akademik. Misalnya, kunjungan ke tempat-tempat yang
menumbuhkan rasa cinta terhadap tanah air, menumbuhkan semangat
kebangsaan, melakukan pengabdian masyarakat untuk menumbuhkan kepedulian dan
kesetiakawanan sosial (membantu mereka yang tertimpa musibah banjir,
memperbaiki atau membersihkan tempat-tempat umum, membantu membersihkan atau
mengatur barang di tempat ibadah tertentu).
J. Penilaian Hasil Belajar
Penilaian pencapaian pendidikan
nilai budaya dan karakter didasarkan pada indikator. Sebagai contoh, indikator
untuk nilai jujur di suatu semester dirumuskan dengan “mengatakan
dengan sesungguhnya perasaan dirinya mengenai apa yang dilihat, diamati,
dipelajari, atau dirasakan” maka guru mengamati (melalui berbagai
cara) apakah yang dikatakan seorang peserta didik itu jujur mewakili perasaan
dirinya. Mungkin saja peserta didik menyatakan perasaannya itu secara lisan
tetapi dapat juga dilakukan secara tertulis atau bahkan dengan bahasa tubuh.
Perasaan yang dinyatakan itu mungkin saja memiliki gradasi dari perasaan yang
tidak berbeda dengan perasaan umum teman sekelasnya sampai bahkan kepada yang
bertentangan dengan perasaan umum teman sekelasnya.
Penilaian dilakukan secara terus
menerus, setiap saat guru berada di kelas atau di sekolah. Model anecdotalrecord (catatan yang dibuat guru ketika melihat adanya perilaku yang
berkenaan dengan nilai yang dikembangkan) selalu dapat digunakan guru. Selain
itu, guru dapat pula memberikan tugas yang berisikan suatu persoalan atau
kejadian yang memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk menunjukkan
nilai yang dimilikinya. Sebagai contoh, peserta didik dimintakan menyatakan
sikapnya terhadap upaya menolong pemalas, memberikan bantuan terhadap orang
kikir, atau hal-hal lain yang bersifat bukan kontroversial sampai kepada hal
yang dapat mengundang konflik pada dirinya.
Dari hasil pengamatan, catatan
anekdotal, tugas, laporan, dan sebagainya, guru dapat memberikan kesimpulan
atau pertimbangan tentang pencapaian suatu indikator atau bahkan suatu nilai.
Kesimpulan atau pertimbangan itu dapat dinyatakan dalam pernyataan
kualitatif sebagai berikut ini.
BT : Belum Terlihat
(apabila peserta didik belum memperlihatkan tanda-tanda awal perilaku yang
dinyatakan dalam indikator).
MT : Mulai Terlihat
(apabila peserta didik sudah mulai memperlihatkan adanya tanda-tanda awal
perilaku yang dinyatakan dalam indikator tetapi belum konsisten).
MB : Mulai Berkembang (apabila peserta
didik sudah memperlihatkan berbagai tanda perilaku yang dinyatakan dalam
indikator dan mulai konsisten).
MK : Membudaya
(apabila peserta didik terus menerus memperlihatkan perilaku yang dinyatakan
dalam indikator secara konsisten).
K. Indikator Sekolah dan
Kelas
Ada 2 (dua) jenis indikator yang
dikembangkan dalam pedoman ini. Pertama,
indikator untuk sekolah dan kelas. Kedua,
indikator untuk mata pelajaran. Indikator sekolah dan kelas adalah penanda yang digunakan oleh kepala sekolah, guru, dan personalia sekolah dalam
merencanakan, melaksanakan, dan mengevaluasi sekolah sebagai lembaga pelaksana
pendidikan budaya dan karakter bangsa. Indikator ini berkenaan juga dengan
kegiatan sekolah yang diprogramkan dan kegiatan sekolah sehari-hari (rutin). Indikator
mata pelajaran menggambarkan perilaku afektif seorang peserta didik berkenaan
dengan mata pelajaran tertentu.
Indikator dirumuskan dalam bentuk perilaku peserta
didik di kelas dan sekolah yang dapat diamati melalui pengamatan guru ketika
seorang peserta didik melakukan suatu tindakan di sekolah, tanya jawab dengan
peserta didik, jawaban yang diberikan peserta didik terhadap tugas dan
pertanyaan guru, serta tulisan peserta didik dalam laporan dan
pekerjaan rumah.
Perilaku yang dikembangkan dalam
indikator pendidikan budaya dan karakter bangsa bersifat progresif. Artinya,
perilaku tersebut berkembang semakin kompleks antara satu jenjang kelas ke
jenjang kelas di atasnya dan bahkan dalam jenjang kelas yang sama. Guru
memiliki kebebasan dalam menentukan berapa lama suatu perilaku harus
dikembangkan sebelum ditingkatkan ke perilaku yang lebih kompleks.
Misalkan,”membagi makanan kepada teman” sebagai indikator kepedulian sosial. Guru dapat mengembangkannya menjadi “membagi
makanan”, membagi pensil, membagi buku, dan sebagainya.
Indikator berfungsi bagi guru sebagai
kriteria untuk memberikan pertimbangan
tentang perilaku untuk nilai tertentu telah menjadi perilaku yang dimiliki
peserta didik.
Untuk mengetahui bahwa suatu sekolah itu telah
melaksanakan pembelajaran yang mengembangkan budaya dan karakter bangsa, maka
ditetapkan indikator sekolah dan kelas.
Kesimpulan
Implementasi nilai karakter bangsa merupakan identitas
bangsa yang yang secara dini harus dilakonkan oleh setiap warga negara sehingga
nilai nilai budaya bangsa indonesia menjadi landasan seluruh komponen bangsa
untuk berlaku dan bertindak. Akhirnya kebiasaan ini yang berakumulasi disetiap
personal anak bangsa yang kita harus menjaga agar seluruh komponen bangsa ini
menghayati nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, agama, dan norma agar
kita menjadi bangsa yang memiliki identitas yang luhur dimata bangsa lain. Karakter
bangsa dapat luntur manakala tidak terus dibina dalam implementasi pendidikan
secara utuh. Oleh karena itu, sekolah harus memikirkan pelaksanaan pembelajaran
nilai dan karakter ke dalam praktik pembelajaran yang padu.
Bacaan
Heni Waluyo Siswanto;
Pendidikan Karakter: Apa, Mengapa, dan Bagaimana Implementasinya di Satuan
Pendidikan
Kementerian
Pendidikan Nasional Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan tenaga
kependidikan Direktorat pembinaan Diklat; Pedoman diklat Pendidikan Karakter
Bangsa
Badan standar Nasional
Pendidikan; Panduan penyusunan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Dasar dan
Menengah
Zulfikri Anas;
Implementasi Pendidikan Karakter dalam Pembelajaran di Sekolah.
loading...
No comments:
Post a Comment