loading...
A.
Latar
Belakang
PeraturanMenteri (Permen) nomor 23 tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan secara
jelas menyiratkan bahwa kompetensi yang harus dimiliki oleh peserta didik
setelah mempelajari matematika yaitu kemampuan pemecahan masalah yang meliputi
kemampuan untuk memahami masalah, merancang model matematika, menyelesaikan
model dan menafsirkan solusi yang diperoleh. Kompetensi lain yang diharapkan
dimiliki oleh peserta didik yaitu memiliki sikap menghargai kegunaan matematika
dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam
mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan
masalah.
Kedua kompetensi tersebut memberikan makna bahwa dalam
proses belajar mengajar matematika, guru dan siswa harus menyadari bahwa
sasaran dari belajar matematika adalah kemampuan untuk memecahkan masalah serta
menggunakannya dalam kehidupan sehari-hari. Dalam NCTM (1989) dinyatakan bahwa “… problem solving should become the focus of mathematics in school”.
Ini berarti bahwa fokus dari pembelajaran matematika di
sekolah adalah kemampuan siswa untuk memecahkan masalah. Masalah yang diberikan kepada siswa mencakup masalah
tertutup yaitu masalah dengan solusi tunggal, masalah terbuka dengan solusi
tidak tunggal, dan masalah dengan berbagai cara penyelesaian. Katagori masalah
tersebut dikenal sebagai problem solvingquestion. Dengan diberikannya soal pemecahan masalah kepada siswa, maka kemampuannya
dalam menyelesaiakan dengan langkah-langkah yang tepat merupakan indikator
ketercapaian kompetensi tersebut. Langkah-langkah yang seharusnya dilaksanakan
sesuai dengan langkah-langkah penyelesaian masalah menurut Polya, yaitu: a) Memahami masalahnya. Dalam
hal ini, pemecah masalah harus mengetahui apa yang diketahui dan apa yang
ditanyakan; b) Merencanakan cara penyelesaian; c) Memecahkan masalah sesuai
dengan rencana; dan d) Melakukan pengecekan kembali terhadap semua langkah yang
telah dikerjakan.
Namun, dari hasil observasi proses
belajar mengajar di kelas VIIIA SMP Negeri 09 Tarakan serta diskusi dengan guru
mata pelajaran Matematika terindikasi beberapa permasalahan dalam proses
belajar menganjar, diantaranya:
a) Kemampuan siswa, khususnya dalam pemecahan masalah
matematika masih memerlukan perhatian khusus.
b) Motivasi siswa untuk menyelesaikan soal pemecahan masalah
masih kurang
c) Siswa lebih berorientasi untuk memecahkan soal-soal yang
dapat diselesaikan dengan prosedur rutin dan kurang memperhatikan bahwa
kompetensi yang dituntut adalah kemampuan dalam pemecahan masalah
d) Siswa kurang terbiasa untuk memecahkan masalah. Ini yang
merupakan indikasi minimnya kesempatan berlatih dalam proses belajar mengajar
di kelas.
e) Sebagian besar siswa belum mampu mengkomunikasikan
gagasannya dengan menggunakan simbul-simbul matematika, tabel dan grafik
f) Terdapat
kesalahan prosedur (algoritma) dalam proses penyelesaian masalah
g) Masih
terdapat kecendrungan terjadi kesalahan penulisan notasi ataupun langkah dalam
pemecahan masalah
Sebagian dari permasalahan yang dihadapi peserta didik di
atas memerlukan penangan secara cepat dan inovatif tentu oleh guru sebagai
fasilitator dan mediator pembelajaran di kelas. Oleh karena itu, terdapat
indikasi bahwa kesenjangan yang terjadi disebabkan karena implementasi
pendekatan pembelajaran yang belum mendukung secara maksimal kesempatan siswa
untuk berlatih memecahkan masalah. Padahal, jika dikaji secara rinci sasaran
yang ingin dicapai dalam belajar matematika dan karakteristik masing-masing
pendekatan pembelajaran, terdapat beragam model, strategi, pendekatan, ataupun
metode pembelajaran yang bisa diterapkan diantaranya model kooperatif (STAD,
JIGSAW, TAI, TGT, NHT, GI, dan sebagainya), pembelajaran kontekstual, inkuiri, dicovery
learning, problem based learning, project based learning, problem
possing, dan masih banya pendekatan lainnya. Namun, dengan memperhatikan
muara dari pembelajaran matematika serta karakteristik masalah yang dialami
oleh siswa kelas VIIIA SMP N 9 Tarakan, pendekatan Problem-Based Learning merupakan salah satu pendekatan yang
relevan.
B.
Rumusan Masalah
Permasalahan yang ingin disediki dalam pelaksanaan penelitian
ini adalah Bagaimana pendekatan problem based learning mampu meningkatkan
kemampuan pemecahan masalah matematika siswa kelas VIIA Negeri 09 Tarakan?
C.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan peningkatan kemampuan
pemecahan masalah matematika siswa kelas VIIIA SMP Negeri 09 Tarakan melalui
implementasi pendekatan Problem based Learning.
D.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi:
a) Peneliti, dengan penelitian ini dapat menambah khasanah
dan wawasan dalam melaksanakan penelitian terutama penelitian dalam bidang
pendidikan matematika.
b) Guru, guru sebagai partner dalam penelitian ini
setidaknya mengetahui secara langsung pengaruh implementasi Problem-Based Learning terhadap
kemampuan siswa kelas VIII SMP Negeri 09 Tarakan dalam pemecahan masalah matematika.
c) Siswa, mendapatkan pengalaman belajar yang lebih
bervariasi sehingga mengurangi kebosanan dengan kegiatan belajar yang monoton
BAB II
KAJIAN
TEORI
A.
Pendekatan Pembelajaran Problem-Based Learning
Pada dasarnya matematika adalah metode berpikir, metode
untuk memecahkan masalah (Murtiyasa, 2001). Sehingga pendekatan dalam
pembelajaran matematika seyogyanya memberikan kesempatan kepada siswa untuk
berlatih memecahkan masalah yang diawali dengan pemecahan soal-soal matematika
yang berbasis masalah. Sesuai dengan hal ini, Clarke (1997) dalam Murtiyasa (2001)
menyatakan bahwa guru sebagai tenaga pendidik harus mampu mengembangkan materi
pelajarannya sehingga memenuhi unsur-unsur abstraksi,
konteksualitas, dan keterhubungan. Disamping itu, penyampaian materi
matematika juga harus transferable,
artinya harus bisa digunakan oleh siswa untuk memecahkan persoalan-persoalan
yang ada di masyarakat.
Abstraksi dimaksudkan
bahwa materi pelajaran matematika dapat dikembangkan dari situasi serta
mengenali ide-ide matematika yang ada pada situasi tersebut. Termasuk kemampuan
untuk membawa persoalan-persoalan yang ada ke dalam model-model matematika. Di
samping itu, kemampuan tentang problem solving, demontrasi, dan juga
menunjukkan (mencari) bukti-bukti juga termasuk dalam kawasan abstraksi. Kontekstualisasi
adalah upaya untuk membuat para siswa
lebih familiar dengan obyek-obyek matematika atau prosedur matematika
dalam berbagai cara dan bentuk. Dengan demikian para siswa diharapkan akan
terbiasa dengan transfer dan aplikasi matematika. Termasuk dalam kawasan
kontekstualisasi ini adalah kemampuan untuk menerapkan (memakai) ide-ide
matematika untuk menjelaskan problema sehari-hari, kemampuan untuk menggunakan
rumus-rumus atau formula matematika untuk bidang yang lain (bidang studi yang
lain dan problema di masyarakat). Sedangkan keterhubungan dimaksudkan
adalah kemampuan guru menyiapkan materi pelajarannya sedemikian hingga
merangsang kemampuan siswa untuk merubah suatu pola yang telah
direpresentasikan dengan mengenali bentuk-bentuk similaritasnya. generalisasi
dalam matematika, metode-metode sejenis untuk menyajikan suatu informasi,
kemampuan membuat sintesa dari suatu obyek permasalahan yang ada, serta
kemampuan untuk menganalisis dan mengevaluasi dari suatu obyek permasalahan
adalah juga merupakan aspek dari keterhubungan.
Pendekatan
pembelajaran yang memungkinkan keempat unsur tersebut dapat dikembangkan secara
maksimal adalah pendekatan Problem-Based
Learning (PBL). PBL dalam pembelajaran di Indonesia lebih familiar dengan
istilah pembelajaran berbasis masalah. Sejalan
dengan peran PBL dalam pembelajaran matematika, kyeong (2003) menyatakan bahwa
” Since PBL starts with a problem to be
solved, students working in a PBL environment must become skilled in problem
solving, creative thinking, and critical thinking” dan lebih lanjut
dikatakan “The effectiveness of PBL
depends on student characteristics and classroom culture as well as the problem
tasks. Proponents of PBL believe that when students develop methods for
constructing their own procedures, they are integrating their conceptual
knowledge with their procedural skill”. Ini memberikan indikasi bahwa dengan penerapan PBL dalam
pembelajaran matematika menjadikan siswa memiliki ketrampilan dalam pemecahan
masalah, berpikir kreatif, dan berpikir kritis. Serta dengan PBL, karakteristik
siswa dan budaya siswa dalam kelas merupakan suatu tugas. Pendukung PBL percaya
bahwa mengembangkan metode untuk mengkonstruksi prosedurnya, itu merupakan
integrasi antara pengetahuan konseptual dan keterampilan prosedural.
B.
Pemecahan
Masalah Matematika
Seiring dengan perkembangan jaman, literasi matematika di
era modern ini menuntut penambahan kompetensi dari literasi matematika di era
lampau. Kompetensi yang ditambahkan
dalam literasi matematika modern yaitu kemampuan bernalar dan bekerja dengan
matematika (Gunawan, 2006). Kemampuan bernalar (Reasoning) dan kemampuan berpikir tingkat tinggi sangat menentukan
kesuksesan di era global ini, oleh karena itu pembelajaran matematika
setidaknya harus melatih dan
mengembangkan kemampuan peserta didik untuk bernalar. Bahkan, Murtiyasa pada
salah satu makalahnya menuliskan “Pada
hakekatnya matematika adalah metode berpikir, metode untuk memecahkan masalah”.
Terkait dengan proses pembelajarannya, Sawyer (dalam Shadiq, 2004) menyatakan
bahwa pengetahuan yang diberikan atau ditransformasikan langsung kepada para
siswa akan kurang meningkatkan kemampuan bernalar mereka. Sehingga,
pengintegrasian pemecahan masalah (problem
solving)-lah yang menjadi keharusan selama pembelajaran matematika
berlangsung (Shadiq, 2004).
Pemecahan masalah secara umum
disetujui sebagai cara untuk mempercepat keterampilan berpikir. Sebagai
contoh, NCTM (2000) dalam Pehkonen menyatakan bahwa ” ”Solving problems is
not only a goal of learning mathematics but also a major means of doing so. …
In everyday life and in the workplace, being a good problem solver can lead to
great advantages. … Problem solving is an integral part of all mathematics
learning.”. Ini
memberikan makna bahwa menyelesaikan masalh bukan hanya tujuan dalam belajar
matematika tetapi merupakan cara utama untuk mengerjakannya. Dalam kehidupan
sehari-hari dan di tempat kerja, menjadi pemecah masalah yang baik akan
memberikan manfaat yang luar biasa. Oleh karena itu, pemecahan masalah
merupakan bagian integral dari setiap pembelajaran matematika.
Dalam proses pemecahan masalah, terdapat beberapa
strategi yang sering digunakan. Strategi-dtrategi yang sering digunakan
tersebut dinamakan strategi pemecahan masalah (Krismanto, 2003). Adapun
strategi yang sering digunakan dalam proses pemecahan masalah, yaitu:
a) Membuat diagram
b) Mencobakan pada soal yang lebih sederhana
c) Membuat tabel
d) Menemukan pola
e) Memecah tujuan
|
f)
Memperhitungkan
setiap kemungkinan
g) Berpikir logis
h) Bergerak dari belakang
i)
Mengabaikan
hal yang tidak mungkin
j)
Mencoba-coba
|
C.
Kerangka
Berpikir
Dengan memperhatikan tuntutan standar kompetensi lulusan
yang diharapkan dimiliki oleh siswa setelah mempelajari matematika, mak dapat
dikatakan bahwa secara umum siswa diharapkan mampu untuk menyelesaikan masalah
dalam aktivitas sehari-hari dengan menggunakan pola pikir yang dilatih selama
belajar matemtika. Untuk mencapai standar tersebut setidaknya proses belajar
mengajar matetika seyogyanya memberikan kesempatan kepada siswa untuk melatih
kemampuan tersebut. Oleh karena itu, perlu
diperhatikan kembali proses pembelajaran PBL yang diawali dengan memberikan
masalah matematika yang illstructure merupakan
suatu tantangan bagi siswa. Hal ini membutuhkan kemampuan siswa untuk mengenali
informasi yang ada dan informasi yang belum ada, sehingga siswa dapat
menambahkan informasi sesuai dengan konteks permasalah serta menyusun rencana
penyelsaian dan melaksanakannya. Pengalaman seperti ini tentunya akan lebih
dekat dengan masalah sehari-hari yang dihadapai oleh siswa sehingga siswa terbiasa
menyelesaikan suatu masalah matematika yang bermuara pada kemampuan pemecahan
masalah riil nantinya. Dengan adanya anggapan tersebut, maka peneliti ingin
mengkaji lebih lanjut tentang pengaruh pembelajaran PBL terhadap kemampuan
siswa dalam pemecahan masalah.
D.
Hipotesis
Tindakan
Berdasarkan kajian teori dan kerangka berpikir di atas,
maka dapat dirumuskan hipotesis penelitian, yaitu: Implementasi pendekatan
pembelajaran Problem Based Learning mampu meningkatkan kemampuan
pemecahan masalah matematika siswa kelas VIIIA SMP Negeri 9 Tarakan.
BAB III
METODE PENELITIAN
A.
Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan Penelitian Tindakan Kelas (PTK) partisipan,
dimana peneliti berperan aktif sejak penyusunan proposal penelitian,
pelaksanaan penelitian, hingga penyusunan laporan.
B.
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian rencananya akan dilaksanakan di kelas VIIIA SMP Negeri 9
Tarakan pada semester ganjil tahun ajaran 2011/2012 yaitu pada bulan Agustus
sampai September tahun 2011
C.
Subjek Penelitian
Subjek penelitian adalah siswa kelas VIIIA SMP Negeri 9 Tarakan dengan
banyak siswa ... orang. ....orang laki-laki dan ....orang perempuan.
D.
Prosedur Kerja
Sesuai dengan karakteristik dari PTK, penelitian ini akan dilaksanakan
dalam beberapa siklus. Dalam setiap siklus terdapat empat tahapan kegiatan,
diantaranya: 1) perencanaan, 2) Pelaksanaan, 3) Pengamatan (observasi), dan
Refleksi. Secara lebih detail, prosedur kerja penelitian disajikan dalam
diagram alur berikut:
Adapun kegiatan yang dilakukan pada setiap siklus dan setiap tahapan
adalah sebagai berikut:
Siklus I
1.
Perencanaan
Beberapa kegiatan yang
dilakukan pada tahap perencanaan, yaitu:
a.
Menyusun Rencana pelaksanaan Pembelajaran (RPP)
dengan pendekatan pembelajaran Problem Based Learning
b.
Menyusun kisi-kisi dan instrumen penelitian berupa
tes kemampuan awal serta instrumen postes siklus I
c.
Menyusun lembar observasi kegiatan siswa dan guru
d.
Menyusun dan mengembangkan bahan ajar (materi ajar)
2.
Pelaksanaan
a.
Melaksanakan tes awal (pre test)
b.
Melaksanakan pembelajaran sesuai dengan RPP yang
telas disusun (RPP terlampir)
3.
Observasi
Untuk bisa mendapatkan sejumlah
informasi yang akan digunakan sebagai bahan evaluasi dan refleksi maka selama
pelaksanaan pembelajaran juga dilakukan pengamatan (observasi) terhadap
aktivitas siswa serta interaksi yang terjadi antara siswa dengan siswa, siswa
dengan media yang digunakan, serta siswa dengan guru.
4.
Refleksi
Catatan yang diperoleh dari
hasil observasi selanjutnya dianalisis. Begitu juga dengan data hasil tes akhir
siklus I. Kelemahan-kelemahan yang ditemukan pada proses pelaksanaan siklus I
dikumpulkan untuk kemudian diperbaiki sehingga siklus II bisa lebih baik.
Siklus II
1.
Perencanaan
Hasil refleksi pada siklus I
dijadikan dasar untuk melaksanakan perbaikan pelaksanaan siklus II. Oleh karena
itu, kegiatan yang akan dilakukan pada perencanaan siklus II merupakan
perbaikan-perbaikan dari kelemahan yang ditemukan sebelumnya. Perbaikan yang
dilakukan bisa saja dalam bentuk kegiatan berikut:
a.
Menyusun Rencana pelaksanaan Pembelajaran (RPP)
dengan pendekatan pembelajaran Problem Based Learning untuk siklus II
b.
Menyusun kisi-kisi dan instrumen penelitian berupa soal
postes siklus II
c.
Menyusun lembar observasi kegiatan siswa dan guru
d.
Menyusun dan mengembangkan bahan ajar (materi ajar)
2.
Pelaksanaan
a.
Melaksanakan tes awal (pre test)
b.
Melaksanakan pembelajaran sesuai dengan RPP yang
telas disusun (RPP terlampir)
c.
Melaksanakan tes akhir (postet) siklus II
3.
Observasi
Untuk bisa mendapatkan sejumlah
informasi yang akan digunakan sebagai bahan evaluasi dan refleksi maka selama
pelaksanaan pembelajaran juga dilakukan pengamatan (observasi) terhadap
aktivitas siswa serta interaksi yang terjadi antara siswa dengan siswa, siswa
dengan media yang digunakan, serta siswa dengan guru.
4.
Refleksi
Catatan yang diperoleh dari
hasil observasi selanjutnya dianalisis. Begitu juga dengan data hasil tes akhir
siklus I. Kelemahan-kelemahan yang ditemukan pada proses pelaksanaan siklus I
dikumpulkan untuk kemudian diperbaiki sehingga siklus II bisa lebih baik.
E.
Tekhnik Pengumpulan Data dan Instrumen Penelitian
Sesuai dengan variabel dependen/terikat dari penelitian ini yaitu
kemampuan pemecahan masalah matematika, maka data yang akan dikumpulkan adalah
data kuantitatif berupa kemampuan siswa dalam menyelesaikan masalah matematika
yang berkaitan dengan materi Kesebangunan
Oleh karena itu, tekhnik pengumpulan data yaitu dengan melaksanakan tes
tertulis. Dilihat dari jenis data
yang akan dikumpulkan, maka instrumen yang digunakan berupa tes. Tes merupakan
instrumen atau prosedur sistematik untuk mengukur sampel tingkah laku yang
dimiliki individu (Groulund & Linn, 1990: 5; Allen & Yen, 1979:1). Tes
juga dapat didefinisikan sebagai prosedur sistematik untuk membandingkan
tingkah laku dari dua atau lebih individu (Cronbach, 1949:11).
Tes yang digunakan
berupa tes uraian. Penggunaan tes uraian cukup beralasan karena memberikan
indikasi yang baik untuk mengungkap prestasi yang nyata dalam belajar (Ebel
& Frisbie, 1986:127) dan mengetahui sejauh mana siswa mendalami suatu
masalah yang disajikan (Slameto, 1988:36). Disamping itu, Gorman (1974:316)
menyatakan bahwa tes bentuk uraian layak dipergunakan untuk mengevaluasi
kemampuan siswa dalam memecahkan masalah untuk bidang tertentu dan juga untuk
mengevaluasi aspek tertentu dari proses pemecahan masalah. Tes uraian harus
dijawab dengan langkah-langkah tertentu, baik yang mengikuti langkah-langkah
orang lain, mengembangkan langkah sendiri, mengevaluasi, ataupun mengurangi
langkah-langkah tertentu.
F.
Tekhnik Analisis Data
Data hasil tes siswa dinyatakan dalam nilai kemampuan pemecahan masalah
matematika dalam rentang 0 – 100. Dari sejumlah siswa yang mengikuti tes, maka
akan ditentukan rata-rata kemampuan pemecahan masalahnya dengan menggunakan
formula berikut:

dengan,



G.
Indikator Keberhasilan Penelitian
Penelitian ini dikatakan berhasil apabila minimal 85% dari seluruh siswa
yang mengikuti tes, kemampuan pemecahan masalahnya sudah memenuhi KKM KD yang
ditentukan yaitu 75.
Daftar Pustaka
Depdiknas.
(2007). Kajian Kebijakan Kurikulum Mata
Pelajaran Matematika. Jakarta:
Departemen Pendidikan Nasional, Badan Penelitian dan
Pengembangan, Pusat Kurikulum.
Ebel, R.L., & Frisbie, D.A. (1986). Essenstial
of educational measurement (4th). New Jersey: Prentice-Hall, Inc.
Gorman, R.M.
(1974). The psychology of classroom learning: an inductive approach. Columbus, Ohio:
Meril Publisjing Company.
Gronbach, L. J.,
(1949). Essentials of psychological testing. New York: Harper & Brother Publisher
Gronlound, N.E.,
& Lian, R.L. (1990). Measurement and evaluation in teaching (6th
ed). New York: Macmillan Publisher.
Murtiyasa, Budi. 2001. Strategi Pengembangan Pembelajaran Matematika
Pada Abad XXI. Makalah disampaikan pada diskusi dosen-dosen Jurusan Pend.
Matematika FKIP UMS pada tanggal 12 Desember 2001.
National
Council of Teachers of Mathematics. (1989). Curriculum
and evaluation standards for school mathematics. Reston, VA:
Author.
Kerlinger,
F. N (1986). Foundation of Behavioral Research. New York: Halth, Renehar and Wiston, Inc.
Shadiq, Fajar. 2004. Pemecahan
Masalah, Penalaran dan Komunikasi. Makalah disajikan dalam diklat
instruktur/Pengembang Matematika SMA Jenjang Dasar di PPPG Matematika
Yogyakarta.
Gunawan, Hendra dkk. 2006. Kemampuan Matematika Siswa Usia 15 Tahun di Indonesia. Puspendik.
Murtiyasa, Budi. Strategi pengembangan pembelajaran matematika
Pada abad XXI. http://bdmurtiyasa.350.com/publiksi/strmat21UMS02.pdf
(diakses 31 Nop 2008).
Sugiyono. (2008). Metode
Penelitian Pendidikan (Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif dan R & D). Bandung:
Penerbit Alfabeta.
Krismanto, Al. (2003). Beberapa Teknik, Model, dan Strategi dalam Pembelajaran Matematika.
Yogyakarta: Makalah disajikan dalam pelatihan instruktur/pengembang SMU.
Pehkonen, Erki. Problem
Solving in Mathematics Education in Finland. University of Helsinki, Finland.
Roh & Kyeong Ha.
2003). Problem-Based Learning in
Mathematics. ERIC Digest. ERIC Clearinghouse for Science Mathematics and
Environmental Education Columbus
OH.
Mora, miguel angel., moriyón,
roberto.,& saiz , francisco. Mathematics problem-based learning through
spreadsheet-like documents. School of computer
science universidad autónoma de madrid
cantoblanco, 28049, madrid, spain.
loading...
No comments:
Post a Comment