loading...
I. PENDAHULUAN
Perkembangan perbankan Syari’ah dewasa ini sangat pesat
dan menjanjikan prospek yang menguntungkan. Meskipun eksistensi bank Syari’ah
di Indonesia secara formal telah dimulai sejak tahun 1992 dengan
diberlakukannya UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Namun, harus diakui
bahwa UU tersebut belum memberikan landasan hukum yang cukup kuat terhadap
pengembangan bank Syari’ah karena masih menggunakan istilah bank bagi hasil. Pengertian
bank bagi hasil yang dimaksudkan dalam UU tersebut belum sesuai dengan cakupan
pengertian bank Syari’ah yang relative lebih luas dari bank bagi hasil. Dengan
tidak adanya pasal-pasal dalam UU tersebut yang mengatur bank Syari’ah, maka
hingga tahun 1998 belum terdapat ketentuan operasional yang secara khusus
mengatur kegiatan usaha bank Syari’ah.
Amandemen
terhadap UU No. 7 tahun 1992 yang melahirkan UU No. 10 tahun 1998 yang secara
eksplisit menetapkan bahwa bank dapat beroperasi berdasarkan prinsip-prinsip Syari’ah.
Kemudian, UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia
juga menetapkan bahwa Bank Indonesia
dapat melakukan pengendalian moneter berdasarkan prinsip-prinsip Syari’ah.
Keberadaan kedua UU tersebut telah mengamanahkan Bank Indonesia untuk menyiapkan perangkat ketentuan
dan fasilitas penunjang lainnya yang mendukung operasional bank Syari’ah
sehingga memberikan landasan hukum yang lebih kuat dan kesempatan yang lebih
luas bagi pengembangan perbankan Syari’ah di Indonesia. Yaitu dengan
dikeluarkannya sejumlah ketentuan operasional dalam bentuk SK Direksi
BI/Peraturan Bank Indonesia.
Kedua UU tersebut selanjutnya menjadi dasar hukum bagi keberadaan dua banking
system di Indonesia,
yaitu adanya dua system perbankan (konversional dan Syari’ah) secara
berdampingan dalam memberikan pelayanan jasa perbankan bagi masyarakat.
Upaya
pengembangan perbankan Syari’ah di Indonesia tidak semata hanya merupakan
konsekuensi dari UU No. 10/1998 dan UU No. 23/1999 tetapi juga merupakan bagian
dari upaya penyehatan sistem perbankan yang bertujuan meningkatkan daya tahan
perekonomian nasional. Krisis ekonomi yang terjadi sejak pertengahan tahun 1997
membuktikan bahwa bank yang beroperasi dengan prinsip Syari’ah dapat bertahan
ditengah gejolak nilai tukar dan tingkat suku bunga yang tinggi. Kenyataan
tersebut ditopang oleh karakteristik operasi bank Syari’ah yang melarang bunga
(riba), transaksi yang bersifat tidak transparan (grarar) dan spekulatif
(maysir). Dengan kenyataan tersebut, pengembangan perbankan Syari’ah diharapkan
dapat meningkatkan ketahanan sistem perbankan nasional yang sedemikian rupa
dapat menciptakan perekonomian yang tangguh. Yaitu perekonomian yang pertumbuhan sektor keuangannya sejalan dengan pertumbuhan
sektor riil.
Dalam upaya pengembangan perbankan Syari’ah
tersebut disadari masih terdapat sejumlah permasalahan yang perlu segera
diatasi, baik dalam jangka pendek, menengah maupun panjang. Belum lengkapnya
peraturan dan infrastruktur bagi bank Syari’ah merupakan salah satu
permasalahan mendasar yang perlu segera diatasi agar bank Syari’ah dapat
beroperasi secara optimal sesuai dengan karakteristiknya. Sejumlah ketentuan
yang ada belum sesuai dengan nature of business bank Syari’ah yang tidak mengenal
suku bunga dan kegiatan spekulasi serta mengutamakan prinsip kemitraan dan
keadilan. Dengan demikian perlu segera disusun peraturan dan infrastruktur yang
berdasarkan penelitian (research-based regulations) dan dipelakukan dengan
pertahapan yang sesuai perkembangan perbankan Syari’ah. Didasarkan pada
pertimbangan bahwa bank Syari’ah merupakan bagian dari sistem perbankan yang mempunyai
sejumlah perbedaan karakteristik usaha dan sistem operasi dibandingkan dengan
bank konvensional. Disamping itu, pengaturan yang bersifat spesifik
dalam operasional perbankan Syari’ah diperlukan untuk menjamin terpenuhinya
prinsip-prinsip Syari’ah (comply to sharia principles). Urgensi penyempurnaan
pengaturan bagi perbankan Syari’ah menjadi penting mengingat ketentuan yang ada
saat ini belum sepenuhnya dapat mengakomodir kegiatan usaha perbankan Syari’ah.
Selanjutnya,
harus disadari bahwa lengkapnya peraturan infrastruktur saja belum cukup untuk
menjamin suksesnya bank Syari’ah dalam mendekatkan (linkages) sektor keuangan
dengan sektor riil. Sejumlah permasalahan lain masih ditemui dalam upaya
pengembangan perbankan Syari’ah, misalnya relatif rendahnya pemahaman
masyarakat terhadap operasional perbankan Syari’ah dan terbatasnya tenaga ahli
perbankan Syari’ah berpengaruh terhadap potensi permintaan dan penawaran.
Disamping itu, relatif terbatasnya jaringan kantor (network) bank Syari’ah
menyebabkan masih terbatasnya jangkauan bank Syari’ah dalam melayani
masyarakat. Keberadaan institusi-institusi pendukung agar perbankan Syari’ah
dapat beroperasi secara optimal juga dirasakan belum memadai. Di lain pihak,
sejumlah isu yang berkaitan dengan perkembangan teknologi dan inovasi ragam
produk bank Syari’ah memerlukan pengaturan yang memadai agar stabilitas sistem
perbankan Syari’ah dapat terwujud.
Perkembangan
perbankan Syari’ah nasional tidak terlepas dari pengaruh globalisasi sektor
jasa keuangan. Sejumlah isu pokok yang berkaitan dengan perbankan Syari’ah
internasional memerlukan perhatian Bank Indonesia agar perbankan Syari’ah
nasional dapat pula menjadi lembaga keuangan yang dapat diterima secara
internasional. Isi pokok tersebut antara lain adalah :
(1). Pembentukan
organisasi dan mekanisme pasar keuangan Syari’ah internasional atau
internasional Islamic financial market (IIFM) yang diharapkan dapat mendukung
efisiensi pengelolaan dana secara internasional sedang dalam proses finalisasi.
(2). 18
Negara anggota IMF saat ini sedang mempersiapkan pembentukan Islamic financial
market (IFM), lembaga internasional yang akan mengeluarkan prudential
regulation bagi bank Syari’ah.
II.
EVALUASI
PENGEMBANGAN PERBANKAN SYARI’AH.
Kebijakan
pengembangan perbankan Syari’ah kedepan harus dilandasi pemahaman kondisi
aktual dan isu-isu pokok yang dihadapi bank Syari’ah. Kelengkapan peraturan dan
infrastruktur merupakan permasalahan mendasar yang perlu segera diatasi dalam
jangka pendek karena merupakan prasyarat bagi beroperasinya bank Syari’ah. Hal
ini adalah relatif rendahnya tingkat pemahaman masyarakat terhadap operasional
bank Syari’ah yang akan menentukan perkembangan bank Syari’ah dimasa mendatang.
Selain itu, perkembangan perbankan Syari’ah juga ditentukan oleh minat investor
untuk masuk ke industri perbankan Syari’ah yang akan ditentukan oleh kinerja
para bankir Syari’ah dalam mengelola banknya. Selanjutnya, perkembangan kelembagaan dan
indikator keuangan perbankan Syari’ah merupakan hal penting yang harus dipantau
secara berkala dan merupakan input berharga dalam menentukan langkah-langkah
pengembangan perbankan Syari’ah. Akhirnya, perkembangan bank Syari’ah pada
tingkat internasional perlu dipahami untuk memetakan posisi yang telah dicapai
oleh perbankan Syari’ah di Indonesia.
1.
Peraturan
dan Infrastruktur.
Pada
tahap awal, landasan hukum bagi pengembangan perbankan Syari’ah adalah UU No. 7
Tahun 1992 yang mengizinkan bank untuk memberikan pinjaman kepada nasabah
dengan prinsip bagi hasil. Sejak tahun 1992-1998 dapat dikatakan tidak banyak
kemajuan dalam perkembangan perbankan Syari’ah di Indonesia terutama karena belum ada
landasan hukum yang jelas mengenai keberadaan bank Syari’ah. Dengan lahirnya UU
No. 10 Tahun 1998 yang mengatur keberadaan bank Syari’ah hanya dalam beberapa
pasal belumlah cukup sebagai landasan hukum bagi pengembangan perbankan Syari’ah
dimasa yang akan datang. Sehubungan dengan hal tersebut, kebutuhan terhadap
landasan hukum yang berdiri sendiri dirasakan cukup mendesak khususnya dengan
semakin pesatnya perkembangan bank Syari’ah. Oleh karena itu, perlu
dipersiapkan UU perbankan Syari’ah yang dapat menjadi payung bagi semua
ketentuan teknis dan operasional bank Syari’ah. Menarik untuk dicermati sebagai
bahan perbandingan, ketika Malaysia
akan memulai pengembangan bank Islam pada tahun 1983, pemerintah dan parlemen Malaysia
dengan penuh komitmen menetapkan Islamic Banking Act sebagai landasan hukum
yang terpisah dari UU untuk bank konvensional.
Pengaturan
perbankan di Indonesia,
tidak terkecuali bank Syari’ah, adalah dalam upaya meningkatkan ketahanan
sistem perbankan melalui penyempurnaan peraturan dan infrastruktur. Agar bank Syari’ah
dapat beroperasi secara optimal diperlukan kelengkapan peraturan dan
infrastruktur yang dapat menjamin bank Syari’ah dikelola dengan cara-cara yang
sesuai prinsip Syari’ah dan kehati-hatian bank. Pada saat ini telah ada tujuh
ketentuan pelaksanaan bagi bank Syari’ah, yaitu tiga ketentuan yang mengatur
kelembagaan dan jaringan kantor bank Syari’ah, dan empat ketentuan mengenai
pengaturan penyelenggaraan kliring lokal bagi BUS, UUS dan juga BUK, ketentuan
mengenai Giro Wajib Minimum bagi BUS maupun UUS; pengaturan tata cara
penempatan dana pada SWBI serta satu ketentuan mengenai infrastruktur PUAS.
Diluar
ketentuan-ketentuan tersebut diatas, ketentuan lainnya seperti kualitas aktiva
produktif (KAP), penyisihan penghapusan aktiva produktif (PPAP), capital
adequacy ratio (CAR), posisi devisa netto (PDN), tingkat kesehatan bank, dan
transaksi kondisi keuangan bank serta ketentuan mengenai laporan bulanan
bank-bank masih menggunakan ketentuan yang berlaku bagi bank konvensional.
Selain itu, terdapat juga ketentuan yang hanya berlaku bagi bank konvensional,
yaitu fasilitas pendanaan jangka pendek (FPJP) dan fasilitas likuiditas
intrahari (FLI), sehingga fungsi Bank Indonesia sebagai the lender of
last report masih terbatas bagi bank konvensional.
Perangkat
ketentuan yang menjadi acuan bagi beroperasinya perbankan Syari’ah seharusnya
disusun dengan memperhatikan business nature bank Syari’ah, dengan tetap
memperhatikan prinsip-prinsip kehati-hatian bank. Berdasarkan pertimbangan
tersebut dan dengan tujuan agar perbankan Syari’ah dapat beroperasi secara
optimal sesuai dengan keunikan nya maka ketentuan-ketentuan perbankan Syari’ah
perlu disempurnakan secara bertahap sesuai dengan skala prioritas. Terdapat
sejumlah ketentuan yang perlu disempurnakan, misalnya pengaturan GWM yang masih menyamakan DPK bank Syari’ah
yang bersifat investasi (ekuitas) dengan DPK bank konfensional yang bersifat
kewajiban (liabilities). Penyempurnaan ketentuan kelembagaan dan jaringan
kantor bagi UUS juga perlu dilakukan dengan tujuan agar masyarakat yang
membutuhkan layanan bank Syari’ah dapat terlayani. Guna mengefektifkan peran
bank Syari’ah dalam menggerakkan sektor riil perlu diatur portofolio aktifa
produksi bank Syari’ah agar tidak dikominasi oleh aset yang tidak dimiliki
keterkaitan dengan sektor riil. Selain itu, perlu diatur pola kerjasama
(ta’awun) antara BPRS, BUS, dan UUS untuk berperan dalam pembiayaan usah kecil
dan menengah (UKM) dan masyarakat pedesaan. Semua rencana ketentuan tersebut
akan diatur secara bertahap sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan bank Syari’ah.
Penyusunan ketentuan-ketentuan tersebut diatas sangat tergantung pada
selesainya pernyataan standar akuntansi keuangan perbankan Syari’ah (PSAKS) dan
pedoman akuntansi perbankan Syari’ah Indonesia (PAPSI) yang saat sedang dalam
tahap finalisasi oleh ikatan akuntansi Indonesia
bekerjasama dengan Bank Indonesia.
Jika PSAKS dan PAPSI tersebut telah diberlakukan maka
Indonesia akan menjadi negara pertama yang ikatan profesionalnya telah
mengeluarkan dan mengadopsi sistem akuntansi Syari’ah. PSAKS dan PAPSI akan
menjadi pedoman akuntansi bagi perbankan Syari’ah di Indonesia sehingga
keberadaannya akan membantu Bank Indonesia dalam melakukan penyempurnaan
ketentuan-ketentuan bagi perbankan Syari’ah.
2.
Perkembangan Bank
Syari’ah di Indonesia.
Dibandingkan dengan negara-negara
lain seperti malaysia yang telah melakukan pengembangan bank Syari’ah sejak
1983 atau bahkan Bahrain yang telah melakukannya sejak 1979, pengembangan bank Syari’ah
di Indonesia yang dimulai tahun 1992 relatif terlambat. Hal tersebut disebabkan
antara lain oleh :
Ø Belum sependapatnya ulama Indonesia mengenai keberadaan
bunga bank.
Ø Kurang konduktifnya kondisi sosial politik di Indonesia
yang mengakibatkan belum adanya politikalwiil pemerintah pada saat itu.
Ø Tanggung
jawab moral yang harus dipikul karena mencantumkan label ”Syari’ah”.
Ø Adanya
kendala dasar hukum sehingga belum memungkinkan pengembangan bank Syari’ah
karena bank Syari’ah belum dikenal dalam UU No. 14 1967 tentang perbankan
maupun UU No. 13 tahun 1968 tentang bank sentral.
Perkembangan
terakhir perbankan Syari’ah internasional semakin marak dengan adanya beberapa
negara (seperti Malaysia, Bahrain, Sudan,
Brunei dan Indonesia beserta IDB) yang telah
membentuk international Islamic financial market (IIFM). Dengan adanya IIFM
tersebut, diharapkan bank-bank Syari’ah yang mengalami kelebihan likuiditas
tidak hanya tergantung pada instrument keuangan Syari’ah domestik, tapi dapat
juga menempatkan dananya pada pasar tersebut. Adanya pasar tersebut akan dapat
mengurangi persoalan rendahnya efisiensi pengelolaan dana bank Syari’ah yang
terjadi selama ini. Dalam kerangka IIFM, seberapa jauh bank-bank Syari’ah dapat
mengakses pasar tersebut akan sangat tergantung pada performance bank Syari’ah
yang menjadi kriteria bagi bank sentral atau otoritas moneter ditiap negara
untuk memberikan rekomendasi kepada IIFM committee agar bank-bank Syari’ah
dapat masuk menjadi anggota dalam pasar tersebut. Sehubungan dengan hal
tersebut, bank-bank Syari’ah di Indonesia
harus segera mempersiapkan diri dengan sebaik-baiknya guna mampu memanfaatkan
keberadaan pasar tersebut.
III.
ARAH KEBIJAKAN PENGEMBANGAN PERBANKAN SYARI’AH DI
INDONESIA.
1.
Pentingnya Pengembangan Perbankan Syari’ah.
Sektor
perbankan sebagai intermediary institution antara pihak yang kelebihan dana
(surplus spending unit) dengan pihak yang membutuhkan dana (deficit spending
unit) memiliki posisi strategis dalam perekonomian nasional. Dengan demikian
peranan perbankan nasional termasuk perbankan Syari’ah perlu ditingkatkan dalam
hal penghimpunan dan penyaluran dana masyarakat, serta penyediaan layanan jasa
perbankan lainnya. Sejalan dengan upaya restrukturisasi perbankan untuk
membangun kembali sistem perbankan yang sehat dalam rangka mendukung program pemulihan
ekonomi nasional, maka salah satu upaya yang dilakukan untuk mengoptimalkan
fungsi perbankan adalah pengembangan pengembangan perbankan Syari’ah. Disamping
pertimbangan tersebut diatas terdapat sejumlah alasan lain bagi pentingnya
pengembangan perbankan Syari’ah yaitu :
Ø Pemenuhan kebutuhan masyarakat yang menginginkan layanan
jasa perbankan Syari’ah. Berdasarkan penelitian yang dilaksanakan oleh BI
bekerjasama dengan tiga universitas pada tahun 2000 diperoleh kesimpulan bahwa
45% dari 4000 sample dipulau jawa (tidak termasuk DKI Jaya) berpandangan bahwa
bunga bank adalah tidak sejalan dengan ajaran agama. Dengan keberadaan
perbankan Syari’ah yang berdampingan dengan perbankan konvensional maka
mobilitas dana masyarakat dapat dilakukan lebih luas, terutama dari segmen yang
selama ini belum tersentuh oleh perbankan konvensional.
Ø Terbukanya peluang pembiayaan bagi kegiatan usaha
berdasarkan prinsip kemitraan. Konsep yang diterapkan adalah hubungan
kerja sama investasi yang harmonis (mutual investor relationship) yang berada
dengan pola hubungan debitur dan kreditur yang antagonis (debtor to creditor relationship)
pada perbankan konvensional.
Ø Produk
dan jasa perbankan yang ditawarkan memiliki sejumlah keunggulan berupa
peniadaan pembebanan bunga yang berkesinambungan (perpetual interest effect),
pembatasan kegiatan spekulasi dan mengutamakan kegiatan-kegiatan yang
mewujudkan keterkaitan antara sektor keuangan dengan sektor riil (lingkages
between financial sektor and real sector), pembiayaan ditujukan kepada
usaha-usaha yang lebih memperhatikan nilai-nilai etika dan moralitas.
2.
Misi, Visi dan Tujuan Pengembangan Perbankan Syari’ah
Dalam upaya pengembangan perbankan Syari’ah disadari
perlu adanya kejelasan arah kebijakan dan pengembangan guna seluruh stake holder
perbankan Syari’ah mengetahui kearah mana perbankan Syari’ah akan dikembangkan.
Untuk hal tersebut diperlukan adanya misi, visi dan tujuan pengembangan
perbankan Syari’ah karena ketiga hal tersebut merupakan prerewquisite bagi
sebuah kebijakan perbankan Syari’ah. Tanpa ketiga hal tersebut, dikhawatirkan
akan terjadi hal-hal sebagai berikut :
Ø Kebijakan pengembangan perbankan Syari’ah yang disusun
menjadi kurang jelas arahnya.
Ø Kebijakan pengembangan perbankan Syari’ah yang disusun
menjadi tidak sesuai dengan prinsip-prinsip Syari’ah.
Ø Dampak ikutnya adalah fungsi pengawasan perbankan Syari’ah
menjadi kurang memadai. dan
Ø Operasional perbankan Syari’ah menjadi kurang optimal
karena ketidak sesuaikan antara kebijakan dengan nature of business dari bank Syari’ah.
a.
Misi
Misi pengembangan perbankan Syari’ah di Indonesia adalah
mewujudkan iklim yang konduktif untuk pengembangan perbankan Syari’ah yang
sehat dan istiqamah terhadap prinsip-prinsip Syari’ah. Mengingat otoritas
pengaturan dan pengawasan perbankan Syari’ah sampai dengan saat ini dilakukan
oleh Bank Indonesia meliputi :
Ø Melakukan kajian-kajian terhadap opersi perbankan Syari’ah,
preferensi masyarakat, dan hal lain yang diperlukan untuk menjamin bank Syari’ah
beroperasi secara optimal.
Ø Menyiapkan
peraturan dan infrastruktur agar bank Syari’ah dapat beroperasi sesuai dengan
nature of business-nya.
Ø Melakukan
pengawasan dan pemeriksaan terhadap operasi bank Syari’ah untuk beroperasinya
bank Syari’ah.
Berdasarkan
misi tersebut diatas jelas terlihat bahwa keberhasilan pengembangan perbankan Syari’ah
di Indonesia tidak semata hanya merupakan tugas Bank Indonesia tetapi juga
ditentukan oleh peran aktif stake holfers perbankan Syari’ah lainnya dalam
mewujudkan lingkungan yang kondusif agar bank Syari’ah dapat beroperasi secara
optimal. Keberhasilan pengembangan perbankan Syari’ah juga sangat ditentukan
oleh kemampuan bank-bank Syari’ah memberikan excellent services dalam melayani
masyarakat yang membutuhkan produk dan jasa perbankan Syari’ah.
b.
Visi
Karakteristik bank Syari’ah adalah
menekankan aspek keadilan, menyeimbangkan aspek moral dan material, dana yang
terkumpul harus dikelola untuk memperoleh nilai tambah guna menciptakan
kesejahteraan, harta dipergunakan untuk memakmurkan bumi demi kemaslahatan
umat, adanya pelarangan kegiatan usaha yang bersifat spekulatif atau pentingnya
keberadaan underlying assets dalam setiap transaksi dan hubungan antara nasabah
dengan bank Syari’ah adalah kemitraan (partnership). Berdasarkan hal tersebut
maka perbankan Syari’ah sangat terkait dengan sektor riil. Dengan demikian,
visi pengembangan perbankan Syari’ah adalah terwujudnya perbankan Syari’ah yang
mampu menggerakkan sektor riil melalui kegiatan pembiayaan berbasis ekuitas
dalam kerangka tolong menolong (ta’awan) dan menuju kebaikan (fastabiqul
khairaf) guna mencapai kemaslahatan umat (rahmatan lil alamin).
c.
Tujuan
Pengembangan perbankan Syari’ah memiliki tujuan jangka pendek, menengah dan
panjang. Dalam jangka pendek pengembangan perbankan Syari’ah bertujuan untuk
mewujudkan perbankan Syari’ah yang mampu memenuhi kebutuhan masyarakat yang
menginginkan layanan bank Syari’ah diseluruh penjuru Indonesia. Hal tersebut
belum sepenuhnya terlaksana karena adanya kendala peraturan yang belum
memungkinkan beroperasinya bank Syari’ah secara optimal. Kemampuan melayani
masyarakat masih terbatas di beberapa propinsi karena belum lengkapnya
informasi mengenai peta kebutuhan masyarakat akan produk dan jasa bank Syari’ah
serta adanya ketentuan yang kurang kondusif mengenai penyebaran jaringan kantor
bank Syari’ah.
Tujuan jangka menengah adalah
terwujudnya bank Syari’ah yang mampu lebih berperan dalam menggerakan sektor
riil. Sampai dengan saat ini pembiayaan berbasis ekuitas yang diberikan
perbankan Syari’ah masih relatif terbatas, namun dilain pihak pembiayaan
murabahan masih mendomonasi portovolio aset perbankan Syari’ah. Hal tersebut
disebabkan by its nature pembiayaan madharabah tidak mengutamakan jaminan dan
kerugian sepenuhnya menjadi tanggungan bank Syari’ah, sehingga menempatkan bank
pada posisi menghadapi resiko yang relatif lebih tinggi dibandingkan pembiayaan
murabahah. Hal lain yang perlu memperoleh perhatian adalah peranan perbankan Syari’ah
dalam pembiayaan sektor pedesaan (rural sektor) dan usaha kecil menengah (UKM)
yang selama ini relatif terbatas aksesnya kepada pembiayaan perbankan
konvensional. Opini yang berkembang dikalangan bankir adalah relatif tingginya
resiko dan biaya pengelolaan pembiayaan sektor pedesaan dan UKM. Seandainya
perbankan Syari’ah tidak dapat dengan optimal memainkan peran tersebut maka
implikasinya adalah semakin terabaikannya ”masyarakat bawah” (grassroots) dalam
memperoleh perbiayaan perbankan. Mannam (2000) menyatakan ”....... don’t
call a bank as an Islamic bank, if the Islamic bank does not want to serve the
grassroots”. Untuk menjembatani dua kepentingan tersebut diatas perlu kehadiran
lembaga pendukung seperti lembaga penjaminan pembiayaan Syari’ah yang dapat
mengurangi resiko bank terhadap pembiayaan mudharobah dan grassroots.
Tujuan
jangka panjang dari pengembangan perbankan Syari’ah adalah terwujudnya bank Syari’ah
yang dapat beroperasi dengan efisien akibat adanya kelebihan likuiditas dan
belum banyaknya instrumen keuangan Syari’ah yang dapat dimanfaatkan sebagai
alternatif penempatan. Indikasi terjadinya kelebihan likuiditas bank Syari’ah
terlihat dari penempatan bank Syari’ah pada SWBI yang mencapai Rp. 364.9 milyar
atau 12,86% dari portofolio aset (Desember 2001) bank Syari’ah. Dalam hal ini,
keberadaan lembaga pendukung seperti special purpose company (SPC) sangat
diharapkan untuk melakukan sekuritisasi aset-aset berjangka panjang dengan cara
yang sesuai prinsip Syari’ah. Dengan keberadaan lembaga tersebut, pada waktunya
akan tersedia instrument-instrument keuangan Syari’ah sebagai alternatif
penempatan dana bagi bank Syari’ah. Selain itu hadirnya lembaga tersebut juga
akan memungkinkan bank Syari’ah untuk dapat berkiprah dalam perdagangan
instrument keuangan Syari’ah di pasar internasional. Khususnya IIFM telah
beroperasi.
IV.
PARADIKMA KEBIJAKAN DAN NILAI-NILAI SYARI’AH.
Dalam rangka pengembangan
industri perbankan Syari’ah maka proses penyusunan kebijakan oleh otoritas
perbankan perlu dipayungi oleh kesimpulan paradigma kebijakan. Hal tersebut
diperlukan untuk menjamin konsistensi peran dan tugas otoritas perbankan dalam
pengembangan perbankan Syari’ah. Disisi lain, terwujutnya industri perbankan Syari’ah
yang tunbuh sesuai harapan dan memiliki kemampuan untuk menerapkan kebijakan
yang dikeluarkan oleh otoritas perbankan, memerlukan persyaratan berupa
penerapan nilai-nilai Syari’ah oleh perbankan Syari’ah. Dengan demikian
paradigma kebijakan dan nilai-nilai Syari’ah merupakan prasyarat yang harus
terpenuhi dalam upaya pengembangan perbankan Syari’ah.
1.
Paradigma Kebijakan
Upaya
pengembangan perbankan Syari’ah yang masih dalam tahap awal memerlukan
sekumpulan paradikma kebijakan yang dapat dijadikan sebagai acuan dalam
penyusunan kebijakan. Ketentuan dan pengembangan infrastruktur perbankan Syari’ah
paradikma kebijakan yang diperlukan untuk menjamin konsistensi peran dan tugas
otoritas perbankan dalam pengembangan perbankan Syari’ah adalah :
Ø Market driven. Pengembangan jaringan kantor bank Syari’ah diserahkan
sepenuhnya kepada hakekat pasar yaitu interaksi antara masyarakat yang
membutuhkan produk dan jasa perbankan Syari’ah dengan investor atau lembaga
perbankan yang menyediakan pelayanan jasa perbankan Syari’ah. Bank Syari’ah
harus mampu membaca kehendak pasar dan memberikan pelayanan terbaiknya. Namun
pelayanan bank Syari’ah terhadap kehendak pasar bukan berarti bank Syari’ah
harus bersedia untuk didikte oleh pasar, melainkan bank Syari’ah harus mampu
untuk berpegang teguh pada priunsip-prinsip Syari’ah, menunjukan keunggulannya
dan mendidik masyarakat akan keunikan bank Syari’ah. Dalm hal ini peran
otoritas perbankan (Bank Indonesia) lebih ditekankan pada penciptaan perangkat
ketentuan perbankan yang dapat mendukung terlaksananya kegiatan usaha bank Syari’ah
yang sehat, efisien dan sejalan dengan prinsip Syari’ah.
Ø Fair Treatment. Pergaulan dan pengembangan perbankan Syari’ah
dilaksanakan dengan tidak memberikan perlakuan-perlakuan khusus terhadap
industri perbankan Syari’ah. Pengaturan dan ketentuan yang diterapkan
pada perbankan Syari’ah akan disesuaikan dengan nature of business-nya. Dengan
demikian, konsekuensi dari hal tersebut adalah akan sangat wajar jika terdapat
peraturan dan ketentuan yang mungkin tidak sama antara bank Syari’ah dan bank
konvensional.
Ø Gradual and sustainable apparoach.
Pengembangan perbankan Syari’ah baik dari sisi kelembagaan maupun pengaturan
dilaksanakan secara bertahap dan berkelanjutan. Penyusunan ketentuan dan
pengembangan infrastruktur perbankan Syari’ah tentunya tetap harus didasarkan
pada realitas yang dihadapi, khususnya dalam lingkungan yang masih belum
sepenuhnya ideal menurut Syari’ah. Pengabaian terhadap kenyataan ini akan
menempatkan upaya pengembangan perbankan Syari’ah pada posisi yang tidak
membumi dan dapat berakibat kontraproduksi terhadap pertumbuhan industri
perbankan Syari’ah. Berkaitan dengan hal ini, disadari bahwa terdapat
kesulitan-kesulitan untuk segera mewujudkan kondisi ideal suatu sistem
perbankan Syari’ah yang baru berkembang. Penyempurnaan ketentuan dan
infrastruktur pendukung perbankan Syari’ah dilaksanakan secara bertahap dengan
memperhatikan urgensi dan prioritas dari sejumlah tugas yang harus
dilaksanakan.
Ø Secara konsisten sesuai prinsip Syari’ah
(comply to sharia principles) dan standar internasional.
Pengaturan pengembangan infrastruktur perbankan Syari’ah harus memenuhi
prinsip-prinsip Syari’ah dan mengacu pada standar internasional. Tingkat
pemenuhan kedua hal ini harus disesuaikan dengan stage perkembangan perbankan Syari’ah
nasional, bila tidak memungkinkan menerapkan regulasi dan infrastruktur yang
sepenuhnya ideal, maka pilihan kebijakan harus ditetapkan walaupun belum
sepenuhnya ideal, maka pilihan kebijakan harus ditetapkan walaupun belum
sepenuhnya sempurna. Namun, usaha-usaha perbaikan
ketentuan dan infrastruktur harus diusahakan terus menerus untuk mendekati
kesempurnaan.
2.
Implementasi Nilai-Nilai Syari’ah Dalam Operasi Perbankan
Syari’ah.
Terwujudnya
industri perbankan Syari’ah yang tumbuh sesuai harapan dan memiliki kemampuan
untuk menerapkan kebijakan yang dikeluarkan oleh otoritas perbankan, memerlukan
persyaratan berupa penerapan nilai-nilai Syari’ah dalam operasi perbankan Syari’ah.
Nilai-nilai tersebut dapat ditinjau dari perspektif mikro dan makro. Pengertian
nilai-nilai Syari’ah dalam perspektif mikro adalah bahwa dana umat yang
terakumulasi dalam perbankan Syari’ah haus dikelola secara jujur (siddiq),
benar dan objektif (tabligh), terpercaya (amanah) dan profesional (fathanah).
Sedangkan pengertian nilai-nilai Syari’ah dalam perspektif makro adalah bahwa
keberadaan perbankan Syari’ah harus memiliki kontribusi dalam membentuk
masyarakat yang memiliki kecenderungan ; siap berinvestasi dan tidak menumpuk harta (kaidah zakat), tidak
memastikan masa depan (adanya transection) dalam kegiatan investasinya (kaidah
pelarangan judi atau maisir) dan untuk melakukan transaksi secara jelas dan
transparan (kaidah pelarangan gharar).
a.
Nilai-Nilai Syari’ah dalam Perspektif Mikro.
Ø Nilai siddiq menghendaki adanya pengelolaan bank Syari’ah
dengan moralitas yang menjunjung tinggi nilai kejujuran. Dengan nilai ini
pengelolaan dan umat akan dilakukan dengan mengedepankan cara-cara yang
diperbankan (halal) serta menjauhi cara-cara yang meragukan (subhat) terlebih
lagi yang bersifat dilarang (haram).
Ø Nilai
tabligh menghendaki penyampaian berbagai hal dengan benar dan objektif
khususnya mengenai operasional bank Syari’ah. Hal ini sangat penting dalam rangka proses edukasi masyarakat pengguna jasa
perbankan Syari’ah. Bank Syari’ah dalam melakukan sosialisasi sebaiknya tidka hanya mengedepankan kehalalan produknya
semata, tetapi juga harus mampu mengedukasi masyarakat sehingga mengetahui
keunggulan bank Syari’ah yang pada dasarnya lebih adil.
Adanya tingkat
pemahaman yang baik dari pengguna jasa perbankan Syari’ah diyakini akan lebih
memudahkan masyarakat menerima perbankan Syari’ah.
Ø Nilai amanah menghendaki adanya rasa saling percaya
antara pihak yang memiliki modal (shahibul maal) dengan pihak pengelola dana
investasi (mudharib). Rasa saling percaya akan mendorong terbentuknya suatu
kerjasama yang diinginkan sekaligus akan mengkondisikan iklim yang memungkinkan
investor untuk secara ikhlas menerima resiko.
Ø Nilai Fahhanah menghendaki adanya pengelolaan secara
cerdik (provesional). Dengan moralitas fathanah diharapkan pengelolaan dana
umat dapat dilakukan dalam koridor profesionalisme serta dapat dipertanggungjawabkan
secara profesional pula. Termasuk didalam pengertian profesional adalah
pelayanan yang penuh dengan kecermatan dan kesantunan (ri’ayah) serta penuh
rasa tanggung jawab (mas’uliyah).
b. Nilai-Nilai
Syari’ah dalam Perspektif Makro.
Kaidah zakat dapat digunakan untuk mengkondisikan
perilaku masyarakat yang menyukai investasi. Dengan terwujudnya perilaku
tersebut diharapkan akan dapat membantu terwujudnya perekonomian berbasis
ekuitas (equitybased economy) yang relatif lebih kuat dibandingkan debt-based
economy. Penerapan kaidah tersebut dapat diterapkan pada keberadaan rekening
wadiah dan mudharobah. Rekening wadiah adalah rekening yang tidak menanggung
resiko sehingga rekening ini dapat dikenakan zakat (harta atau maal). Sedangkan
rekening mudharobah adalah rekening yang menanggung resiko dan mencerminkan
adanya perputaran dana sesuai dengan konsp ekonomi Islam sehingga pokok
rekening ini tidak perlu dikenakan zakat. Namun, apabila rekening tersebut
beserta konsekuensinya, diharapkan akan mendorong terbentuknya kecenderungan
masyarakat untuk selalu berinvestasi.
Ø Kaidah pelarangan riba tercermin dari kegiatan bank Syari’ah
yang menilak riba dan cenderung menganjurkan bagi hasil didalam berbagai
produknya. Diharapkan keberadaan produk-produk non riba ini akan mendorong
terbentuknya kecenderungan masyarakat untuk tidak bersikap untuk berani
menghadapi resiko. Hal ini sesuai dengan ekonomi Islam bahwa tidak ada
penerimaan tanpa menghadapi resiko (no return without riks).
Ø Kaidah
pelarangan judi atau maisir tercermin dari kegiatan bank Syari’ah yang melarang
investasi yang tidak memiliki kaitan dengan sektor rill. Kondisi ini pada
gilirannya akan membentuk kecenderungan masyarakat untuk menghindari judi
didalam aktivitas investasinya.
Ø Kaidah
pelarangan gharar tercermin dari setiap transaksi yang dilakukan oleh bank Syari’ah
harus menghindari ketidakjelasan, sehingga transparansi dalam berbagai kegiatan
perbankan Syari’ah sangat diutamakan.
V.
PENUTUP
Untuk
menjamin keberhasilan upaya pengembangan perbankan Syari’ah diperlukan kerja
sama semua stake holders perbankan Syari’ah, yang diharapkan dapat menghasilkan
sinergi bagi tumbuh kembangnya industri perbankan Syari’ah yang sesuai dengan
harapan. Dalam upaya mewujudkan sinergi tersebut diperlukan kesamaan arah dan
pandang mengenai arah dan kebijakan pengembangan perbankan Syari’ah nasional.
Meskipun harapan terhadap perbankan Syari’ah demikian besarnya, namun perlu
disadari bahwa pengembangan perbankan Syari’ah harus dilakukan secara bertahap dan
membumi, melalui kebijakan strategis jangka pendek, menengah dan panjang.
Dengan
paradigma kebijakan yang ada, maka dapat dimaklumi bahwa kebijakan pengembangan
perbankan Syari’ah harus mempertimbangkan market driver, fair freatment,
gradual and sustainable, dan sesuai dengan prinsip-prinsip Syari’ah. Dengan
adanya paradigma kebijakan-kebijakan pengembangan perbankan Syari’ah yang
objektif. Disamping itu, perbankan Syari’ah harus dapat mengimplementasikan
nilai-nilai Syari’ah, dengan sebaik-baiknya agar dapat menggerakkan roda
perekonomian masyarakat melalui berbagai produk, dan layanan perbankan Syari’ah
(perspektif mikro) serta dapat menciptakan perilaku investasi yang konsisten
(perspektif makro).
Akhirnya, kita
semua berharap bahwa pengembangan perbankan Syari’ah dapat menciptakan
perekonomian secara Islam yang tangguh dan berkembangan di tengah-tengah
masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam, dengan berpedoman atas
beberapa tahapan, yaitu berdasarkan kehendak pasar, fair treatment dan tetap
harus konsisten dengan prinsip-prinsip Syari’ah. Semoga Perbankan Syari’ah di
Indonesia terus maju dan berkembang sesuai dengan kemajuan zaman dari masa
kemasa. Amin.
DAFTAR PUSTAKA
Arifin, Zainul, (1998), Strategi
Pengembangan Perbankan Bagi Hasil di Indonesia, Sespibi : Bank Indonesia
Dar, Humayon A dan John R. Presley,
(1999), Toward A Greater Contribution of the Syari’ah Bank for Indonesia
Economy, Seminar Paper In Bank Indonesia. Jakarta
: Bank Indonesia.
Mannan, MA, (2000). Islamic Economies :
Theori and Practtice, Seminar Paper In Bank Indonesia. Jakarta
: Bank Indonesia
Muslehuddin, Mohammad, (1974), Sistem
Perbankan Dalam Islam. Terjemahan oleh Aswin Simamora (1990), Jakarta : Rineka Cipta.
loading...
No comments:
Post a Comment