loading...
I.1 Latar Belakang
Mencermati tahun 1997 yang merupakan
awal dari krisis ekonomi yang melanda Indonesia hingga sekarang ini, maka dapat
dikatakan bahwa bangsa Indonesia tidak memiliki dasar yang kuat untuk dapat
tegar menghadapi perubahan-perubahan global. Berbagai tekanan yang datang dari
dalam dan luar negeri selalu menghasilkan perubahan ke arah yang lebih buruk
dalam kinerja ekonomi, struktur sosial masyarakat, dan struktur politik bangsa.
Pemerintah selalu mengalami kesulitan
dalam upayanya mengentaskan bangsa ini bangkit dari keterpurukan ekonomi,
sosial, dan politik. Krisis demi krisis akhirnya menghancurkan modal sosial
bangsa. Pada sisi lain terdapat penurunan kemampuan kinerja birokrasi, yang
dalam konteks negara berkembang, akan sangat berpengaruh terhadap kinerja
bangsa secara menyeluruh.
Apa yang perlu dilakukan oleh birokrasi
Indonesia dalam suasana yang tidak menentu? Birokrasi dalam pengertian di sini
adalah organisasi besar dengan staf yang bekerja penuh waktu yang memiliki
sistem penilaian standar, dan hasil kerjanya tidak dinilai secara langsung di
pasar eksternal. Perubahan dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 dan
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 menjadi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tidak menghasilkan output yang menguntungkan
masyarakat luas. Bahkan terkesan, masyarakat semakin sulit memperoleh hak
pelayanan publik. Dunia usahapun konon semakin terperosok.
Agar Indonesia tidak semakin jatuh maka
birokrasi Indonesia perlu melakukan reformasi secara menyeluruh. Reformasi itu
sesungguhnya harus dilihat dalam kerangka teoritik dan empirik yang luas,
mencakup didalamnya penguatan masyarakat sipil (civil society),
supremasi hukum, strategi pembangunan ekonomi dan pembangunan politik yang
sating terkait dan mempengaruhi. Dengan demikian, reformasi birokrasi juga
merupakan bagian tak terpisahkan dalam upaya konsolidasi demokrasi kita saat
ini.
I.2 Identifikasi
Masalah
Beranjak dari
latar belakang di atas, rumusan masalah yang muncul adalah:
2.
Bagaimana mekanisme
pelaksanaan reformasi birokrasi tersebut
oleh pemerintah?
3.
Bagaimana birokrasi
Indonesia sebelum adanya reformasi birokrasi?
4.
Bagaimana sejarah
lahirnya reformasi birokrasi di Indonesia?
5.
Apa saja undang-undang
yang mencerminkan reformasi birokrasi di Indonesia?
6.
Hal apa saja yang
terdapat dalam agenda reformasi departemen keuangan?
7.
Bagaimana perbedaan
pelayanan yang dilakukan oleh Departemen Keuangan sebelum dan sesudah reformasi
birokrasi?
8.
Permasalahan apa saja
yang dihadapi pemerintah dalam proses reformasi birokrasi?
9.
Apa saja solusi
untuk mengatasi permasalahan tersebut?
I.3 Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan
ini adalah untuk mngkaji kembali bagaimana sebenarnya pelaksanaan
reformasi birokrasi di Indonesia. Selain
itu, pembuatan makalah ini juga bertujuan untuk mengkaji lebih dalam mengenai bagaimana
proses dari reformasi birokrasi itu sendiri di Indonesia yang pada kenyataannya belum berjalan secara efektif. Di
sisi lain, makalah ini juga membahas
salah satu departemen di Indonesia yang telah melaksanakan reformasi birokrasi.
I.4 Metode Penulisan
Metode yang digunakan dalam menyusun makalah ini adalah
tinjauan pustaka. Sumber yang kami gunakan dalam menyusun makalah ini adalah beberapa
literatur terkait, baik dalam bentuk buku maupun artikel internet, sehingga
diharapkan dalam pembuatan makalah ini sumber-sumber yang dipergunakan dapat
menjadi bahan rujukan yang akurat agar nantinya informasi yang disampaikan
benar-benar dapat dipertanggungjawabkan.
BAB II LANDASAN TEORI
II.1 Birokrasi
Pengertian Birokrasi
Jika dilihat dari segi bahasa, birokrasi terdiri
dari dua kata yaitu biro yang artinya
meja dan krasi yang artinya
kekuasaan. Birokrasi memiliki dua elemen utama yang dapat membentuk pengertian,
yaitu peraturan atau norma formal dan hirarki. Jadi, dapat dikatakan pengertian
birokrasi adalah kekuasaan yang bersifat formal yang didasarkan pada peraturan
atau undang-undang dan prinsip-prinsip ideal bekerjanya suatu organisasi. Secara
etimologi birokrasi berasal dari istilah “buralist” yang dikembangkan oleh
Reineer von Stein pada 1821, kemudian menjadi “bureaucracy” yang akhir-akhir
ini ditandai dengan cara-cara kerja yang rasional, impersonal dan leglistik
(Thoha, 1995 dalam Hariyoso, 2002). Birokrasi dapat dirujuk kepada empat
pengertian yaitu,
·
Birokrasi dapat
diartikan sebagai kelompok pranata atau lembaga tertentu.
·
Birokrasi dapat
diartikan sebagai suatu metoda untuk mengalokasikan sumber daya dalam suatu
organisasi.
·
“Kebiroan” atau mutu
yang membedakan antara birokrasi dengan jenis organisasi lain. (Downs, 1967
dalam Thoha, 2003)
·
Kelompok orang yang
digaji yang berfungsi dalam pemerintahan. (Castle, Suyatno, Nurhadiantomo,
1983)
Birokrasi
Ideal Menurut Weber
Max
Weber sebagai bapak birokrasi mengatakan bahwa birokrasi menjadi elemen penting
yang menghubungkan ekonomi dengan masyarakat. Weber mengajukan sebuah model
birokrasi ideal yang memiliki karakteristik sebagai berikut (dalam Islamy,
2003):
·
Pembagian Kerja
(division of labour)
·
Adanya prinsip hierarki
wewenang (the principle of hierarchi)
·
Adanya sistem aturan
(system of rules)
·
Hubungan Impersonal
(formalistic impersonality)
·
Sistem Karier (career
system)
Faktor-faktor
yang mempengaruhi birokrasi:
1.
Faktor
budaya
•
Budaya dan perilaku
koruptif yang sudah terlembaga (“uang administrasi” atau uang “pelicin”)
•
Budaya “sungkan dan
tidak enak” dari sisi masyarakat
•
Masyarakat harus
menanggung biaya ganda karena zero sum game
•
Internalisasi budaya
dalam mekanisme informal yang profesional
2.
Faktor
individu
•
Perilaku individu
sangat bersifat unik dan tergantung pada mentalitas dan moralitas
•
Perilaku individu juga
terkait dengan kesempatan yang dimiliki seseorang yang memiliki jabatan dan
otoritas
•
Perilaku opportunistik
hidup subur dalam sebuah sistem yang korup
•
Individu yang jujur
seringkali dianggap menyimpang dan tidak mendapat tempat
3.
Faktor
organisasi dan manajemen
•
Meliputi struktur,
proses, leadership, kepegawaian dan hubungan antara
pemerintah dan masyarakat
•
Struktur birokrasi
masih bersifat hirarkis sentralistis dan tidak terdesentralisasi
•
Proses Birokrasi
seringkali belum memiliki dan tidak melaksanakan prinsip-prinsip efisiensi,
transparansi, efektivitas dan keadilan
•
Birokrasi juga sangat
ditentukan oleh peran kepemimpinan yang kredibel
•
Dalam aspek
kepegawaian, Birokrasi dipengaruhi oleh rendahnya gaji, proses rekrutmen
yang belum memadai, dan kompetensi yang rendah.
•
Hubungan masyarakat
dan pemerintah dalam Birokrasi belum setara; pengaduan dan partisipasi
masyarakat masih belum memiliki tempat (citizen charter)
•
Ketidaksetaraan sistem
birokrasi dengan sistem politik dan sistem hukum
•
Birokrasi menjadi “Geld
Automaten” bagi partai politik
•
Kooptasi pengangkatan
jabatan birokrasi oleh partai politik
II.2 Reformasi
Reformasi
memiliki interpretasi yang berbeda-beda tergantug pada konteks dari reformasi
tersebut. Namun secara umum reformasi dapat diartikan sebagai pembaruan dengan
melakukan perubahan menuju arah yang lebih baik karena terjadinya
penyimpangan-penyimpangan dalam sistem yang ada.
Reformasi
dapat berupa perubahan total yang radikal tau bisa diidentikkan dengan revolusi
ataupun dapat berupa perubahan yang secara bertahap. Hal ini tergantung dari
objek yang akan direformasi. Apabila kerusakan dan penyimpangan yang terjadi
sudah sangat kronis maka reformasi harus dilakukan secara radikal. Namun
apabila penyimpangan yang erjadi dipandang masih ringan maka tidak diperlukan
reformasi yang radikal.
II.3 Reformasi Birokrasi
Sebuah negara, dalam mencapai tujuannya, pastilah
memerlukan perangkat negara yang disebut pemerintah dan pemerintahannya.
Pemerintah pada hakikatnya adalah pemberi pelayanan kepada masyarakat dengan
sebaik-baiknya.
Sejalan dengan pesatnya perkembangan zaman dan
semakin kompleksnya persoalan yang dihadapi oleh negara, maka telah terjadi
pula perkembangan penyelenggaraan pemerintahan. Karena itu, diperlukan adanya
rangka pemerintahan yang kuat untuk menghadapi dinamika perkembangan
masyarakat.
Reformasi birokrasi adalah salah satu cara untuk
membangun kepercayaan rakyat. Pengertian dari reformasi birokrasi itu sendiri
adalah suatu usaha perubahan pokok dalam suatu sistem yang tujuannya mengubah
struktur, tingkah laku, dan keberadaan atau kebiasaan yang sudah lama. Ruang
lingkup reformasi birokrasi tidak hanya terbatas pada proses dan prosedur,
tetapi juga mengaitkan perubahan pada tingkat struktur dan sikap serta tingkah
laku. Hal ini berhubungan dengan permasalahan yang bersinggungan dengan
wewenang dan kekuasaan.
Tahap
Tahap Reformasi Birokrasi yang ideal
Mengutip
definisi yang diajukan Fauziah Rasad dari Masyarakat Transparansi Indonesia
(MTI), reformasi birokrasi adalah
perubahan radikal dalam bidang sistem pemerintahan. Agar reformasi
birokrasi dapat berjalan baik, perlu dilakukan langkah-langkah manajemen
perubahan.Manajemen perubahan adalah proses mendiagnosis, menginisialisasi,
mengimplementasi, dan mengintegrasi perubahan individu, kelompok, atau
organisasi dalam rangka menyesuaikan diri dan mengantisipasi perubahan
lingkungannya agar tetap tumbuh, berkembang, dan menghasilkan keuntungan.Ada
tujuh langkah manajemen perubahan yang dikutip dari Harvard Business Essentials
tahun 2005.
Langkah
pertama, memobilisasi energi dan komitmen para
anggota organisasi melalui penentuan cita-cita, tantangan, dan solusinya oleh
semua anggota organisasi. Pada tahap ini, setiap lini dalam instansi pemerintah
harus tahu apa yang dicita-citakan instansi, apa yang mereka hadapi, dan cara
menghadapi atau menyelesaikan masalah itu secara bersama-sama. Agar mereka tergerak
untuk menjalankan solusi bersama, mereka perlu dilibatkan dalam diskusi dan
pengambilan keputusan.
Langkah
kedua, mengembangkan visi bersama, bagaimana
mengatur dan mengorganisasi diri maupun organisasi agar dapat mencapai apa yang
dicita-citakan.
Langkah
ketiga, menentukan kepemimpinan. Di dalam
instansi pemerintahan, kepemimpinan biasanya dipegang para pejabat eselon.
Padahal, kepemimpinan harus ada pada semua level agar dapat mengontrol
perubahan. Pemimpin tertinggi harus memastikan orang-orang yang kompeten dan
jujurlah yang berperan sebagai pemimpin pada level-level di bawahnya.
Langkah
keempat, fokus pada hasil kerja. Langkah itu
dilakukan dengan membuat mekanisme asessment yang dapat mengukur hasil kerja
tiap pegawai atau tiap tim yang diberi tugas tertentu.
Langkah
kelima, mulai mengubah unit-unit kecil di
instansi kemudian dorong agar perubahan itu menyebar ke unit-unit lain di
seluruh instansi.
Langkah
keenam, membuat peraturan formal, sistem,
maupun struktur untuk mengukuhkan perubahan, termasuk cara untuk mengukur
perubahan yang terjadi.
Langkah
ketujuh, mengawasi dan menyesuaikan strategi
untuk merespons permasalahan yang timbul selama proses perubahan berlangsung.
Strategi reformasi
birokrasi
•
Pada level kebijakan,
harus diciptakan berbagai kebijakan yang mendorong Birokrasi yang berorientasi
pada pemenuhan hak-hak sipil warga (kepastian hukum, batas waktu, prosedur,
partisipasi, pengaduan, gugatan).
•
Pada level
organisational, dilakukan melalui perbaikan
proses rekrutmen berbasis kompetensi, pendidikan dan latihan yang sensitif
terhadap kepentingan masyarakat, penciptaan Standar Kinerja Individu, Standar
Kinerja Tim dan Standar Kinerja Instansi Pemerintah.
•
Pada level operasional,
dilakukan perbaikan melalui peningkatan service quality meliputi dimensi
tangibles, reliability, responsiveness, assurance dan emphaty.
•
Instansi Pemerintah
secara periodik melakukan pengukuran kepuasan pelanggan dan melakukan
perbaikan.
II.4 Gambaran Umum Reformasi Birokrasi di Indonesia
II.4.1
Birokrasi Indonesia Sebelum Reformasi
Birokrasi di
Indonesia menurut Karl D Jackson merupakan bureaucratic polity. Model ini
merupakan birokrasi dimana negara menjadi akumulasi dari kekuasaan dan
menyingkirkan peran masyarakat dari politik dan pemerintahan. Ada pula yang
berpendapat bahwa birokrasi di Indonesia merupakan birokrasi Parkinson dan
Orwel. Hal ini disampaikan oleh Hans Dieter Evers. Birokrasi Parkinson merujuk
pada pertumbuhan jumlah anggota serta pemekaran struktural dalam birokrasi yang
tidak terkendali. Birokrasi Orwel merujuk pada pola birokratisasi yang
merupakan proses perluasan kekuasaan pemerintah yang dimaksudkan sebagai
pengontrol kegiatan ekonomi, politik dan social dengan menggunakan regulasi
yang bila perlu ada suatu pemaksaan.
Dari model
yang diutarakan di atas dapat dikatakan bahwa birokrasi yang berkembang di
Indonesia pada masa Orde Baru adalah birokrasi yang berbelit-belit, tidak
efisien dan mempunyai pegawai birokrat yang makin membengkak.
Keadaan
ini pula yang menyebabkan timbulnya penyimpangan-penyimpangan berikut, seperti
:
·
Maraknya tindak KKN
·
Tingginya keterlibatan
birokrasi dalam partai politik sehingga pelayanan terhadap masyarakat tidak
maksimal
·
Pelayanan publik yang
diskriminatif
·
Penyalahgunaan wewenang
·
Pengaburan antara
pejabat karir dan non-karir
II.4.2
Sejarah Reformasi Birokasi di Indonesia
Reformasi politik 1998
adalah pintu gerbang Indonesia menuju sejarah baru dalam dinamika politik
nasional. Reformasi politik yang diharapkan dapat beriringan dengan reformasi
birokrasi, fakta menunjukan, reformasi birokrasi mengalami hambatan signifikan
hingga kini, akibatnya masyarakat tidak dapat banyak memetik manfaat nyata dari
reformasi politik 1998.
Pasca
reformasi, ikhtiar untuk melepaskan birokrasi dari kekuatan dan pengaruh
politik gencar dilakukan. Kesadaran pentingnya netralitas birokrasi mencuat
terus-menerus. BJ Habibie, Presiden saat itu, mengeluarkan PP Nomor 5 Tahun
1999 (PP No.5 Tahun 1999), yang menekankan kenetralan pegawai negeri sipil
(PNS) dari partai politik. Aturan ini diperkuat dengan pengesahan UU Nomor 43
Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian untuk menggantikan UU Nomor 8 Tahun
1974.
Saat
membentuk yang pertama setelah Gus Dur terpilih, sedang terjadi keributan
tentang pengangkatan Sesjen di Departemen Kehutanan dimana sesjen tersebut
adalah orang dari partai yang sama dengan menteri kehutanan saat itu. Begitu
juga terjadi di beberapa departemen dan di Diknas, BUMN, dan lain-lain. Ada
beberapa eselon yang diangkat yang dia merupakan orang dari partai yang sama
dengan menteri yang membawahi departemen tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa
bagaimana suatu birokrasi pemerintahan tidak terlepas dari intervensi partai
politik.
Kemudian
ada pula tindakan presiden Abdurrahman Wahid yang menghapuskan Departemen
Penerangan dan Departemen Sosial, dengan alas an bahwa departemen tersebut
bermasalah, banyak KKN, dan departemen itu dianggap telah mencampuri hak-hak
sipil warga negara.
Penghapusan
dua departemen tersebut dapat dikatakan sesuai dengan prinsip reinventing
government atau ada pula yang menganggap hal ini sebagai langkah debirokratiasasi
dan dekonstruksi masa lalu yang dianggap terlalu berlebihan mengintervensi
kemerdekaan dan kemandirian publik.
Aturan
induk netralitas politik birokrasi Indonesia sudah ada pada pasal 4 Peraturan Pemerintah
1999, yang menyatakan bahwa PNS dalam menyelenggarakan tugas pemerintahan dan
pembangunan tidak bertindak diskriminatif, khususnya dalam memberikan pelayanan
kepada masyarakat.
Dalam
pemerintahan Megawati, para menteri dalam masa itu melestarikan tradisi Golkar,
yaitu semua organisasi pemerintah dikaburkan antara jabatan karier dengan non
karier, serta jabatan birokrasi dengan jabatan politik. Hal ini menunjukkan
bahwa pada masa ini harapan untuk melakukan reformasi birokrasi tidak akan
terlaksana. Hingga pada tahun 2004 barulah dimulai reformasi birokrasi secara
riil dengan pembentukan UU.
II.4.3
UU Reformasi Birokrasi
Terdapat
8 UU reformasi birokrasi, di mana saat ini salah satunya sudah disahkan menjadi
UU No. 39/2008 tentang Kementerian dan Kementerian Negara. Hingga tahun 2009
nanti, diharapkan dapat dituntaskan setidaknya 3 UU lagi, yakni UU Pelayanan
Publik, UU Administrasi Pemerintahan, dan UU Etika Penyelenggara Negara.
Sementara 4 UU lainnya, yakni UU Kepegawaian Negara, UU Badan Layanan
Umum/Nirlaba, UU Pengawasan Nasional, dan UU Tata Hubungan Pemerintah Pusat dan
Daerah.
Keberadaan
UU tersebut untuk menjamin kontinuitas pelaksanaan reformasi birokrasi, yang
harus menggunakan pendekatan, bukan sepotong-sepotong, dan perlu kesungguhan,
dan konsistensi. Untuk
itu, diperlukan kerjasama yang sinergis antara semua elemen bangsa, yang
sebenarnya masing-masing tujuan yang baik untuk bangsa dan negara.
BAB
III PEMBAHASAN
III.1 Reformasi Birokrasi di Departemen Keuangan
Republik Indonesia
Berawal dari
lahirnya UU Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Pengelolaan Keuangan Negara; UU Nomor 1
Tahun 2004 Tentang Bendahara Umum Negara, dan UU Nomor 15 Tahun 2004 Tentang
Pertanggung-jawaban dan Pelaporan Pelaksanaan Keuangan Negara, reformasi
birokrasi akhirnya diluncurkan dan Depkeu adalah instansi yang menjadi
prototype dalam menjalankannya.
Bersifat Holding Type Organization, Depkeu mempunyai masalah yang sangat kompleks, selain
itu Depkeu juga sebuah instansi yang strategis dan merupakan instansi yang memiliki
kantor vertikal terbesar dan tersebar di seluruh Indonesia.
Akhir tahun
sebelum peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan reformasi
birokrasi resmi dikeluarkan, Depkeu telah merintis reformasi birokrasi di dalam
instansinya sendiri dengan sasaran penataan organisasi, perbaikan proses bisnis
dan peningkatan manajemen sumber daya manusia. Pada tahun ke-5 tepatnya tahun
2007 semua program reformasi birokrasi mulai disempurnakan dalam perencanaan
program utama yang meliputi:
·
Penataan organisasi yang meliputi: modernisasi
organisasi, pemisahan, penggabungan dan penajaman fungsi oganisasi.
·
Perbaikan
proses bisnis yang meliputi: analisis dan evaluasi jabatan, analisis beban
kerja dan penyusunan Standar Prosedur Operasi (SOP)
·
Peningkatan manajemen sumber daya manusia yang
meliputi: penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan berbasis kompetensi,
pembangunan assessment center, penyusunan pola mutasi, peningkatan disiplin dan
pengintegrasian sistem informasi manajemen SDM.
III.1.1.
Tiga pilar reformasi birokrasi
- Penataan Organisasi
Penataan organisasi Departemen Keuangan disesuaikan
dengan kebutuhan masyarakat, perkembangan kebijakan keuangan negara, dan
dinamika administrasi publik. Pembenahan dan pembangunan kelembagaan yang
terarah dan pro publik diharapkan memberikan dukungan dan pedoman bagi
pelaksanaan pembangunan masyarakat dan negara yang lebih adil dan rasional.
Departemen Keuangan telah memulai proses organization
reinventing dalam bentuk penataan organisasi sejak tahun 2002 dan terus berjalan
hingga hari ini. Penataan organisasi tersebut meliputi pemisahan, penggabungan,
dan penajaman fungsi, serta modernisasi.
Penajaman tugas dan fungsi dilakukan di Sekretariat
Jenderal, Inspektorat Jenderal, Ditjen Anggaran, Ditjen Perbendaharaan, Ditjen
Perimbangan Keuangan, dan Badan Kebijakan Fiskal.
Sementara modernisasi diimplementasikan dalam
pembentukan Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Modern Direktorat Jenderal Pajak,
Kantor Pelayanan Utama (KPU DJBC) Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, dan Kantor
Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN) Percontohan. Dengan modernisasi
tersebut, saat ini masyarakat telah dapat memperoleh pelayanan prima pada 3 KPP
Wajib Pajak Besar, 28 KPP Madya, dan 171 KPP Pratama. Selain itu pelayanan
prima juga dapat diperoleh di KPU Tipe A DJBC Tanjung Priok dan KPU Tipe B DJBC
Batam. Sementara di 18 Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN) Percontohan
juga telah beroperasi.
Disamping itu, telah pula dilakukan pemisahan dan
penajaman fungsi organisasi yang diharapkan mampu menciptakan struktur
organisasi yang menghasilkan kebijakan berkualitas dan dapat memberikan pelayanan
terbaik kepada masyarakat.
Dengan berorientasi pada aspirasi publik, organisasi
Departemen Keuangan tidak bersifat massive, melainkan senantiasa melakukan self reinventing sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Konsekuensinya, ke depan
penataan organisasi akan terus menerus dilakukan dengan tujuan utama menjadikan
Departemen Keuangan sebagai organisasi birokrasi yang peka terhadap tuntutan
pelayanan publik dan menghasilkan kebijakan dan layanan yang adil dan rasional.
- Penyempurnaan Proses Bisnis
Sebagai organisasi yang pro publik,
penyempurnaan proses bisnis di Departemen Keuangan diarahkan untuk menghasilkan
proses bisnis yang akuntabel dan transparan, serta mempunyai kinerja yang cepat
dan ringkas. Untuk itu, Departemen Keuangan menyusun SOP yang rinci dan dapat
menggambarkan setiap jenis keluaran pekerjaan secara komprehensif ,
melakukan analisis dan evaluasi jabatan untuk memperoleh gambaran rinci
mengenai tugas yang dilakukan oleh setiap jabatan, serta melakukan analisis
beban kerja untuk dapat memperoleh informasi mengenai waktu dan jumlah pejabat
yang dibutuhkan untuk melaksanakan suatu pekerjaan.
Dengan ketiga alat tersebut
Departemen Keuangan dapat memberikan layanan prima kepada publik, yaitu layanan
yang terukur dan pasti dalam hal waktu penyelesaian, persyaratan administrasi
yang harus dipenuhi, dan biaya yang harus dikeluarkan.
- Peningkatan Manajemen SDM
Segala hal yang berkaitan dengan
pegawai negeri sipil, sebelumnya selalu disebut dengan istilah “kepegawaian”
yang identik dengan urusan seperti pengangkatan, kepangkatan dan
penggajian pegawai, penyelesaian mutasi, pemberhentian, dan pemensiunan, serta
tata usaha kepegawaian. Konsekuensinya hal-hal yang berkaitan dengan
perencanaan dan pengembangan pegawai menjadi kurang tampak, sehingga terkesan
tidak menjadi prioritas organisasi.
Perubahan kepegawaian di Departemen
Keuangan dimulai pada akhir tahun 2006, ditandai dengan kajian mengenai
penajaman fungsi Biro Kepegawaian sebagai unit yang melaksanakan pengelolaan
dan pembinaan kepegawaian. Kajian meliputi perbaikan mekanisme kerja dan desain
struktur organisasi untuk mengoptimalisasikan fungsi berupa, (i) perencanaan
sumber daya manusia dan rekrutmen, (ii) pembangunan pola mutasi, (iii)
pembangunan system assessment center, (iv) pembangunan sistem informasi
kepegawaian yang terintegrasi, (v) peningkatan akuntabilitas, dan (vi)
peningkatan koordinasi dan kolaborasi dengan unit kepegawaian dan unit teknis
terkait.
Perubahan istilah “kepegawaian”
menjadi “sumber daya manusia” merupakan bagian dari perubahan pembinaan
sumber daya manusia (SDM) dalam konteks Reformasi Birokrasi Departemen
Keuangan. Perubahan tersebut tidak semata-mata menyangkut istilah, tetapi lebih
daripada itu merupakan perubahan sistem pengelolaan dan pembinaan SDM.
Pengembangan SDM berbasis kompetensi
merupakan tujuan pembinaan SDM di masa depan. Untuk itu, perlu dilaksanakan
kegiatan yang mendukung kearah tujuan tersebut yang pada tahun 2007 berupa:
a. Pengintegrasian Sistem Informasi
Manajemen Kepegawaian;
b. Penyusunan
pedoman dan penetapan Pola Mutasi;
c. Pembangunan Assessment Center;
d. Penyusunan pedoman Rekrutmen;
e. Peningkatan Disiplin Pegawai Negeri
Sipil.
Seluruh kegiatan tersebut merupakan
bagian integral dari program perencanaan dan pengembangan SDM, sehingga
Departemen Keuangan ke depan akan memiliki SDM yang dan bertanggung jawab yang
akan meningkatkan efisiensi dan efektifitas pelayanan kepada masyarakat.
Prinsip peningkatan manajemen SDM
meliputi peningkatan kualitas, penempatan SDM yang kompeten pada tempat dan
waktu yang sesuai, sistem pola karir yang jelas dan terukur, pengelolaan SDM
berbasis kompetensi, serta keakuratan dan kecepatan penyajian informasi SDM
sesuai kebutuhan manajemen.
Program peningkatan manajemen SDM
terdiri dari penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan berbasis kompetensi,
pembangunan assessment center, penyusunan pola mutasi, peningkatan disiplin,
dan pengintegrasian Sistem Informasi Pegawai (SIMPEG).
II.1.2. Indikator kerja utama
Visi Departemen Keuangan adalah “Menjadi pengelola keuangan dan kekayaan negara bertaraf
internasional yang dipercaya dan dibanggakan masyarakat, serta bagi proses
transformasi bangsa menuju masyarakat adil, makmur, dan berperadaban tinggi.” Guna
merealisasikan visi tersebut Departemen Keuangan membangun Roadmap 2005-2009,
sebagai acuan bagi kebijakan pimpinan dan unit-unit kerja Departemen.
Dari visi dan
misi tersebut kemudian dirumuskan strategi Depkeu. Balanced Scorecard
merupakan suatu konsep yang merubah strategi Depkeu menjadi tujuan
strategis. Tujuan
strategis adalah hal utama yang harus ada dalam Balanced Scorecard, yang
kemudian dikembangkan menjadi ukuran-ukuran strategis (Indikator Kinerja
Utama/IKU) dan targetnya. Tujuan strategis ini dipetakan di dalam peta
strategi. Untuk mencapai target tersebut harus ada inisiatif-inisiatif dari
Depkeu.
Setelah semuanya dirumuskan barulah
mengalokasikan sumber daya yang dibutuhkan untuk penerapan Balanced
Scorecard, hal ini terkait juga dengan pengembangan Penganggaran Berbasis
Kinerja (Performance Based Budgeting). Hasil-hasil yang telah dicapai
dalam penerapan ini selalu dimonitor dan dilaporkan untuk menjadi umpan balik
terhadap strategi yang telah dirumuskan sebelumnya. Balanced Scorecard
Depkeu harus diturunkan (cascaded) ke seluruh unit organisasi yang ada
di bawahnya.
Balanced Scorecard Depkeu ini disebut Depkeu-Wide
sedangkan setelah dicascade ke unit organisasi di bawahnya yaitu ke
Eselon I disebut Depkeu-One, Eselon II disebut Depkeu-Two.
Direncanakan pada tahun 2010 akan dilaksanakan cascading BSC ke level
Eselon III (Depkeu-Three).
Pada awal pengembangannya, Peta
strategi Depkeu terdiri atas lima peta yang menggambarkan tema Pendapatan
Negara, Belanja Negara, Pembiayaan APBN, Kekayaan Negara, serta Pengawasan
Pasar Modal dan Lembaga Keuangan.
Namun, dikarenakan terlalu banyak
dan rumitnya monitoring atas IKU dari lima peta tersebut maka dilakukan
penyempurnaan menjadi satu peta strategi yang terdiri atas 4 perspektif yaitu strategic
outcomes/stakeholder, customer, internal process, dan learning
and growth. Penyempurnaan peta strategi Depkeu-Wide dilakukan dengan
mengintegrasikan lima peta strategi menjadi satu peta strategi. Metode
pengintegrasian yang telah dilaksanakan adalah :
- Brainstorming untuk penyusunan satu peta strategi level Menkeu melalui pemilihan Sasaran Strategis (SS);
- Penggabungan SS sejenis yang berasal dari lima peta strategi Depkeu-wide;
3. Keterwakilan
seluruh unit eselon I sebagai PIC;
- Menentukan IKU strategis dari tiap unit eselon I sebagai IKU Menkeu.
Peta strategi
Depkeu-wide hasil penyempurnaan terdiri dari 20 sasaran strategis dan 36
IKU. Dengan peta strategi yang lebih sederhana diharapkan seluruh Pimpinan Unit
Eselon I lebih fokus dalam memonitor kinerja Depkeu, sehingga prinsip ‘strategy
focused organization’ dapat diterapkan secara konsisten
III.1.4 Pelayanan
Departemen Keuangan Sebelum dan Sesudah Reformasi Birokrasi
Guna mewujudkan tujuan peningkatan pelayanan tersebut, telah dilakukan
upaya perbaikan dan / atau penyempurnaan layanan, yang meliputi: transparansi
proses bisnis internal, menetapkan dan/atau mempersingkat norma waktu
penyelesaian layanan, informasi kepastian biaya dan persyaratan administrasi
layanan, serta meningkatkan kualitas hasil layanan. Berikut merupakan beberapa gambaran
mengenai upaya perbaikan dan / atau penyempurnaan layanan yang ada dalam
Departemen Keuangan:
III.2 Analisis
Reformasi Birokrasi di Indonesia
Studi Kasus:
Departemen Keuangan Republik Indonesia
Departemen Keuangan merupakan salah
satu departemen di Indonesia yang dalam perkembangannya telah melakukan
reformasi birokrasi yang terstruktur dengan cukup baik di mana dilakukan
reformasi menyeluruh, baik pada level kebijakan, organizational, serta
operasional sesuai dengan poin-poin mendasar dalam strategi reformasi birokrasi
yang dikemukakan oleh Prof. Eko prasojo pada mata kuliah Sistem Administrasi
Indonesia.
Pada level kebijakan, departemen keuangan telah
melakukan reformasi birokrasi dalam bentuk peraturan atau kebijakan yang
mengatur seluruh aspek yang mendukung proses reformasi birokrasi di tubuh
departemen keuangan. Departemen keuangan
menciptakan berbagai peraturan atau kebijakan yang mendorong birokrasi yang
berorientasi pada pemenuhan hal-hak sipil warga negara dalam mendapatkan
pelayanan prima yang yang di dalamnya menyangkut aspek kepastian hukum, batas
waktu, prosedur, partisipasi, pengaduan, dan gugatan. Contohnya adalah penyusunan
Standar Prosedur Operasi (SOP) oleh departemen keuangan dalam memberikan
pelayanan kepada masyarakat. Sebagai organisasi yang pro publik, penyempurnaan proses
bisnis di Departemen Keuangan diarahkan untuk
menghasilkan proses bisnis yang akuntabel dan transparan, serta mempunyai
kinerja yang cepat dan ringkas. Untuk itu, Departemen Keuangan menyusun SOP
yang rinci dan dapat menggambarkan setiap jenis keluaran pekerjaan secara
menyeluruh, melakukan analisis dan evaluasi jabatan untuk memperoleh gambaran
rinci mengenai tugas yang dilakukan oleh setiap jabatan, serta melakukan
analisis beban kerja untuk dapat memperoleh informasi mengenai waktu dan jumlah
pejabat yang dibutuhkan untuk melaksanakan suatu pekerjaan. Dengan adanya standar
prosedur operasi tersebut departemen keuangan
dapat memberikan layanan prima kepada publik, yaitu layanan yang terukur dan
pasti dalam hal waktu penyelesaian, persyaratan administrasi yang harus
dipenuhi, dan biaya yang harus dikeluarkan.
Pada level organizational, reformasi birokrasi dapat dilakukan dalam
bentuk perbaikan
proses rekrutmen berbasis kompetensi, pendidikan dan latihan yang sensitif
terhadap kepentingan masyarakat, penciptaan Standar Kinerja Individu, Standar
Kinerja Tim dan Standar Kinerja Instansi Pemerintah.
Departemen Keuangan telah memulai proses organization reinventing dalam
bentuk penataan organisasi sejak tahun 2002 dan terus berjalan hingga hari ini.
Penataan organisasi tersebut meliputi pemisahan, penggabungan, dan penajaman
fungsi, serta modernisasi. Penajaman tugas dan fungsi dilakukan di Sekretariat
Jenderal, Inspektorat Jenderal, Ditjen Anggaran, Ditjen Perbendaharaan, Ditjen
Perimbangan Keuangan, dan Badan Kebijakan Fiskal, sementara modernisasi
diimplementasikan dalam pembentukan Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Modern Direktorat
Jenderal Pajak, Kantor Pelayanan Utama (KPU DJBC) Direktorat Jenderal Bea dan
Cukai, dan Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN) Percontohan. Disamping
itu, di departemen keuangan juga telah pula dilakukan pemisahan dan penajaman
fungsi organisasi yang diharapkan mampu menciptakan struktur organisasi yang
menghasilkan kebijakan berkualitas dan dapat memberikan pelayanan terbaik
kepada masyarakat.
Terakhir, pada level operasional,
reformasi birokrasi dilakukan melalui perbaikan serta peningkatan kualitas
pelayanan yang meliputi dimensi tangibles,
reliability, responsiveness, assurance dan emphaty. Dalam departemen
keuangan, perbaikan pelayanan kepada masyarakat tersebut salah satunya
tercermin dalam adanya perubahan waktu yang diperlukan masyarakat untuk
mendapatkan layanan, contohnya pada Pelayanan Penyelesaian Permohonan Pendaftaran NPWP oleh Direktorat Jenderal Pajak (pada Kantor
Pelayanan Pajak modern) di mana pada saat sebelum adanya reformasi birokrasi
pelayanan tersebut dapat selesai 1 s.d. 3 hari kerja sejak permohonan
diterima lengkap. Sejak reformasi birokrasi di departemen keuangan, terjadi
peningkatan kualitas layanan menjadi 1 hari kerja sejak permohonan diterima lengkap.
Hal ini mengindikasikan adanya perbaikan dalam hal pemberian layanan kepada
masyarakat oleh departemen keuangan.
Selanjutnya,
reformasi birokrasi di tubuh departemen keuangan juga dapat dilihat dari segi
faktor-faktor yang mempengaruhi birokrasi, diantaranya adalah faktor budaya,
faktor individu, faktor organisasi dan manajemen, serta faktor politik.
Dilihat
dari faktor budaya, departemen keuangan berusaha merubah budaya dan perilaku
koruptif yang sudah terlembaga (“uang administrasi” atau uang “pelicin”)
menjadi budaya pemberian pelayanan yang professional dengan adanya standar
prosedur operasi yang dimiliki oleh departemen keuangan.
Sementara
itu, dilihat dari faktor organisasi dan manajemen yang meliputi struktur, proses, leadership,
kepegawaian dan hubungan antara pemerintah dan masyarakat, departemen keuangan berusaha
menyesuaikan dengan perkembangan lingkungannya.
Perbaikan mekanisme kerja dan desain struktur organisasi untuk mengoptimalisasikan fungsi berupa, perencanaan sumber daya manusia dan rekrutmen, pembangunan pola mutasi, pembangunan system assessment center, pembangunan sistem informasi kepegawaian yang terintegrasi, peningkatan akuntabilitas, dan peningkatan koordinasi dan kolaborasi dengan unit kepegawaian dan unit teknis terkait telah dilakukan dalam tubuh departemen keuangan dalam rangka reformasi birokrasi. Perubahan istilah “kepegawaian” menjadi “sumber daya manusia” merupakan bagian dari perubahan pembinaan sumber daya manusia (SDM) dalam konteks Reformasi Birokrasi Departemen Keuangan. Perubahan tersebut tidak semata-mata menyangkut istilah, tetapi lebih daripada itu merupakan perubahan sistem pengelolaan dan pembinaan SDM.
Perbaikan mekanisme kerja dan desain struktur organisasi untuk mengoptimalisasikan fungsi berupa, perencanaan sumber daya manusia dan rekrutmen, pembangunan pola mutasi, pembangunan system assessment center, pembangunan sistem informasi kepegawaian yang terintegrasi, peningkatan akuntabilitas, dan peningkatan koordinasi dan kolaborasi dengan unit kepegawaian dan unit teknis terkait telah dilakukan dalam tubuh departemen keuangan dalam rangka reformasi birokrasi. Perubahan istilah “kepegawaian” menjadi “sumber daya manusia” merupakan bagian dari perubahan pembinaan sumber daya manusia (SDM) dalam konteks Reformasi Birokrasi Departemen Keuangan. Perubahan tersebut tidak semata-mata menyangkut istilah, tetapi lebih daripada itu merupakan perubahan sistem pengelolaan dan pembinaan SDM.
Meskipun
demikian, laporan political and economic risk consultancy (PERC) menunjukkan
bahwa birokrasi Indonesia masih termasuk kategori buruk. Para
eksekutif bisnis yang disurvei PERC berpendapat masih banyak birokrat Indonesia
yang memanfaatkan posisi mereka untuk kepentingan diri sendiri dan kelompoknya.
PERC juga masih menempatkan Indonesia dalam kelompok negara yang memiliki
tingkat korupsi yang tinggi. Oleh karenanya, seharusnya pemerintah memiliki
komitmen untuk melakukan penguatan lembaga KPK dan Ombudsman yang merupakan
salah satu indikator komitmen bangsa dalam penciptaan pemerintahan yang bersih
dan bebas dari KKN karena ternyata, dalam kenyataannya system
birokrasi kita yang dikatakan telah bereformasi (tercermin dari adanya beberapa
departemen yang telah melakukan reformasi di tubuh departemennya seperti
Departemen Keuangan) masih memiliki banyak kelemahan. beberapa kelemahan yang
menonjol yaitu:
- Lemahnya kehendak pemerintah atau political will/government will
- Belum ada kesamaan persepsi dan pemahaman tentang visi, misi, tujuan dan rencana tindak tidak jelas;
- Belum ada kesepakatan menerapkan SIN (single identification/identity number) tentang data kepegawaian, asuransi kesehatan, taspen, pajak, tanah, imigrasi, bea-cukai, dan yang terkait lainnya
- Masih banyak duplikasi, pertentangan, dan ketidakwajaran peraturan perundang-undangan
- Kelemahan dalam criminal justice system (sistem penanggulangan kejahatan); penanggulangan kejahatan (criminal policy) belum efektif menggunakan media masa dan media elektronika, kurangnya partisipasi masyarakat, sanksi terlalu ringan dan tidak konsisten, dan criminal policy belum dituangkan secara jelas dalam bentuk represif (criminal justice system), preventif (prevention without punishment), dan pencegahan dini (detektif);
Berbagai
upaya parsial telah dilakukan dalam reformasi birokrasi di Indonesia seperti
departemen keuangan, kepolisian, BPK, dan sejumlah pemerintah daerah. Namun
demikian karena sifatnya yang parsial, reformasi birokrasi masih terkesan
berjalan sendiri-sendiri tanpa tujuan. Sehingga masih dapat kita temukan
over-regulasi, rendahnya kualitas pelayanan publik, pertanggung jawaban dan
akuntabilitas, profesionalisme dan responsiveness yang disebabkan oleh buruknya
mind set, culture set dan budaya kerja para birokrat. Untuk mengatasi masalah
tersebut perlu segera dilakukan penataan kelembagaan, kepegawaian berbasis
kinerja dengan reward and punishment, penyederhanaan ketatalaksanaan,
akuntabilitas kinerja pemerintah, peningkatan pelayanan publik, sistem
pengawasan nasional dan pengembangan budaya kerja aparatur negara baik di pusat
maupun di daerah yang dilakukan secara sistemik.
Reformasi
birokrasi itu sendiri sebenarnya sudah berjalan di Indonesia dengan tahapan
tahapan yang mungkin masih kurang sempurna di beberapa tempat. Adapun demikian,
sangat disayangkan bahwa ternyata pelaksanaanya tidaklah merata bahkan cenderung
sendiri sendiri. Contoh kesuksesan reformasi birokrasi dapat kita dilihat di
dalam tubuh Departemen Keuangan yang kini terlihat lebih maju dan birokratis. Masih
adanya pelaksanaan birokrasi secara parsial dimana perubahan terjadi berbeda
beda ditiap tempat menimbulkan perbedaan, ketidak selaarasan dan kebingungan
masyarakat yang berakhir pada ketidakpuasan masyarakat.
Sebenarnya,
reformasi birokrasi dapat dilihat keefektivitasannya bila prinsip prinsip good
government telah tercapai termasuk public services pemerintah terhadap
masyarakatnya. Untuk itu, demi berlangsungnya reformasi birokrasi seharusnya
mulai diterapkan system perubahan bersama dalam birokrasi departemen atau
jaringan jaringan pemerintah.
BAB IV PENUTUP
IV.1 Kesimpulan
Penyelenggaraan
pemerintahan yang baik dan demokratis mensyaratkan kinerja dan akuntabilitas
aparatur yang makin meningkat. Hal ini mengindikasikan bahwa reformasi
birokrasi merupakan kebutuhan dan harus sejalan dengan perubahan tatanan
kehidupan politik, kemasyarakatan, dan dunia usaha. Dalam peta tantangan
nasional, regional, dan internasional, aparatur negara dituntut untuk dapat
mewujudkan profesionalisme, kompetensi dan akuntabilitas. Pada era globalisasi,
aparatur negara harus siap dan mampu menghadapi perubahan yang sangat dinamis
dan tantangan persaingan dalam berbagai bidang. Saat ini masyarakat Indonesia
sedang memasuki era yang penuh tuntutan perubahan serta antusiasme akan
pengubahan. Ini merupakan sesuatu yang di Indonesia tidak dapat dibendung lagi.
Oleh karena itu, reformasi di tubuh
birokrasi indonesia harus terus dijalankan demi terciptanya pelayanan prima
bagi masyarakat seperti yang telah dilakukan oleh departemen keuangan.
IV.2 Saran
Untuk memayungi reformasi birokrasi,
diupayakan penataan perundang-undangan, antara lain dengan menyelesaikan rancangan
undang-undang yang telah ada. Dengan demikian, proses reformasi birokrasi dapat
berjalan dengan baik dengan adanya legalitas secara hukum dalam pelaksanaannya.
Untuk membangun bangsa yang bermartabat,
harus dilakukan bersama oleh pemerintah dan masyarakat dalam menciptakan
pemerintah yang lebih baik dari ablegovernment ke better government
dan trust government. Selain itu,
diharapkan masyarakat dapat lebih partisipatif dalam pelaksanaan reformasi
birokrasi, prinsip-prinsip good governance, pelayanan publik, penyelenggaraan
pemerintahan dan pembangunan yang baik, bersih, dan berwibawa, serta pencegahan
dan percepatan pemberantasan korupsi.
Daftar Pustaka
ü http://www.depkeu.go.id
ü http://reform.depkeu.go.id
ü http://robeeon.net/politik/birokrasi-indonesia-zamam-orde-baru-dan-zaman-reformasi-adakah-perubahannya.html
ü http://ruslan.web.id/archives/24
ü http://www.detiknews.com
ü Prof.
eko prasojo dalam slide berjudul “Reformasi
Administrasi dan Good Governance
di Indonesia”
di Indonesia”
ü Thoha,
Miftah. Dimensi-Dimensi Prima Ilmu
Administrasi Negara. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005.
ü Etzioni,
Eva dan Halevy. Bureaucracy and Democracy.
Rotledge and Kegan. 1983
loading...
No comments:
Post a Comment