loading...
A.
PENDAHULUAN
Uraian saya tentang Filsafat, Politik dan Ideologi
Pendidikan sebagai upaya merefleksikan kondisi faktual pendidikan dan harapan
di waktu yang akan datang, berbasis pada asumsi bahwa sekiranya kita menyetujui
suatu tesis bahwa sebagai bangsa kita masih belum terlepas dari krisis
multidimensi. Sekiranya kita semua memaklumi bahwa kondisi faktual kita dalam
berbangsa, bernegara, bermayarakat, berpolitik, bergaul dengan bangsa-bangsa
lain, menunjukan evidensi bahwa krisis multidimensi tersebut masih bersifat
laten dan mendasar. Krisis mutidimensi bangsa ditandai dengan beragam konflik
dalam dimensi kehidupan; centang perenang dan kekisruhan bidang ekonomi,
politik, sosial dan budaya; dekadensi moral; missing link berbagai peristiwa atau kejadian sehingga tidak
mampidak beru dijelaskan mengapa suatu peristiwa terjadi dan perilaku warga
yang mencari solusi dengan cara-cara irasional; menonjolnya primordialisme,
egosektoral dan egosentrisisme; sikap dan berpikir parsial, tidak konsisten,
klaim sepihak, mementingkan golongan; budaya instant dan hedonisme; kebijakan
diambil tidak berdasarkan data empiris melainkan atas dasar kepentingan sesaat
dan golongan; dan merajalelanya kolusi, korupsi dan nepotisme. Untuk mampu
melihat secara jernih segala unsur yang terkandung di dalam krisis multidimensi
tersebut, kita perlu melakukan kajian secara mendasar meliputi kajian filsafat,
politik dan ideologi khususnya bidang pendidikan.
Pada kesempatan ini, setidaknya saya bermaksud
menyampaikan hasil telaah atau kajian saya perihal pendidikan di Indonesia
dengan pendekatan filsafat, politik dan ideologi. Telaah filsafat telah memberi
petunjuk adanya aliran-aliran pemikiran dalam sejarahnya; sedangkan politik dan
ideologi telah memberikan konteks, persoalan dan solusi-solusinya. Terdapat
benang merah secara filsafati, politik dan ideologis bahwa persoalan
multidimensi bangsa Indonesia secara hermeneutika dapat didekati menggunakan
narasi-narasi besar dunia di satu sisi, dan di sisi lain dapat didekati
menggunakan dialog kecerdasan lokal (local genious).
Hypothetical
analyses memberikan petunjuk bahwa keadaan ontologis krisis
multidimensi yang dialami bangsa Indonesia dewasa ini berelasi linear dengan
forma, wadah, bentuk atau struktur kehidupan Indonesia secara menyeluruh yang
dapat digambarkan sebagai bentuk yang belum berbentuk, forma yang belum
berforma, dan struktur yang belum berstruktur. Kondisi forma yang belum berforma tersebut secara kebetulan dan secara
tidak kebetulan, dipengaruhi oleh dimensi forma
eksternal bersubstansial dalam waktu (kala) terbuka (baik atau buruk).
Sebagaian forma eksternal bersubstansial
mempunyai dimensi lebih tinggi sehingga forma Indonesia yang belum berforma
tidak mampu mengendalikannya.
Apapun penyebabnya, yang pasti forma Indonesia yang
belum berforma lebih banyak menimbulkan ketidakpastian, merugikan, melemahkan,
dan merongrong jati diri bangsa dari dalam diri sendiri. Sedangkan segenap
komponen dan komponen kunci terlibat dalam pusaran krisis multidimensi forma
yang belum berforma, sehingga meraka tidak mampu dan tidak akan mampu mengatasi
persoalan internal bangsa, jika mereka tidak mampu keluar dari dimensi forma
yang belum berforma. Sebagian komponen kunci malah terpancing untuk mengambil
peruntungan pribadi dan kelompok dari krisis multidimensi, dengan cara mencari
dan memperkuat potensi multifacet (termasuk potensi negatif). Alhasil, krisis
multidimensi forma yang belum berforma diperdalam, diperkuat dan diperluas
dengan adanya interaksi potensi-potensi negatif komponen kunci. Potensi-potensi
negatif komponen kunci telah memberikan pengaruh dan memperbesar daya ontologis
krisis multidimansi bangsa untuk menjadi bola liar tak terkendali menuju
subordinat potensi negatif dominan dunia di bawah pengendalian Power Now. Sebagian pendidikan telah
digunakan potensi negatif dunia untuk memperkokohkan kedudukannya dengan
membuka cabang di tiap-tiap pintu peradaban bangsa-bangsa dunia.
Anak kecil bersuka ria, menyanyi, menari, membaca
Pantun dan Puisi dengan deklamasi, meminta dongeng dari orang tua, menanya arti
dan maksud dari segala fenomena apa yang dihadapi, kreatif memproduksi dan
menyusun cerita, dst. Anehnya, fenomena kehidupan anak kecil (anak-anak dan
cucu-cucu kita) tersebut terkadang cepat berlalu bahkan kadang-kadang sangat
cepat berlalu. Terkadang kegembiraan dan keceriaan anak-anak dan cucu-cucu
kita, hanya sampai di TK; mungkin sampai di SD Kelas 1, Kelas 2; tetapi mulai
Kelas 3 timbul gejala mereka cenderung menjadi pendiam, murung, sedih bahkan
stress. Di Kelas IV dan Kelas V, kehidupan mereka sudah mulai dihantui
cerita-cerita dan nasihat-nasihat bagaimana agar jangan sampai gagal dalam
menghadapi UN. Semua Guru, Kepala Sekolah, tak terkecuali Keluarga, orang tua,
kakak, dan famili semuanya mengkondisikan bahwa mengalami kegagalan menempuh UN
SD adalah kegagalan hidup; jangankan mencari pekerjaan, sedang melamar gadis
saja pasti akan ditanya calon mertua berapa nilai UN nya?. Dengan keadaan
seperti ini, sudah dapat dipastikan bahwa berat rasanya bagi mereka anak-anak
dan cucu-cucu kita untuk sekedar tersenyum sesaat; mereka stress, khawatir,
takut dan mencari solusi pergi ke Dukun
dan Orang Pintar untuk mendapat tuah dan ajimat; maka para Dukun dan Orang
Pintarpun laris memberi solusi dengan memberi Pensil, Pulpen, Buku, air putih,
batu kerikil semuanya yang sudah didoakan dan agar dibawa mengikuti UN. Ritual
dan doa bersama diselenggarakan terkadang diikuti histeria dan tangisan para
siswa, bahkan kesurupan; sampai di sini, hilanglah sudah masa-masa kekanakan
mereka. Mengapa mengenyam pendidikan harus dilalui melalui cara-cara demikian?
Semua aktivitas sekolah dan metode pembelajaran
diarahkan untuk sebenar-benar agar di Sekolah tersebut semua siswa bisa lulus
UN semua dengan hasil yang setinggi-tingginya. Lulus semua dengan hasil tinggi
adalah pertaruhan kehormatan Sekolah beserta civitasnya, bahkan juga menjadi
kriteria keberhasilan di wilayah tersebut; oleh karena itu, semua merasa
penting dan bertanggung jawab bagi suksesnya UN termasuk Dinas Pendidikan,
Bupati bahkan Gubernur sekalipun. Berbagai cara dilakukan termasuk membentuk
Tim Sukses untuk UN; fenomenanya terdapat cara-cara yang melanggar etik an
bahkan kriminal seperti Kepala Sekolah yang memerjual-belikan Soal UN,
kebocoran soal UN, guru-guru berbuat curang demi membatu murid dan sekolah agar
meraih sukses UN.
Nasib anak-anak kecil dan cucu-cucu kita belum
berhenti sampai di sini; masa anak-anak begitu cepat berlalu dikarenakan mereka
sejak umur 2 (dua) tahun sudah dikenalkan dan sudah mampu menggunakan perangkat
SmartPhone, Gadget, Iphone, Komputer dan Internet; itu semua merupakan prestis
dan lambang kebanggan serta ukuran kemajuan sebuah keluarga; maka tanpa kecuali
semua anak-anak dan cucu-cucu kita setiap hari mengonsumsi fenomena budaya
kontemporer yang merangkum semua kehidupan positif-negatif sampai level orang
dewasa termasuk video porno, kejahatan seksual, game kekerasan, dst; anak-anak
dan cucu-cucu kita umur 3 (tiga) tahun sudah belajar dan mempunyai Password
untuk melindungi aktivitasnya mengintip dunia gelap dan bejatnya orang dewasa.
Maka yang terjadi adalah keluarga beserta anak-anak mereka, masyarakat dan
semua orang mengalami krisis dan disorientasi mental dan budaya; maka tidaklah
heran kita semakin hari semakin menjumpai fenomena bersifat masif: pelecehan
seksual oleh anak-anak, bullying anak di sekolah, bahkan tindak kriminal dan
pembunuhan sudah dapat dilakukan oleh anak-anak. Krisis multidimensi Bangsa
tidak hanya pada level Waspada, Tanggap dan Siaga; tetapi sudah sampai level
Darurat Krisis Multi Dimensi Berbangsa, Negara dan Masyarakat.
B.
MEMAHAMI
FILSAFAT, IDEOLOGI, DAN POLITIK PENDIDIKAN
Objek ontologis
filsafat meliputi yang ada dan yang mungkin ada. Jika yang ada dan yang mungkin
ada bersifat berubah, maka lahirlah Filsafat Heraklitosianisme. Jika yang ada
dan yang mungkin ada bersifat tetap maka lahirlah Filsafat Permenidesianisme.
Jika objek filsafat ada di luar pikiran, maka lahirlah Filsafat Realisme atau
Relativisme. Jika objek filsafat ada di dalam pikiran maka lahirlah Filsafat
Idealisme atau Absolutisme. Jika sumber pengetahuan adalah rasio, maka lahirlah
Filsafat Rasionalisme. Jika sumber pengetahuan adalah pengalaman, maka lahirlah Filsafat
Empirisisme. Jika sumber pengetahuan
adalah Tuhan maka lahirlah Filsafat Teologi atau Spiritualisme. Jika
sumber pengetahuan adalah materi maka lahirlah Filsafat Materialisme. Jika yang
dicari adalah substansi maka lahirlah Filsafat Substansialisme atau
Esensialisme. Jika yang dicari adalah yang ada maka lahirlah Filsafat
Eksistensialisme. Jika pusatnya adalah manusia maka lahirlah Filsafat
Humanisme. Dengan cara yang sama saya berusaha mengidentifikasi semua jenis
Filsafat termasuk Filsafat Modern, Filsafat Transendentalisme, Filsafat
Manusia, Filsafat Nihilisme, Filsafat Kapitalisme, Filsafat Pragmatisme, Filsafat
Scienticism, Filsafat Positivisme, dst.
Dalam
perkembangannya terdapat pola kesejajaran dan interaksi antara
filsafat-filsafat tersebut. Secara garis besar dapat dibedakan 2 (dua) pola
kesejajaran filsafat. Filsafat Permenidesianisme sejajar dengan Filsafat
Idealisme, Filsafat Absolutisme, Filsafat Formalisme, dan Filsafat
Rasionalisme. Filsafat Heraklitosianisme sejajar dengan Filsafat Realisme,
Filsafat Relativisme, Filsafat Empirisisme dan Filsafat Pragmatisme. Filsafat
yang mengandung komponen tetap sekaligus berubah, misalnya Filsafat
Esensialisme, Filsafat Eksistensialisme, Filsafat Kantianisme, Filsafat Modern,
Filsafat Pancasila dan Filsafat Kontemporer. Terdapat filsafat yang pusatnya
saling berseberangan (anti-tesis), misalnya pusat-pusat dari filsafat Esensialisme,
Filsafat Eksistensialisme, Filsafat Materialisme dan Filsafat Humanisme adalah
berseberangan (anti-tesis) dengan pusat dari Filsafat Spiritualisme. Terdapat
filsafat yang merupakan turunan dari filsafat yang lainnya, misalnya segala
Filsafat yang didahului dengan Neo adalah turunan dari Filsafat yang
diikutinya. Neo-liberalisme adalah turunan dari Filsafat Liberalisme,
Neo-Kantianisme adalah turunan dari Filsafat Kantianisme, dst.
Filsafat adalah
wadahnya pikiran, karena filsafat adalah oleh pikir, sedangkan pikiran bersifat
simpomatik sintetik-analitik; artinya, pikiran secara simtomatik
merepresentasikan filsafat terisolasi oleh ruang dan waktunya. Immanuel Kant
(1671) menyatakan “jika engkau ingin
mengetahui dunia, maka tengoklah pikiranmu sendiri, karena dunia itu sama
persis dengan apa yang sedang engkau pikirkan”. Implikasi dari pendapat di
atas adalah bahwa segala macam Filsafat dan Aliran Filsafat sangat mungkin
bukan di sana, melainkan dia ada sangat dekat dengan kita, yaitu pikiran kita
sendiri. Simtomatik terikat oleh ruang dan waktu, artinya tahun lalu mungkin
saya menerapkan Filsafat Otoritarianisme tetapi tahun ini saya sedang menjalankan
Filsafat Demokratisisme. Kompleksitas pikiran manusia memungkinkan sebuah
simtomatik terikat oleh ruang dan waktu merepresentasikan sebuah filsafat
dominan disertai filsafat-filsafat subordinat lainnya. Misalnya pikiran atau
sikap berfilsafat Absolutis tentu disertai sikap berfilsafat Formalisme dan
Idealisme; sehingga terkomposisi perwujudan Filsafat Absolut-Formal-Idealisme.
Juga dimungkinkan adanya representasi Filsafat Relative-Empiris-Realisme.
Berubah adalah anti-tesis nya yang tetap; maka berubah sekaligus tetap adalah
kontradiksi jika terbebas oleh ruang dan waktu. Namun jika tertangkap oleh
ruang dan waktu, maka berubah dapat sekaligus yang tetap. Misal Kereta Api yang
berubah posisi, tetaplah ia sebagai Kereta Api. Dalam Bhs Jawa :”ngono ya ngono ning aja ngono”, sekaligus
disarankan dan tidak disarankan “ngono”. Dia akan menjadi benar jika “ngono” pertama diberi makna yang berbeda
dengan “ngono” kedua.
Solusi filsafat
sering merekomendasikan kompromi kontradiktif antar representasi filsafat.
Absolutisme, Formalisme, dan Rasionalisme sejalan dengan pola pikir analitik a
priori. Sedangkan Realisme, Relativisme dan Empirisisme sejalan pola pikir
sintetik a posteriori. Daripada mempertentangkan keduanya tiada henti, lagi
Immanuel Kant (1671) memberi solusi kompromi untuk merepresentasikan sintetik
a-priori. Maka menurut dia, dunia terangkum di dalam proposisi “sintetik a-priori”. Seperti dikatakan “
tanpa ilmu (filsafat) kita menjadi buta, tanpa pengalaman (penerapan) kita
menjadi kosong”. Dari sini lahirlah dunia lengkap yang berhermeneutika terjemah
dan saling menterjemahkan antara teori dan praktek, antara dunia dan akhirat,
antara Idealisme dan Realisme.
Seseorang atau
bangsa yang survive adalah orang atau bangsa yang mampu secara dinamis dan
kreatif menembus ruang dan waktu. Orang jahat (koruptor) adalah orang yang
tertangkap ruang dan waktu buruk (Kala);
sedangkan orang yang baik adalah orang yang berada di dalam ruang dan waktu
yang baik (Cakra). Kebaikan diperoleh
dengan cara meruwat keburukan, yaitu meruwat Kala dengan Cakra. Tradisi
Ruwatan adalah Epistemologi Jawa untuk memeroleh Ilmu (wahyu/personifikasi). Beberapa
ciri utama keburukan adalah sifat Parsialisme Absolut dan sifat Reduksionisme
Absolut. Sifat Tetap dan Sifat Brubah objek filsafat sekaligus merupakan
potensi baik dan buruk. Maka semua aliran Filsafat jika itu bersifat
Egosentrisisme menjadi Potensi Buruk; dan diperlukan Filsafat Holisisme agar
diperoleh komprehensivitas yang menuju Potensi Baik. Saya mendefinisikan
Ideologi sebagai bentuk operasionalisasi Filsafat. Karena Ideologi adalah
Filsafat yang dioperasionalkan, maka dia terkait dengan ruang dan waktu yang
berupa konteks budaya dan sejarah seseorang atau suatu bangsa; dengan demikian
Ideologi bersifat plural dan kontekstual dan merupakan cara untuk memeroleh
keadaan yang di Ideal kan. Dengan
demikian kita mengenal bermacam Ideologi misalnya Ideologi Kapitalisme,
Ideologi Sosialisme, Ideologi Marxisme, Ideologi Industri, Ideologi
Liberalisme, Ideologi Pragmatisme, Ideologi Utilitarianme, Ideologi
Saintisisme, Ideologi Kontemporer, Ideologi Kapitalis, dan Ideologi Pancasila.
Semua ideologi tersebut dapat sekaligus merefleksikan filsafatnya.
Sementara
Politik secara ontologis sebagai keadaan atau cara yang dikaitkan dengan
keadaan masyarakat atau aktivitas memengaruhi masyarakat untuk memeroleh
Kekuasaan. Kekuasaan yang di peroleh melalui Politik bisa saja digunakan untuk
memeroleh Ideal yang diharapkan, tetapi tidak jarang mereka terjebak pada
dimensi yang lebih rendah seperti Politik Uang, Politik Praktis atau Politik
Transaksional. Dimensi ideal dari politik dapat berupa Politik Pancasila,
Politik Demokrasi, Politik Fasisme, Politik Komunisme, Politik Otoritarian,
Politik Politik Liberal, Politik Neo-Liberal, Politik Saintisisme dan Politik
Sosialisme. Jika kedaulatan diberikan sepenuhnya ke tangan rakyat, maka dikenal
sebagai Demokrasi. Dalam konteks Indonesia kita memunyai politik ideal sebagai
Politik Pancasila.
Paradigma atau
kumpulan paradigma, disadari atau tidak, merupakan refleksi kontekstual dari
ujung tombak filsafat, ideologi dan politiknya yang mendasari dan mempengaruhi
arah kebijakan atau policy dalam kehidupan berbangsa dan bermasyarakat. Thomas
Kuhn mendefinisikan Ideologi dan Politik Saintisisme sebagai Pergeseran
Paradigma yang bergerak tidak linear dan selalu menghasilkan paradigma baru dan
bersifat kontradiktif. Menurut Kuhn, suatu Ilmu akan terbukti sebagai Ilmu jika
telah dibuktikan Salah sebagaimana adanya. Diantara paradigma-paradigma
tersebut dapat bersifat Sepadan atau Tidak Sepadan. Lingkup dan dimensi
Paradigma tentu lebih rendah dari Ideologi dan Filsafat, dan mereka dapat
merasuk dan menyebar ke dalam berbagai macam Ilmu.
Pendidikan
merupakan program yang dikaitkan dengan keadaan atau usaha hidup seseorang atau
kelompok orang. Maka Pendidikan yang baik adalah Pendidikan yang menjamin hidup
akan lebih hidup, dalam segala aspek dan dimensinya. Socrates mendefinisikan
Pendidikan sebagai cara untuk mengetahui apa yang bisa atau tidak bisa
dilakukan dan apa yang dimengerti dan tidak dimengerti. Plato mendefinisikan
Pendidikan sebagai usaha untuk mewujudkan masyarakat ideal seperti yang
diuraikan dalam bukunya Republik. John Dewey mendefinisikan Pendidikan sebagai
keberlangsungan hidup kelompok sosial tertentu. Ternyata ditemukan bahwa,
setiap Filsafat, Ideologi dan Politik memunyai definisi Pendidikannya sendiri-sendiri
tergantung dari konteks Ideologi dan Politiknya. Dari sisi filsafatnya, maka
kajian Pendidikan terdiri dari aspek-aspek hakekat ontologis, epistemologis dan
aksiologis dari unsur-unsurnya meliputi Manusia, Nilai, Tujuan, Relasi,
Strategi, Model, Organisasi dan Asumsi-asumsi Dasarnya. Filsafat Pendidikan
yang bersifat netral dapat didorong oleh kekuatan politik sehingga melahirkan
kebijakan dan arah pendidikan sesuai dengan karakteristik Makropolitik
Pendidikan nya. Untuk negara tertentu seperti Indonesia yang sedang dilanda
krisis multidimensi, telaah Makropolitik Pendidikan lebih menarik dibanding
Mikropolitik Pendidikan karena dampak yang ditimbulkan oleh vitalitas
Makropolitik Pendidikan jauh lebih signifikan, terstruktur, masif dan sistemik.
Selain dari itu, dalam situasi tidak menentu terkait krisis multidimensi di
Indonesia, vitalitas Makropolitik Pendidikan terbukti telah menjadi sangat
strategis dalam menentukan Indonesia ke depan sperti apa yang dikehendaki.
Paul Ernest
(1995), mendeskripsikan bahwa Politik Pendidikan berkaitan langsung dengan
Ideologi Pendidikannya. Bangsa-bangsa tergolong berideologi Industrial Trainer
cenderung mengimplementasikan Politik Pendidikan Radikal Kanan. Bangsa-bangsa
tergolong berideologi Technological Pragmaticim cenderung mengimplementasikan
Politik Pendidikan Konservatif. Bangsa-bangsa tergolong berideologi Old
Humanism cenderung mengimplementasikan perpaduan antara Politik Pendidikan Konservatif dan Liberal.
Bangsa-bangsa berideologi Progressive
Educator cenderung mengimplementasikan Politik Pendidikan Liberal. Dan
Bangsa-bangsa berideologi Public Educator cenderung mengimplementasikan Politik
Pendidikan Demokrasi. Utopia Indonesia adalah menjadi Bangsa yang Demokratis
yaitu Demokrasi Pancasila; maka konsekuensinya Ideologi Pendidikan Indonesia
adalah menganut atau mengimplementasikan Ideologi Pendidikan Public Educator.
Krisis multidimensi Bangsa Indonesia terjadi karena mindset kebangsaan para
pemimpin dan pengambil kebijakan pendidikan mengalami kegamangan serta tidak
mampu mendudukan Ideologi dan Politik Strategis Bangsa Indonesia, memerjuangkan
dan memerebutkannya secara konsisten dan istiqomah di tataran global baik pada
sekarang maupun yang akan datang (50 atau bahkan 200 tahun ke depan).
C.
TESIS,
ANTI-TESIS DAN SINTESIS FILSAFAT, IDEOLOGI DAN POLITIK PENDIDIKAN
Filsafat adalah
kecenderungan. Kecenderungan dapat dipahami dengan Penomenologi Reduksionisme.
Hasilnya adalah sebuah struktur atau dunia lengkap dengan unsur-unsur dan
puncak atau pusatnya. Mudah dipahami pula bahwa pada akhirnya kesadaran kita
akan sampai pada kesimpulan bahwa, dengan filsafat kita akan menemukan dunia
yang plural, artinya banyak Dunia dan setiap yang ada dan yang mungkin ada
merepresentasikan Dunianya masing-masing. Filsafat Esensialisme mengejar
kebenaran dari segala esensi yang ada; maka mudah dipahami bahwa hakekat Esensi
adalah pusat atau sentralnya Filsafat Esensialisme. Sementara Filsafat
Spiritualisme mengejar Kebenaran Absolut yang diyakini berada di tangan Tuhan. Pendidikan
Spiritualisme Mutlak akan bersifat Puritanisme, Akhiran-tertutup (Closed-ended) Mutlak. Maka kita dapat
menyimpulkan bahwa jika Filsafat Spiritualisme adalah tesis, maka Filsafat
Esensialisme, Filsafat Eksistensialisme, Filsafat Materialisme, dst dapat
dipandang sebagai anti-tesis nya. Di sinilah semestinya Karakter Timur atau
Karakter Indonesia berhati-hati dalam mengklaim suatu Filsafat justifikasi
pandangannya.
Pendidikan
terdiferensiasi dari Politik, Ideologi dan Filsafatnya. Dimensi pengalaman
hipotesis intuisi mengidentifikasikan bahwa Pendidikan Esensialisme Mutlak
dengan demikian akan bersifat Anti-Spiritualisme dengan sifat-sifat ikutan lain
yang dapat diturunkan bahwa diapun pada akhirnya bersifat Materialisme,
Realisme, dan Eksistensialisme. Di sisi lain, Pendidikan Eksistensialisme
mengejar kebenaran kepada yang Ada dan yang Mungkin Ada, dan dengan sendirinya
sekaligus sebagai pusatnya. Jika diekstensikan maka dengan mudah dapat dipahami
bahwa Pendidikan Eksistensialisme pada akhirnya juga bersifat
Anti-Spiritualisme, dengan sifat-sifat ikutan yang dapat diturunkan sebagai
sejalan dengan Humanisme,Empirisisme, Nihilisme, Reduksionisme, dan
Resionalisme. Dikarenakan bersifat Anti-Spiritualisme, maka Pendidikan
Esensialisme dan Pendidikan Eksistensialisme akan menghasilkan Hedonisme.
Secara normatif,
Realisme adalah anti-tesis dari Idealisme; maka Pendidikan Realisme Mutlak
bersifat Anti-Idealisme, namun sejalan dengan Materialisme, Empirisisme dan
Eksistensialisme. Rasionalisme mengejar hakekat kebenaran pada Rasio; maka Pendidikan
Rasionalisme Mutlak berpusat pada Rasio, dan dengan demikian dapat dikatakan
bahwa dia adalah juga Anti-Spiritualisme, beserta sifat-sifat ikutan yang dapat
diturunkan yaitu Egosentris, Eksploitasi Vital, Dunia yang terbelah, dan
bersifat Laskar Pendidikan. Anti-tesis diametris dari Rasionalisme adalah
Empirisisme; maka Pendidikan Empiris Mutlak mengejar hakekat kebenaran pada
Pengalaman Manusia, dan dengan demikian bersifat Anti-Spiritualisme, dengan
sifat-sifat ikutan yang dapat diturunkan bersifat Materialisme, Eksploitasi
Vital, Saintisisme Mutlak, Hedonisme, dan Berakhiran Terbuka (Open-ended) Mutlak. Pendidikan
Relativisme Mutlak mengejar hakekat kebenaran pada Yang Mungkin Ada, dan
demikian maka bersifat Anti-Spiritualisme dengan sifat ikutan yang dapat
diturunkan sebagai bersifat Materialisme, Dunia yang Parsial, Berakhiran Terbuka (Open-ended) Mutlak, dan
Hedonisme. Pendidikan Positivisme yang bersifat Saintisisme Mutlak,
Anti-Spiritualisme, Pendidikan Laskar, Kapitalisme, Pragmatisme,
Utilitarianisme, Materialisme, Liberalisme, Open-ended
Mutlak.
Jika kita menuju
hilirnya Filsafat, kita akan menemukan Pendidikan Berbasis Rasio atau Berbasis
Kognitif, dengan sifat-sifat ikutan yang dapat diturunkan sebagai atau
berbentuk Cognitive-Based Education, Anti-Spiritualisme, Dunia Parsial dan
Hedonisme. Dalam era Kontemporer (AFTA), terdapat main-set yang cukup kuat dan
signifikan bahwa semua pengambil kebijakan Pendidikan di Indonesia akan
mengimplementasikan Pendidikan Berbasis Pasar, yang dengan sendirinya akan
mencari hakekat kebenaran ada di dalam Pasar. Dengan metode yang sama seperti
sudah dilakukan di atas, dapat disimpulkan bahwa Pendidikan Berbasis Pasar
dengan sendirinya bersifat Anti-Spiritualisme, dengan sifat-sifat ikutan yang
dapat diturunkan sebagai Reduksionisme, Eksploitasi Vital, Kompetisi Mutlak,
Egosentrik, Hegemoni, Dunia Terpotong, Materialisme, ragmatisme, Hedonisme, dan
Pendidikan Laskar. Pendidikan Konseratif Mutlak mempunyai sifat Reduksionisme,
Eksploitasi Vital, Monokulturisme, Egosentrik, dan Ethical Closed-ended Mutlak
(Nilai Budaya Tertutup Mutlak).
Dari Narasi Besar
nya Dunia Kontemporer, kita menjumpai adanya Pendidikan Liberalisme Mutlak
dengan sifat Anti-Spiritualisme, Open-ended Mutlak, Kebebasan Mutlak,
Heterogonomous Mutlak, dan Alienisasi. Pendidikan Kapitalisme yang bersifat
Anti-Spiritualisme, Eksploitasi Vital, Materialisme, Pragmatisme, Hedonisme,
Kapital Mutlak, Kompetisi Mutlak, Reduksionisme, Sosialisme, Dunia Terpotong ,
Closed-ended, dan Alienisasi. Pendidikan Humanisme Mutlak dengan sifat
Anti-Spiritualisme, Hedonisme, Egosentris, dan Dunia Terbelah. Pendidikan
Konstruksi Sosial dengan sifat Eksploitasi Vital, Kolaborasi, Heterogonomous,
Egosentris, dan Open-ended. Pendidikan Pragmatisme Mutlak yang bersifat Praktis
(budaya instant), Anti-Spiritualisme, Hedonisme, dan Anti-Idealsime. Pendidikan
Sentralistik yang bersifat Monokultur, Eksploitasi vital, Pendidikan Laskar,
Closed-ended Mutlak, Egosentrik, Reduksionisme, Dunia Terbelah, Sosialisme,
Kapitalisme, De-Alienisasi (Uniformitasisme). Pendidikan Formalisme yang
bersifat Top-Down, Sosialisme, Monokultur, Transenden, Idealisme, Sentralistik,
Eksploitasi Vital, Pendidikan Laskar, Egosentris, dan Dunia Terbelah. Pendidikan
Demokrasi Pancasila yang seyogyanya bersifat Spiritualsme, Mono-Dualis
(Habluminallah-Habluminanash), Terbuka-tertutup, Demokratis, Public Educator,
Realis-Idealisme, Bhineka-Tunggal Ika (monokultur-heterogonomous), dan
Dunia-Akhirat (seutuhnya).
D.
ONTOLOGI,
EPISTEMOLOGI DAN AKSIOLOGI MIKRO FILSAFAT DAN
MIKRO IDEOLOGI PENDIDIKAN
Berdasarkan
uraian terdahulu, kita dapat membuat Ontologi
Tabel Mikro Filsafat dan Mikro Ideologi Pendidikan sebagai berikut (Marsigit,
2014):
![]() |
Pendidikan
Kapitalisme
|
Pendidikan
Saintisisme
|
Pendidikan
Sosialisme
|
Pendidikan
Spiritualisme
|
Pendidikan
Demokrasi
|
Pendidikan
Kontemporer
Indonesia
|
Filsafat
|
Esensialisme
Realisme
Esistensialisme
|
Esensialisme
Realisme
Esistensialisme
|
Esensialisme
Realisme
Esistensialisme
|
Absolutisme
|
Esensialisme
Realisme
Esistensialisme
|
Esensialisme
Realisme
Esistensialisme
|
Ideologi
|
Kapitalisme
Liberalisme
Pragmatisme
Utilitarianisme
Materialisme
|
Kapitalisme
Liberalisme
Pragmatisme
Utilitarianisme
Materialisme
|
Sosialisme
Komunisme
Komunis
|
Fundamen-talisme
|
Demokrasi
|
Kapitalisme
Liberalisme
Pragmatisme
Utilitarianisme
Materialisme
|
Politik
|
Demokrasi-Kapital
(Korporasi)
Investasi
Pasar Bebas
|
Kapital
Investasi
Pasar bebas
|
Sosialis
Komunis
Proteksi-hegemoni
Demok-Negara
|
Konservatif
|
Demokrasi
Nasionalisme
|
Demokrasi-Transaksional
Egosentris-Pasar
Bebas
|
Moral
|
Relatif
Hedonisme
|
Relatif
Hedonisme
|
Egosentris
Deontologi
|
Absolut
Spiritual
|
Moral
Deontologi
|
Krisis Multidimensi
|
Sosial
|
Alienasi
Multikultur
Global-sistemik-networking
|
Alienasi
Multikultur
Global-sistemik-networking
|
Dealienasi
Monokultur
Egaliter
Elitisme
|
Dealienasi
Monokultur
Egaliter
Elitisme
|
Alienasi
Multikultur
|
Primordial
Kolusi
Nepotisme
Korupsi
Local-intrinsic-networking
|
Budaya/Karak-ter
|
Pos Modern
Kontemporer
|
Pos Modern
Kontemporer
|
Modern
Klasik
|
Tradisional
Klasik
|
Modern
Pos Modern
|
Pos Modern
Konpemporer
|
Ilmu
|
Disiplin
|
Disiplin
|
Disiplin
|
Absolut
|
Kreatif
Interaktif
|
Disiplin-Egosentris
|
Episte-mologi
Pendidi-kan
|
Pendidikan Laskar
Indoktrinasi
|
Pendidikan Laskar
Fenomenologi
|
Pendidikan Laskar
Indoktrinasi
|
Pendidikan Laskar
Indoktrinasi
|
Pendidikan Utk Semua
Fenomenologi
|
Pendidikan Laskar
Indoktrinasi
|
Kuriku-lum
|
Sbg Instrumen
Negara
|
Sbg Instrumen
Negara
|
Sbg Instrumen
Negara
|
Sbg Instrumen
|
Sebagai Kebutuhan
|
Instrumen Egosentris
|
Tujuan
Pendidikan
|
Investasi
Status quo
|
Investasi
Relatif Absolut
|
Hegemoni Egosentris
Status quo
|
Mono-dualis
Status quo
|
Pembebasan
Kebutuhan
Reformasi
|
Investasi Egosentris
Status quo
|
Teori
Menga-jar
|
Berbasis Riset
Behaviorisme
Knowle-Based
|
Investigasi
Behaviorisme
Knowle-Based
|
Transfer of knowledge
Behaviorisme
|
Ekspositori
Behaviorisme
|
Konstruktivis
Interaktif
|
Trans of know.
Ekspositori
Behaviorisme
|
Teori
Belajar
|
Modeling
Motivasi-Eksternal
|
Eksplorasi
Motivasi-Eksternal
|
Modeling
Motivasi-Eksternal
|
Modeling
Motivasi-spiritual
|
Otonomi
Motivasi-intern
Konstruktivis
|
Modeling
Motivasi-eksternal
|
Peran
Guru
|
Think Tank
Pengambang-terkendali
|
ThinkTank
Pelaksana
|
Think Tank
Pelaksana-terkendali
|
Model
Pelaksana-terkendali
|
Fasilitator
Pengembang
|
Think Tank
Pelaksana-terkendali
|
Kedudu-kan
Siswa
|
Empty Vessel
|
Empty Vessel
|
Empty Vessel
|
Empty Vessel
|
Aktor Belajar
|
Empty Vessel
|
Teori
Evaluasi
|
Eksternal
Ujian Nasional
|
Eksternal
Ujian Nasional
|
Eksternal
Ujian Nasioal
|
Evaluasi-Intrinsik
|
Penilaian-Berbasis
Kelas
PortoFolio
Otentik-Asesm
|
Egosentris-
Eksternal
Ujian Nasional
|
Sumber/Alat
Belajar
|
ICT
|
ICT
|
Media/Alat Peraga
|
Tradisional
|
Kreativitas Guru
|
Paket Pemerintah
|
Gambar 1: Ontologi
Mikro Filsafat dan Mikro Ideologi Pendidikan
Pada Gambar 1. di atas, terlihat bahwa
Politik dan Sistem Pendidikan Nasional Indonesia belum menggambarkan pola dan
struktur yang konsisten, kompak dan komprehensif; struktur yang demikian,
secara filsafati dikatakan sebagai sebuah struktur yang belum sehat atau tidak
sehat. Di dalam pola dan struktur yang tidak sehat, terdapat komponen satu
dengan yang lainnya tidak konsisten dan tidak konformis bahkan bertentangan. Politik Pendidikan tidak
selaras dengan Filsafat dan Ideologi Pendidikan. Implementasi Politik
Pendidikan Kontemporer Indonesia merepresentasikan Filsafat Esensialisme,
Realisme, dan Eksistensialisme. Perlu dicatat bahwa representasi Filsafat
demikian memuat kecenderungan
Sebagai
anti-tesis dari Filsafat Spiritualisme, artinya dalam implementasi Pendidikan
Kontemporer kita ada kecenderungan atau godaan untuk mengambil jarak dengan
Spiritualisme. Rongrongan pada level Ideologis terjadi melalui pilar-pilar
Kapitalisme, Liberalisme, Pragmatisme, Utilitarianisme dan Materialisem; dalam
mana, hal demikian sudah mulai terlihat pada level kehidupan bermasyarakat.
Politik Pendidikan Kontemporer Indonesia tersandera oleh praktek
Politik Demokrasi Transaksional dan Politik Uang, serta godaan yang sangat
besar karena tidak ada alternatif lain kecuali pelan tetapi pasti menuju
Egosentrisitas Pasar Bebas seperti GATT, WTO, dan AFTA. Keadaan yang tidak
sehat ini, karena tidak konsisten dan tidak mempunyai cukup Vitalitasnya untuk
mengambil peran kendali, maka gilirannya Bangsa dan Masyarakat Indonesia telah,
sedang dan akan terkena dekadensi moral dengan kondisi kehidupan masyarakat
yang memprihatinkan bercirikan Primordialisme, Kolusi, Nepotisme, Korupsi serta
interaksi dan hubungan yang masih bersifat intrinsik dan tidak atau sulit
mencapai Strong Ditermination Global Networking.
Implementasi Pendidikan Kontemporer Indonesia berbasis Disiplin Ilmu
Egosentris dengan Epistemologi Pendidikan berupa Pendidikan Laskar dan Metode
Pendidikan melalui cara Indoktrinasi untuk menuju Masyarakat Terdealienasi
(Uniformitas) sebagai prasyarat terwujudnya hilirnya bagi Karakter Kontemporer
Global (Power Now- (Neo)Kapitalisme). Oleh karena ini Politik Pendidikan
Kontemporer Indonesia sejalan dengan Politik Pendidikan Kapitalisme dan Politik
Pendidikan Saintisisme; bahkan untuk aspek tertentu bersinggungan dengan Politik
Pendidikan Sosialisme yaitu pada Epistemologi Dealienasi (Uniformitas). Perlu
dicatat bahwa Ontologi Dealienasi merentang pada kesamaan sifat meliputi yang
ada dan yang mungkin ada; sehingga terdapat wacana bagi diperolehnya
Uniformitas hak dan kewajiban.
Jika diekstensikan, maka akan diperoleh Dealienasi Universal
termasukdidalamnya adalah Kesamaan Hasil, Kesamaan Hasil Ujian (UN),
Standardisme, Kesamaan Keadaan Sehat, Sakit; dalam masyarakat berideologi
Komunis dan Sosialis diterapkan Dealisnasi Universal Absolut sehingga manusia
dianggap sebagai Materi yang sama dalam segala hal. Menakutkan kalau diskusi
dan pemikiran sampai menyinggung Komunisme, karena Bangsa Indonesia telah
mengalami trauma besar oleh Pemberontakan G30 S PKI. Tetapi pilar-pilar ontologis,
epistemologis dan aksiologis dari filsafat menembus ruang dan waktunya Ideologi
sehingga mampu melihat Karakter Macam Apa?, di Mana?, dan Mau Kemana? Bangsa
Indonesia ke depan.
Politik Pendidikan Kontemporer Indonesia
memandang Pendidikan sebagai Investasi (walaupun dapat bersembunyi di balik
terminoligi Investasi Peradaban sekalipun); dan memandang Kurikulum sebagai
Instrumen untuk mencapai Tujuan Egosentris Elitisme Populis; oleh karena itu
dengan Megaprojek berapapun usaha Inovasi Pendidikan dan Pembelajaran akan
selalu kandas dan tidak berhasil memromosikan Pendidikan Inovatif, karena pada
hakekatnya Pendidikan Inovatif hanya merupakan Slogan Populis yang sebenarnya
disadari merupakan Dunia Lain yang tidak mungkin dicapai. Maka dalam Implementasi
Politik Pendidikan Kontemporer Indonesia masih tetap saja hampir semua guru
mengajar dengan Paradigma Behavioral, metode Epsositori, Indoktrinasi, ceramah,
Motivasi Eksternal, Siswa sebagai Empty vessel, Guru sebagai satu-satunya Think
Tank, dan menerapkan Metode Penilaian Pembelajaran Eksternal UN. Sistem Ujian
Nasional tidak selaras dengan cita-cita berkebangsaan Indonesia yang
berdemokrasi Pancasila.
Guru menjadi korban kebijakan Populis Pragmatis, tetapi menyukurinya
sebagai berkah karena mental guru hanya sebagai Pelaksana Ketat dari kebijakan
Pemerintah dalam Bidang Pendidikan. Sebenar-benar guru akan merasa menjadi
korban jika dimensi profesionalisme mereka meningkat menjadi Pengembang
Pendidikan dengan mengembangkan Metode Pembelajaran Berbasi Class-room Based
Researh, sehingga diperoleh level profesional tertinggi yaitu jika Guru sudah
mampu memroduksi Perangkat dan Software Pembelajaran dan menyosialisasikan
(dari guru untuk guru; guru menjual guru memberi produk berbasis riset. Kiranya
masih di atas langit suatu konsep bahwa Kegiatan Mengajar sebenarnya adalah
Kegiatan Riset. Sebenar-benar Perangkat Pembelajaran termasuk Teksbook adalah
yang Terbaik jika dia merupakan karya Guru sendiri. Tetapi demi secara politis,
maka Pemerintah dengan disosialisasikan melalui Iklan besar-besaran
memromosikan Kurikulum 2013 dengan salah satu keungulannya adalah meringankan
beban Orang Tua Murid, karena Pemerintah mencetak semua Teksbook.
Dengan Politik Pendidikan Kontemporer yang demikian, maka sangat
mudah dipahami mengapa Indonesia memasuki fase Krisis Multi Dimensi
berkepanjangan. Para Partially Short-term
and populist-oriented Contemporary-motivated Egocentricists akan memandang
berbeda persoalan Krisis Muti Dimensi Bangsa karena Mindset mereka sejalan
dengan Politik Pendidikan (Neo) Kapitalis. Bagi mereka hal demikian dapat
dianggap suatu berkah untuk memeroleh kesempatan dan kekuasaan Politik
Pendidikan seraya selalu memberi bahwa
Bangsa Indonesia baik-baik saja, tidak perlu risau dan tidak ada
krisis. Dealienisasi, Uniformitas, dan Standardisme adalah Ideologi
yang sangat ampuh bagi Para Partially Short-term
and populist-oriented Contemporary-motivated Egocentricists untuk memeroleh
stabilitas semu, serta mencapai dan memelihara kekuasaan Politik Pendidikan.
Namun sebetulnya pada akhirnya semua kerugian ditanggung oleh obyek pendidikan
melalui keadaan krisis dan deontologis yang dipertanyakan pada akhir periode
suatu kekuasaan Politik Pendidikan. Contoh dari mereka yang dirugikan adalah
Nasib Buruh perusahaan yang gagal atau bubar, Para Penganggur Terdidik, dsb.
Tak disadari ternyata bahwa kita telah menemukan bahwa para Partially Short-term and populist-oriented Contemporary-motivated
Egocentricists ternyata adalah ksatria-ksatria dan prajurit-prajurit (Neo) Kapitalisme
yang telah berhasil membuka Kantor Cabang di Indonesia.
Secara anthropologis budaya, sejarah dan politik, fenomena pola dan
struktur Sistem Pendidikan Nasional yang belum atau tidak sehat dapat
dijelaskan melalui telaah kedudukan dan hubungan antara Karakter Indonesia
dengan Karakter Global (atau Kontemporer), sebagaimana diuraikan oleh Marsigit
(2014) pada “Perjuangan Mewujudkan Karakter Indonesia Di
Tengah Persaingan Global: Kajian Filosofis dan Ideologis, UNY Press: Yogyakarta”. Sebab utamanya adalah karena
Indonesia yang belum mempunyai karakter kokoh, berada di muara atau
persimpangan pergulatan peradaban Dunia yang begitu sengit; sehingga
memosisikan Indonesia bak anak bawang yang selalu kalah dalam kompetisi dengan Karakter Kontemporer/Global dalam semua aspek
kecuali menang dalam hal jumlah penduduk, luas wilayah dan kekayaan sumber
alam.
E.
KEDUDUKAN
DAN HUBUNGAN FILSAFAT, IDEOLOGI DAN
POLITIK PENDIDIKAN INDONESIA (PANCASILA) DI ANTARA BANGSA-BANGSA DI DUNIA
Secara filosofi,
Kedudukan mempunyai makna Ruang, Waktu, Relasi dan Fungsi. Kedudukan Ideologi
dan Politik Pendidikan Indonesia di antara Bangsa-bangsa di Dunia adalah ke
arah mana pola karakterisasi time-line atau perjalanan Ideologi dan Politik
Pendidikan Indonesia mengkristal atau mengakar/membudaya (enculture) ke dalam fatalitasnya dan mengarah ke dalam
vitalitasnya. Budaya India/Jawa (Pewayangan) menggambarkan hubungan dan
kedudukan antar Filsafat, Ideologi dan Politik sebagai Sesaji Rajasuya oleh Raja Amarta untuk menguji Akuntabilitas dan Legitimasi
Kekuasaannya dengan mengundang 100 Raja seantero Dunia untuk mengadakan Sesaji
yang kemudian dipimpinnya. Setiap Pemimpin dianggap pada suatu waktu tertentu
perlu mengadakan Sesaji Rajasuya.
Tetapi yang terjadi adalah bahwa kondisi Dunia sekarang belum sampai pada era Sesaji Rajasuya oleh Ratu Adil (Karakter Timur/Indonesia),
melainkan masih berada pada era Sesaji
Kalarudra, yaitu sesajinya Prabu
Jarasanda (Kapitalisme) yang berhasil menawan 97 Raja seantero Dunia, tinggal
tersisa 3 (tiga) Raja yang belum tertawan, yaitu Raja Yudistira, Raja Kresna,
dan Raja Baladewa (Karakter Timur yang belum dapat dikuasai oleh (Neo)
Kapitalisme.
Krisis
Multi Dimensi yang dialami Bangsa Indonesia sekarang,
sesuai keadaan yang di Jangka kan
atau di ramal oleh Raja Kediri, Prabu Jaya Baya (1157 M); beberapa di antaranya
berbunyi (Ramalan Jayabaya, http://id.wikipedia.org/wiki/Ramalan_Jayabaya):
“146. wong waras
lan adil uripe ngenes lan kepencil\ sing ora abisa maling digethingi\ sing
pinter duraka dadi kanca\ wong bener sangsaya thenger-thenger\ wong salah
sangsaya bungah\ akeh bandha musna tan karuan larine\ akeh pangkat lan drajat
padha minggat tan karuan sebabe\”
“147. bumi
sangsaya suwe sangsaya mengkeret\ sakilan bumi dipajeki\ wong wadon nganggo
panganggo lanang\ iku pertandhane yen bakal nemoni\ wolak-walike zaman\”
“148. akeh wong
janji ora ditepati\ akeh wong nglanggar sumpahe dhewe\ manungsa padha seneng
ngalap,\ tan anindakake hukuming Allah\ barang jahat diangkat-angkat\ barang
suci dibenci\”
“149. akeh wong
ngutamakake royal\ lali kamanungsane, lali kebecikane\ lali sanak lali kadang\
akeh bapa lali anak\ akeh anak mundhung biyung\ sedulur padha cidra\ keluarga
padha curiga\ kanca dadi mungsuh\ manungsa lali asale\”
“150. ukuman
ratu ora adil\ akeh pangkat jahat jahil\ kelakuan padha ganjil\ sing apik padha
kepencil\ akarya apik manungsa isin\ luwih utama ngapusi\”
Intuitive Refensial Empirical Hypothetical
analyses mendasarkan pada analises keadaan,
peristiwa-peristiwa, Sejarah, Konteks Budaya, hubungan antar Negara, dan
analises produk-produk perundangan pendidikan dan praktik-praktik pendidikan
faktual, menghasilkan Deskripsi Pasti tentang Ketidak-pastian, Deskripsi Pola
tentang Ketidak-berpolaan, Deskripsi Forma tentang Bukan Forma pendidikan
Indonesia. Berikut beberapa langkah justifikasinya:
1.
Politik
Pendidikan Pancasila versus Politik Pendidikan Positivisme
Politik
Pendidikan Pancasila semestinya menjadikan Pancasila sebagai sumber dan
landasan bagi pengembangan Kurikulum di
semua tingkat pendidikan. Karakter Indonesia seyogyanya dapat digali dan
dikembangkan dari nilai-nilai luhur yang terkandung dalam Pancasila.
|
Gambar
2: Pancasila versus Positive
Karakter Indonesia dapat dikembangkan
melalui pendidikan sejarah perjuangan bangsa Indonesia agar generasi muda mampu
memeroleh jiwa, semangat dan nilai-nilai atau karakter berbasis budaya
Indonesia dan berbasis Nilai Spiritualisme.
Pada
perkembangannya, Politik Pendidikan
Pancasila mengalami pasang surut dan pada akhirnya tidak begitu jelas skema
pengembangannnya baik dari sisi forma maupun sisi substansinya. Fenomena yang
ada semakin tampak di cakrawala, sosok Politik Pendidikan Positivisme yang
umurnya lebih tua yaitu sekitar dua abad yang lalu, selalu berusaha dan telah
berhasil secara sistemis menawarkan Karakter Alternatif bagi Bangsa Indonesia
dan seluruh bangsa di dunia. Selagi Bangsa Indonesia belum jelas dan mengalami
kegalauan dalam memedomani Pancasila sebagai Politik Pendidikan, Politik
Pendidikan Positivisme telah menabuh Genderang Perang kepada Karakter Timur dan
Karakter Indonesia dikarenakan nilai yang ditawarkan adalah dengan cara
meminggirkan Karakter Spiritual.
2.
Tiwikrama
Politik Pendidikan Positivisme menjadi Politik Pendidikan Kontemporer
Politik
Pendidikan Positivisme menganggap tidak dapat mengandalkan Karakter Spiritual untuk
membangun dunia yang lebih maju, dikarenakan menganggap sebagian Karakter
Spiritual mempunyai Karakter Irasional yang tidak dapat digunakan untuk
mengembangkan metode saintifik. Sebagai solusi, Politik Pendidikan Positivisme
meminggir bawahkan Karakter Spiritual dan menggantikannya dengan Karakter
Saintifik. Fenomena Politik Pendidikan Positivisme sungguh membuat takjub semua
warga Dunia dikarenakan prestasi-prestasi real yang mudah dipahami dan
dirasakan manfaatnya. Pergulatan panjang selama lebih dari 2 (dua) abad telah
mentrasformasikan Politik Pendidikan Positivisme menjadi Politik Pendidikan
Kontemporer, seperti tampak pada Gamber 3.
Menghadapi
fenomena dunia yang dikuasai oleh Power
Now, maka rangkaian perjalanan evidensi telah menunjukkan bahwa Politik
Pendidikan Pancasila dalam segala aspeknya tidak mampu berkompetisi dengan
Power Now kecuali satu yaitu Jati Diri Bangsa. Tetapi sayangnya bahkan Jati
Diri Bangsa pun sedang dalam proses selalu dipertanyakan eksistensinya.
3.
Karakteristik
Implementasi Politik Pendidikan Pancasila Yang TERKOOPTASI oleh Politik
Pendidikan Kontemporer (Power Now)
Pancasila
sebagai Filsafat dan Ideologi bangsa dan negara Indonesia secara ontologis
merepresentasikan Filsafat Idealisme karena merupakan Landasan sekaligus
Cita-cita luhur Bangsa Indonesia. Lebih lanjut, Filsafat Spiritualisme
tercermin dalam Sila 2, Ketuhanan Yang Maha Esa, yang bersifat sebagai pusat
segala kebenaran. Sila ke 2, Kemanusiaan Yang Adil
Dan Beradab, merefleksikan Karakter Ideal (terbaik) Epistemologis Indonesia.
Sila ke 3, Persatuan Indonesia, merupakan pangejawantahan epistemologis Tunggal
Ika. Sila ke 4, Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam
Permusyawaratan / Perwakilan, merepresentasikan Filsafat Demokrasi Kontekstual
Indonesia. Sila ke 5, Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia, secara
epistemologis-aksiologis merepresentasikan Idealisme pola dan struktur relasi
ke dalam dan ke luar di mana secara ontologis, Substansi Vitalnya ditentukan
oleh perjalanan sejarah Bangsa Indonesia secara keseluruhan. Secara idealis,
Pancasila menjadi landasan dan arah bagi pengembangan Politik Pendidikan
Pancasila untuk mewujudkan Karakter Indonesia yaitu karakter yang berbasis
budaya dan berkepribadian Indonesia serta mampu berinteraksi dengan komunitas
global.
Hypothetical
experienced-intuitively analyses menyimpulkan bahwa
Politik Pendidikan Pancasila telah, sedang dan akan selalu terkooptasi oleh
Politik Pendidikan Kontemporer. Dengan demikian mudah dipahami bahwa
implementasi Pendidikan Kontemporer Indonesia bersifat Feudalisme, Monokultur,
Reduksionisme, Eksploitasi Vitasl, Dunia Terbelah, Egosentris, Materialisme,
Disorientasi, Positivistik, Saintisisme Mutlak, Orientasi pasar, Spekulatif,
Sentralistik, Kapitalisme, Hedonisme, Sosialisme, Alienasi Ontologis, dan
De-Alienasi Epistemologis. Keadaan atau sifat implementasi Pendidikan
Konemporer Indonesia yang demikian terwujud melalui fase-fase seperti tampak
pada Gambar 4 berikut:
Konteks latar belakang Pendidikan
Kontemporer Indonesia bersifat Ontologis dari
Tribal/Tradisional/ Feudal, Konservatif , Perebutan Kekuasaan (Power
Disturbances), Disorientasi Mainset, dan Disorganisasi Vital memberikan Karakter Indonesia yang Lemah
Vital terhadap Epistemologisnya. Kondisi Lemah Vital secara ontologis dan
epistemologis kemudian dipicu (ignite) oleh Un-structured Motive dari pelaku
Egosentriknya maka lahirlah Krisis Multi Dimensi denga sifat Alienasi
Ontologis, De-alienasi Epistemologs, Egalitarian Ontologis, Elitisisme
Ontologis, dan Standardisme Ontologis. Mainset Pendidikan Indonesia Kontemporer
bersifat dan menuju karakter Pragmatisme, Kapitalisme, Saintisisme, Material,
Liberalisme, Socialisme, Egalitarianisme, Standardisme, Elitisme, Meritokrasi,
Pendidikan Laskar (Paramiliter). Dengan mainset demikian maka Pendidikan
Indonesia Kontemporer menampilkan Wajah Persoalan Bangsa bersifat Nepotisme,
Korupsi, Kolusi, Daya Saing Rendah, Daya Diterminasi Rendah, Disorientasi Karakter,
Inkonsistensi Karakter, Monokultur, Uniformitas, Orientasi Simbol (UN , OSMN da
Olimpiade Internasional), Pelanggaran Hak Asasi Manusia, Pelecehan Seksual,
Budaya Instant, dan Kebijakan Parsial (terputus).
Dengan wajah implementasi Pendidikan
Kontemporer Indonesia tersebut di atas, telah dan akan menghasilkan manusia
Indonesia sebagai pribadi yang berkarakter Terbelah, Berkonteks Dunia Terbelah,
Bersifat Materialis, Budaya Instant, Dominan pada Duniawiyah, Saintisme Absolut
(Riset tanpa batas dan Anti-Spiritualisme), Hedonisme, Pribadi Plin-plan, dan Tergoda
Spiritualismenya, Korupsi, Kriminal, Politik Uang, Budaya/Kesenian Palsu,
Tuntunan menjadi Tontonan, dan Tontonan menjadi Tuntunan.
F.
SOLUSI
YANG DITAWARKAN
Menimbang
bahwa dewasa ini Bangsa Indonesia sedang mengalami Krisis Multi Dimensi secara
laten, masif, dan terstruktur dalam berbagai aspek kehidupan Berbangsa,
Bernegara dan Bermasyarakat; serta menimbang berbagai pengertian Filsafat,
Ideologi, Dan Politik Pendidikan; dan memperhatikan
hasil analisis saya tentang berbagai Tesis, Anti-Tesis Dan Sintesis yang
ada di dalam Filsafat, Ideologi Dan Politik Pendidikan; serta memperhatikan
hasil analisis terhadap Ontologi Mikro
Filsafat dan Mikro Ideologi Pendidikan serta analisis kedudukan dan hubungan
Filsafat, Ideologi dan Politik
Pendidikan Indonesia (Pancasila) di antara bangsa-bangsa di dunia, maka
dengan selalu berusaha bersikap Istoqamah, Tuma’ninah, dan Tawakal, bersama ini
saya, sebagai salah satu anggota Majelis Guru Besar UNY yang Mulia,
perkenankanlah MENGAJUKAN Konsep Politik Pendidikan Indonesia dengan nama :”PENDIDIKAN DEMOKRASI PANCASILA”, sebagai SOLUSI
untuk mengatasi Krisis Multi Dimensi Bangsa Indonesia. Adapun ciri-ciri Pendidikan Demokrasi
Pancasila yang saya ajukan dapat disimak seperti tertera di dalam Gambar 5.,
berikut:
|
PENDIDIKAN DEMOKRASI PANCASILA
|
Filsafat
|
Pancasila
|
Ideologi
|
Pancasila
|
Politik
|
Demokrasi UUD 45 Amandemen
|
Moral
|
Pancasila
|
Sosial
|
Bhineka – Tunggal Ika
|
Budaya/Karakter
|
Jati Diri Indonesia
|
Hakikat
Ilmu
|
Saintifik-Spiritualisme
|
Epistemologi
Pendidikan
|
Membangun hidup seutuhnya berlandaskan Pancasila,
dengan mengedepankan Karakter Indonesia yang:
-
Bernurani
-
Adil
-
Beradab
-
Jujur
-
Cendekia
-
Mandiri
-
Kerjasama
|
Kurikulum
|
Hermenitika Hidup berlandaskan Pancasila
|
Tujuan
Pendidikan
|
Memeroleh
hidup selamat, sejahtera seutuhnya lahir-bathin serta dunia-akhirat
|
Teori
Mengajar
|
-
Ing Ngarso Sung Tuladha
-
Ing Madya Mangun Karsa
-
Tut Wuri Handayani
|
Teori
Belajar
|
Membangun Ilmu/Hidup dengan sikap Tuma’ninah, Istiqamah,
dan Tawakal untuk memeroleh Ilmu yang Amaliah dan Amal yang Ilmiah.
|
Peran
Guru
|
-
Ing Ngarso Sung Tuladha
-
Ing Madya Mangun Karsa
-
Tut Wuri Handayani
|
Kedudukan
Siswa
|
-
Ing Ngarso Tuma’ninah
-
Ing Madya Istiqamah
-
Tut Wuri dengan Tawakal
|
Teori
Evaluasi
|
Refleksi Hidup
|
Sumber/Alat
Belajar
|
Alam Semesta Ciptaan Tuhan
|
Gambar
5: Politik Pendidikan Demokrasi Pancasila
G. PENUTUP
Objektivitas
sudut pandang suatu konsep dipengaruhi oleh hakikat konsep, pendekatan atau
metode serta nilai atau value yang menyertainya. Berdasarkan hasil kajian yang
dilakukan, maka Pendidikan Demokrasi Pancasila dipandang sebagai bentuk konsep
Politik Pendidikan yang lebih berbasis pada kekuatan Jati Diri bangsa, namun
tetap mempunyai vitalitas yang tinggi untuk berinteraksi dengan masyarakat Global.
Sebagai suatu konsep, Pendidikan Demokrasi Pancasila mempunyai Forma dan
Substansi yang mengakar pada sejarah budaya bangsa. Pola tata kehidupan
kemasyarakatan Bangsa Indonesia yang mempunyai sejarah panjang merupakan
konteks bagi Forma dan Substansinya, serta menentukan sikap/cara pandang
sebagai sebuah epistemologi yang memberikan sumber-sumber , macam dan
pembenaran pengetahuan dan pengalaman Bangsa Indonesia.
Untuk mengatasi
Krisis Multi Dimensi, tiada jalan lain bagi Bangsa Indonesia untuk mewujudkan
Politik dan Ideologi Pendidikan berdasar Filsafat Pancasila dan Demokrasi UUD
45 Amandemen, agar diperoleh sikap moral berjati diri Indonesia yang sesuai
butir-butir Pancasila dan struktur kemasyarakatan Bhineka-Tunggal Ika untuk
membangun hidup manusia Indonesia seutuhnya dengan cara dan untuk memeroleh
karakter bernurani, adil, beradab, jujur, mandiri dan mampu bekerjasama baik
pada tataran lokal, nasional, maupun internasional. Untuk itu, Sistem
Pendidikan Nasional dikembangkan agar mampu mengembangkan hakikat keilmuan
sebagai Saintifik-Spiritualisme yang didukung dengan Kurikulum yang mampu
mewadahi hermenitika hidup seutuhnya berdasarkan Pancasila. Tujuan Pendidikan
hendaknya diarahkan untuk memeroleh hidup selamat, sejahtera lahir-batin dan
dunia-akhirat, yang dapat dicapai melaui fasilitasi guru sesuai prinsip/ajaran
Ki Hajar Dewantara: ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun, dan tut wuri
handayani.
Sistem
Pendidikan hendaknya mampu memberi kedudukan atau memposisikan siswa sebagai
subjek didik yang diharapkan bersifat tuma’ninah, istiqamah dan tawakal dalam
membangun sikap, pengetahuan, ketrampilan dan pengalamannya dengan memanfaatkan
segenap alam semesta ciptaan Tuhan sebagai sumber belajarnya. Metode
Pembelajaran hendaknya bersifat kritis, fleksibel, dinanis berdasarkan atau
memanfaatkan hasil-hasil penelitian baik jangka pendek maupun jangka panjang.
Penilaian pencapaian belajar hendaknya berubah dari konsep mengukur menuju
konsep asesmen untuk mencatat atau merefleksikan hidupnya.
DAFTAR
PUSTAKA
Aristotle (384-322 BC)." The Internet
Encyclopedia of Philosophy
(On-line). Available http:
/ / www. utm. edu/
research/ iep/ a/ aristotl. htm.
Ernest, P., 1991, The Philosophy of Mathematics Education,
London: The Falmer Press.
Kant, I., 1931, “The Critique of
Judgment (tr. J.Bernard)”, New York:
The MaCmillan
Company.
Kant, I., 1992, “Theoretical
Philosophy 1755-1770 (tr. By David Walford)”,
Cambridge:
Cambridge University Press
Klein, P.D., 1998, “Epistemology” In E. Craig (Ed.), Routledge Encyclopedia of
Philosophy.London:Routledge.Retrieved
2004 <http://www.rep.routledge.com
/article/P059>
Mayer, F., 1951, A History of
Modern Philosophy, California: American Book
Company
Marsigit,
2013, Urgensi Pemikiran Dalam
Pendidikan Karakter Untuk Membentuk Karakter,
Makalah
dipresentasikan pada Seminar dan Lokakarya Kurikulum Fakultas Agama
Karakter
dan Pemikiran UNPAB Medan
Marsigit,
2013, Tantangan Dan Harapan Kurikulum
2013 Bagi Pendidikan Matematika,
Makalah dipresentasikan pada Seminar Nasional Matematika
dan Pendidikan
Matematika, Universitas PGRI Yogyakarta.
Marsigit,
2013, Karakter Islam Dalam Sejarah
Pergulatan Memperebutkan Kekuasaan, Filsafat, Ideologi, Ilmu(Matematika), Dan
Pendidikan, Makalah Dipresentasikan pada Kuliah Umum (Studium Generale)
untuk Mahasiswa Baru Tahun Akademik pada Jurusan Pendidikan Matematika, FITK
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Marsigit,
2013, Pergulatan Memperebutkan Filsafat, Ideologi Dan Paradigma: Sebuah
Kesadaran
untuk Lembaga Pendidikan Ke Islaman dalam rangka ikut Membangun
Karakter Bangsa
(Melalui KKNI dan Kurikulum 2013?), Makalah dimaksudkan sebagai Pengantar Presentasi pada Kegiatan Seminar
dan Workshop dengan Tema Membangun Karakter Bangsa dengan Pendidikan Melalui
Kurikulum 2013 yang diselenggarakan oleh Fakultas Tarbiyah dan Keguruan,
Universitas Negeri Sultan Syarif Kasim Riau
Marsigit, 2013, Nilai Strategis Kurikulum 2013 Untuk
Membangun Karakter (Islami) Bangsa
Serta Tantangan Dan Harapan Bagi Pendidikan
Matematika Di Indonesia, Makalah
dipresentasikan
pada Seminar Nasional dan Workshop Pendidikan Matematika IAIN
Syekh Nurjati
Cirebon
McLaren, P., 2004, Critical Theory in Education: Power, Politics
and Liberation, Graduate
School of Education and Information Studies: Los
Angeles
Perry, R.B., 1912, “Present
Philosophical Tendencies: A Critical Survey of
Naturalism Idealism Pragmatism and
Realism Together with a Synopsis of the
Pilosophy of William
James”, New York:
Longmans Green and Co.
Sunan Giri ke-3, 1157 M, Ramalan Jayabaya,
Kitab Musasar, http: //id. wikipedia.org/
wiki/Ramalan_Jayabaya
(Unduh 2014)
loading...
No comments:
Post a Comment